[11]. Badai yang Mulai Bergolak

Hai, apa kabar?

Duh, lama tak berjumpa di lapak pasangan telat puber ini, ya? 🥺

Maafkan, kemarin berasa banyak pikiran. Banyak tawaran ajakan nulis di PF ini dan itu. Aku jadi galau. 🥺

Tapi tenang aja. Mas Tama dan Mbak Cha insyaallah tamat di Wattpad.  🥳


Eh, tebar kembang api sama petasan di komentar, dong, biar ramai. 😂

💥💥💥💥💥💥

Mas Tama dan Mbak Cha kalau lagi lelah di lapangan, Gaes.


Tetap cantik dan tampan. 😂
Gosah tanya mana kancingnya yang copot! 🤣

Happy reading, Besti. 🥰

====🏖🏖🏖====


Pukul delapan malam, tiga armada bus itu sampai di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Perempuan itu sigap turu dahulu, memastikan semua siswa dan guru turun sebelum sopir bus membawa kendaraan menuju lambung kapal. Sesekali, meski ia tetap fokus bergerak dan memberi peringatan berulang agar semua rombongan turun dan tidak meninggalkan benda berharga di dalam bus, satu tangannya memeluk erat tubuh sendiri saat dirasa angin dari Selat Bali terlampau kencang.

Semua berjalan menaiki kapal. Risa baru saja menghela napas lega usai membujuk satu siswa yang mendadak mual dahulu sebelum naik. Mabuk laut. Wajah siswi itu tampak pucat pasi meski Risa masih memeganginya dan menuntun duduk di area penumpang.

Ia menoleh ke kiri dan kanan, mencari keberadaan sosok pemuda yang selama perjalanan tiba-tiba ikut dan menjadi partner kerja khusus Risa. Pemuda yang katanya punya darah Sunda, tapi lanyah berbahasa Jawa itu pula yang tepat masuk ke dalam bus sebelum keberangkatan, membawakan titipan jaket Tama untuknya.

"Mamat! Minyak kayu putih sama obat anti-mabuk mana?!" tanyanya dengan nada naik satu oktaf sebab yang ditanya berjarak sedikit jauh di kursi paling belakang, sama-sama berjaga siapa tahu ada yang mabuk perjalanan.

Mamat gegas mendekat, mengeluarkan minyak kayu putih dari dalam tas pinggang yang dikenakan. "Monggo, Mbak Cha! Kalau ada butuh apa-apa lagi, hubungi saja saya. Mau mi seduh? Saya siap belikan. Minuman dingin? Saya bersedia carikan."

Risa berdecak pelan. "Nggak usah repot-repot, Mamat. Kamu jaga-jaga aja kali ada rombongan yang butuh bantuan."

Pemuda berpeci itu mengangguk berhias senyum ramah. Saking ramahnya, senyum itu tampak semakin lebar dan menunjukkan sederet gigi putihnya. Namun, ia tak mau pergi.

"Mamat, ih! Aku bisa urus ini sendiri! Kamu jaga-jaga sana. Biasanya ada rombongan yang minta difotoin buat kenang-kenangan." Risa mulai jengkel. Tangan berjemari lentik itu sibuk membuka bungkus obat dan memberikan para siswi yang tengah duduk bersandar lesu seraya memegangi botol air mineral.

"Kata Pak Tama saya ndak boleh jauh-jauh dari Mbak Cha sampai Pak Tama datang." Mamat menegaskan.

"Yah, gimana dia mau datang? Mau naik helikopter? Di atas kapal ini, Mat. Lebay, ah!"

"Lah, itu orangnya datang!" Dagu Mamat menunjuk ke arah laki-laki berpenampilam kusut tak seperti biasanya.

Risa menoleh ke arah pintu masuk samping area geladak. Laki-laki itu berjalan diapit seorang perempuan muda bertubuh sintal dengan pipi tembam yang ramah senyum di sisi kanan. Lalu ada Pak Agus di sisi kiri.

Saking terperangahnya, bibir Risa ternganga, mengatup, ternganga lagi, kemudian mengatup rapat pada akhirnya. Tak sanggup berkata-kata.

Ini lagi seriusan kerja atau aku boleh sedikit geer kamu ngukutin aku, sih, Mas?!

Tatapan mereka bertemu sejenak. Ada senyum tertahan di bibir tipis Tama. Namun, ia berpaling kemudian, kembali fokus bicara pada Pak Agus dan perempuan sintal di sisinya.

Perempuan itu ... siapa?

Mendadak ganjalan serupa pertanyaan itu muncul. Mengganggu sekali. Ia bahkan sampai hilang fokus ketika seorang wali kelas dari siswi yang tengah mabuk laut itu mengambil alih.

"Makasih, Mbak. Saya sama Bu Guru aja nggak apa." Suara lemah gadis yang duduk di kursi berbahan fiber itu menyadarkan kegundahan Risa.

"O-oh, iya! Kalau butuh apa-apa silakan panggil saya, ya, Bu!" Perempuan itu mengangguk pada guru berjilbab lebar di sisi siswanya.

"Gimana, Mbak? Sudah lapar apa belum? Mau teh? Mi seduh?" Suara tawaran Mamat lagi.

Risa memaksakan senyum kaku. "Kok, aku nggak tahu Mas--eh, Pak Tama--mau ikut rombongan wisata, Mat? Dia naik bus berapa?"

Mamat nyengir lagi. "Dia bawa mobil sama sopir. Katanya mau liat kinerja di lapangan langsung sekalian mau pulang ke Bali, Mbak. Jadi, Mbak sudah lapar belum?"

Risa menepuk keningnya tak habis pikir. "Nanti aja aku makannya bareng yang lain, Mat! Kamu, ih, nawarin makan sama minum melulu!"

Pemuda berpeci itu menggaruk kepalanya sungkan. Perhatiannya teralih sejenak ketika laki-laki berkaus misty itu mendekat.

"Makasih, Mat. Kamu boleh lanjut gantiin Risa urus rombongan." Tama berujar sebelum meraih pergelangan tangan Risa dan membawanya ke area samping geladak. Menyusuri beberapa bangku panjang di luar hingga berhenti di ujung dan bersandar pada pagar pembatas.

Perempuan itu masih terdiam. Namun, pandangannya lantas mencari-cari ke mana perempuan berpipi tembam yang manis itu berada.

"Nyariin Pak Agus?" celetuk Tama diiringi tawa tertahan.

"Ha-hah? Nggak, kok!"

Spontan tawa kecil itu tersembur dari bibir Tama. Hening selama mungkin selang satu menit. Rambut keduanya tersibak begitu menghadap hamparan selat yang luas. Debur ombak yang beradu dengan desau angin mendinginkan udara sekitar. Membuat keduanya tanpa sadar saling bergeser dan melekatkan lengan, tapi masih bisa menahan diri.

"Kamu nggak capek kerja kayak gini?" Pertanyaan pertama yang muncul saat Tama menoleh sesat pada perempuan di sisinya.

"Aku pernah bilang capek kayaknya, deh. Tapi gimana lagi. Aku butuh uang buat bertahan hidup, biar nggak ngrepotin keluarga Ibu melulu. Nggak enak juga lama-lama numpang," keluhnya dengan tatap kosong ke pulau seberang yang semakin terlihat gemerlap dari lampu-lampu di malam hari.

"Aku ngerti sekarang capeknya kayak apa. Sampe nggak sempat mandi sore, lho, ini." Tama mengedik. Entah karena dingin atau karena gerah dengan tubuhnya sendiri.

Risa tertawa kecil.

"Sampai ngegembel begini karena perjalanan darat pake mobil selama sepuluh jam." Tama merentangkan dua tangan, menegaskan penampilan kusutnya. Lalu menyugar rambutnya yang kering dan lagi-lagi menghidu aroma tubuh sendiri--yang mungkin baginya memuakkan.

"Iya, ya? Menggembel yang elegan. Maklumlah, biasa kerja kantoran tiba-tiba harus kerja di jalanan." Perempuan itu cekikan dengan satu telapak tangan menutup mulut.

"Elegan gimana?" Kening Tama berkerut.

Disambut Risa yang berdecak pelan kemudian. Perempuan yang sempat menaikkan ritsleting jaket lebih tinggi hingga menutup sebagian leher itu mengangkat pergelangan tangan laki-laki di sisinya. "Mana ada gembel pake jam tangan jutaan rupiah. Nggak ada gembel yang masih wangi seharian karena pake parfum yang cuma mampu dibeli orang berduit," katanya seraya mendekatkan cuping hidung ke sisi leher Tama.

Pergerakan yang sontak membuat laki-laki bermanik gelap itu berkelit meneleng ke kanan--menjauh dari hidung bangir Risa--berhias senyum simpul.

Risa menegakkan tubuh kembali, merekahkan senyum manis sebelum berucap, "Aku kerja lagi, ya? Jangan lupa makan."

Ia baru saja berbalik dan berjalan selangkah ketika dua lengan itu merangkul pinggang dan membawanya merapat. Semula perempuan itu hampir berontak mengingat takut ada rekan kerja yang lain melihat ada perlakuan khusus Tama atas dirinya. Namun, ketika lagi-lagi dagu pria itu melekat di bahunya, Risa tak sanggup berkutik.

"Isi daya dulu," bisik Tama. "Aku butuh daya biar semangat kerja lagi. Begini cukup, kok."

Dan Risa hanya perlu berdiam diri, membiarkan saja laki-laki yang bersandar manja padanya. Ada napas yang menghangat dan menggelitik ketika Tama mengembuskan napas panjang seraya mengeratkan pelukan.

"Sa ...."

"Ya?"

"Seandainya Rama memintamu kembali, apa kamu akan menerimanya?"

Risa menghela napas panjang. Sesak itu kembali berdesakan. Namun, terkadang ia tak bisa mungkir dari segala rasa sakit hati yang diterima. Seperti ada dendam membara yang sulit dihapus.

"Kalau aku punya pikiran dan berharap rumah tangga mereka berantakan, aku salah nggak, sih, Mas?"

Pelukan dua lengan di pinggang ramping itu merenggang, kemudian meluruh.

Risa berbalik dengan raut keruh kemudian memaksakan senyum. "Aku kerja lagi, ya? Hati-hati di jalan nanti. Sampai ketemu di penginapan."

Perempuan itu meninggalkan laki-laki yang berdiri kaku dengan tatapan gamang.

**

Perempuan itu terbaring di atas ranjang berselimut putih. Cairan infus masih menetes lambat. Ini hari ketiga ia harus merelakan tubuh dan pikiran yang kelelahan dan tertekan merebah di kamar rawat inap. Tak ada siapa pun yang datang dan ikhlas menjaganya kecuali perempuan berambut memutih sebahu itu.

Perempuan paruh baya itu masih duduk dengan takzim di sofa, menatapi layar ponsel. Jemarinya lambat mengetik dengan mata yang menyipit-nyipit.

"Tidur aja, Nduk. Istirahat. Ndak usah banyak pikiran macam-macam. Bude ndak ke mana-mana," tuturnya sambil masih mengamati ketikan-ketikan huruf di papan gadget-nya.

Mendengarnya, Riana menghela napas panjang. "Mas Rama ... masih sibuk kerja, ya, Bude?"

Perempuan yang duduk di sofa hitam itu berhenti menyibukkan diri dengan ponsel. Ia bangkit mendekat, lalu membenarkan posisi selimut hingga menutupi sebagian dada. "Ya, mungkin. Katanya sibuk urus study wisata anak-anak SMA ke Bali. Nggak usah dipikir. Nanti biar Bude yang telepon dia, ya. Kamu istirahat saja. Kasihan yang di dalam perut. Dia juga butuh ibu yang sehat."

Perlahan tangan berjarum infus itu mengusap perut. Bibir sedikit pucatnya tersenyum samar. Hanya Bude Sri yang masih setia membersamai dan selalu rutin menanyakan kondisi kesehatan sang bayi. Sayang, semua itu tak cukup menenangkannya. Lagi pula, siapa yang akan tenang kalau suaminya saja akhir-akhir ini mulai bersikap dingin.

Tak ada senyum dan tawa setiap kali bertemu. Tak ada usapan lembut di puncak kepala saat pikiran-pikiran mengenai keraguan pada bahtera rumah tangganya akan bertahan sekokoh baja. Semua terasa hambar. Senyap. Kosong. Dan tak lagi berwarna. Bahkan entah sudah berapa lama ranjang di kamar keduanya masih selalu rapi. Tak ada lagi desah rindu dan saling menyebut nama di antara napas-napas yang tertahan.

Semakin dingin saat sang ayah jabang bayi kerap pulang larut atau bahkan tak pulang sampai pagi. Riana kesepian. Sementara meminta perhatian dari sang kakak pun dirasa kurang tahu diri.

**

Bude Sri:
Cha, Riana sakit.

Bude Sri:
Tapi ndak usah kuatir. Udah mulai sehat. Kamu jangan lupa banyak istirahat.

Bude Sri:
Bude kangen kamu. Kapan main ke rumah?

**

(02-04-2023)

====🏖🏖🏖====


Tunggu dulu! Jangan benci Bude Sri. Dia orang yang baik, kok, ya.

Dia hanya sedang berusaha menjaga agar masalah nggak semakin keruh. Kasihan juga, kan, kalau Riana depresi, terus bunuh diri karena nggak kuat nanggung malu? Entar Risa juga yang jadi merasa bersalah seumur hidup. 🥲

Eh, btw, jangan lupa vote, ya! Komentar yang banyak biar aku tetap semangat karena akhir-akhir ini lagi down lagi. 😬

Jangan lupa follow akun media sosialku, ya. Silakan DM kalau mau minta follback. 🥰🤗

Terima kasih. 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top