[10]. Membuang Resah
Hai, apa kabar? Gimana puasa? Udah ada yang bolong belum? Semoga lancar, ya. 🥰
Selamat berbuka dengan yang manis-manis kayak Mas Tama. 😚
Maafkan up malam. Aku nunggu buka puasa karena ada sedikit kancing baju yang mau copot. (Eh!) 🤣
Nggak, sengaja up malam karena siang takutnya sibuk masak dan persiapan buat buka, kan? 🤭
Jadi, happy reading. Jangan lupa ramaikan komentar. Lemparin petasan juga boleh biar makin ramai.
💥💥💥💥💥💥💥 💥💥💥💥
(petasan)
😂😂😂😂
====🏖🏖🏖====
Perempuan yang sejak subuh sudah mondar-mandir di lingkungan kantor agen mulai sedikit cemas. Entah sudah berapa kali ia menilik ponsel. Yang jelas, sejak terakhir mengirim pesan bilang kangen, ponselnya senyap-senyap saja.
Atasannya sama sekali tak menghubungi. Bahkan perkara persiapan keberangkatan mengantar rombongan wisata yang seharusnya diadakan breafing singkat dahulu, hampir menginjak pukul 6 pagi, Tama belum muncul.
Risa duduk di halaman belakang, tepat di dekat tiga armada bus berjajar yang bersiap. Deru mesin bahkan sudah dinyalakan, sementara driver dan leader beserta asisten yang menemani memasukkan beberapa kelengkapan. Perempuan itu seperti biasa, selalu tak dapat jatah asisten. Tina sendiri selalu digaet Mbak Nunung--pemandu paling tua di agen--untuk menemaninya. Sementara satu bus yang lain ada Randi dan Diyah.
Entah untuk alasan apa selalu demikian, tapi Mbak Nunung selalu bilang, "Yah, kamu, kan, paling bisa diandalkan dalam segala medan. Aku udah kepala empat, bentar lagi kepala lima. Sementara yang lain belum bisa diandalkan kalau harus sendiri saja. Diyah suka bingungan pas keadaan genting."
Jadi, demi menjaga suasana tetap nyaman dan tidak ribut dengan sesepuh, Risa memilih diam. Meski ia tahu, sejak ada direktur baru, pembagian tugas buatan perempuan yang katanya tak lagi muda itu sering mendapat coretan merah. Tama kerap menggeleng tak setuju dalam diam. Tapi selebihnya, baik Risa dan Tina yang menyadari sikap semena-mena sang senior, belum pernah melihat dan merasakan gertakan Tama.
"Cha, aku masuk bus tiga, ya?!" Mbak Nunung berseru dari dekat bus bernomor rombongan tiga.
Risa yang tengah duduk sambil membubuhkan ceklis pada buku agenda itu tersenyum tipis dan mengangguk. Di belakang Mbak Nunung, ada anak gadisnya yang mengekor. Melihatnya, Risa mendadak menipiskan bibir sedikit tak suka. Selalu saja perempuan kurus kering bersanggul mini itu memanfaatkan aji mumpung. Membawa keluarga serta ikut wisata.
Tina melambai dari dalam bus bernomor rombongan 3. Tiga puluh menit lagi kendaraan besar itu berangkat ke SMA, menjemput rombongan wisata. Belum sempat Risa naik ke bus jatahnya memimpin, Randi berseru dari dekat pintu belakang kantor.
"Briefing bentar, Mbak!" pekiknya dengan dua tangan membentuk corong di depan mulut, berusaha mengalahkan deru-deru mesin kendaraan.
Risa mengangguk saja. Ia memasukkan buku agenda ke dalam backpack di pangkuan, meraih kopi hangat di bangku panjang yang diduduki. Perempuan itu baru bangkit dan berbalik ketika seseorang dari belakang, tiba-tiba saja meraih paper cup di tangan kanan tanpa disadari kedatangannya.
"Pagi," laki-laki berkaus putih dengan jaket tersampir di lengan kanan itu menjeda dengan satu tundukan, "Sayang ...."
Ia berlalu begitu saja. Sementar Risa hanya mengerjap-ngerjap diikuti dua pipinya bersemu merah. "Maaass!" geramnya jengkel tanpa sadar.
Tama menoleh dan mengedik singkat sambil berlalu. Laki-laki itu mengangkat kopinya sekali sebelum menyesap sedikit demi sedikit sambil lalu. Ada senyum tertahan di bibir merah Tama yang membuat Risa tak urung ikut menahan senyum. Lega. Ia pikir laki-laki itu akan balas dendam lagi dengan kabur tak berkabar.
**
Keluarga "Cemara" Baskoro
Amara:
Mas, aku lupa kasih info. Mantan pacarnya Marisa itu masih satu kantor, lho. Cuma dia kerjanya ngantor. Urus-urus administrasi klien gitulah.
Amara:
Papa @Kekasih Ndoro Agung udah bilang belum, Pa?
Pratama:
Siapa?
Pitaloka:
Hah? Serius?
Kekasih Ndoro Agung:
Nggak penting. Kalau jodoh nggak bakal ke mana.
Amara:
Rama Agung Sanjaya, kalo nggak salah inget, lho, ya.
Amara:
Penting! @Kekasih Ndoro Agung Mama
Pitaloka:
Wah, berat pasti! Sabar, ya, Mas. 😢
Amara:
Kalau emang Marisa-nya nggak mau diseriusin dan nggak mau dinikah, mundur ajalah, Mas. Buang-buang waktu.
Pitaloka:
Yaaah, entar kalau investasinya jadi gimana? Aku nggak percaya, sih, sama laki kalau udah sekali incip, pasti maunya lagi. 🤐
Pitaloka:
Aku mendadak khawatir Mas Tama malah jadi sengaja rajin nabung biar Marisa nggak ada alasan buat balik ke Rama. Nyebut, ya, Mas. Jangan biarkan setan memperdaya pikiranmu. Bener kata Papa, jodoh nggak akan ke mana. 😬
Ndoro Agung:
Pita, ah! Jangan gitu! Takut Mama! 😡
Ndoro Agung:
Mas, buru dinikah!
Amara:
Iiih, pastikan dululah! Kasihan Mas Tama kalau sampai ternyata si Marisa gagal move on gimana? Secara tiap hari ketemu sama mantan, lho, Ma! Alika aja yang udah ditinggal 7 taon masih bisa balikan sama mantan! 😖
Pitaloka:
Mbak Mara, ih, pake nyebut si dia. Mas Tama lagi galau tauuu. Kemarin abis berusaha nemuin keluarga Om Pras buat nyambung silaturahmi lagi. Aku yang nemenin sekalian beli kue buat Meta. Mau tau nggak Mas Tama bilang apa ke Mbak Alika? 🥲
Pratama:
Dasar tukang nguping!
Amara:
Bilang apaan? @Pitaloka
Pitaloka:
Mungkin bahagia kita diciptakan bukan untuk sama-sama. Karena bahagia nggak harus selalu sama-sama. (Quotes by Mas Tama Baskoro) 🥺
Pitaloka:
Amara:
Etdah, terniat! Sampai dibikinin flyer quotes! 😬
Pitaloka:
Iya, dong! Aku, kan, fans Mas Tama. Panutanku semasa muda. 😚
Pratama:
Aku kerja dulu.
Pitaloka:
Pagi bener. Baru juga jam setengah enem ini, Mas. 🙄
Pitaloka:
Perasaan baru jam 3 pagi tadi sampe apartemen dah. 🙄
Kekasih Ndoro Agung:
Ati-ati di jalan, Mas. Salam buat Pak Agus, ya.
Kekasih Ndoro Agung:
Jangan lupa ada meeting rutin di Denpasar. Ada tamu dari Belanda mau nginep di vila.
Pratama:
Iya.
Amara:
Mas, janji buat mastiin, ya?!
Amara:
Maaas!
Pitaloka:
Udah, Mbak. Gosah maksa. Lagi di jalan kali. Takut nabrak, lagi nyetir. 😒
**
Obrolan keluarganya terang saja mengganggu. Mengganggu pikiran laki-laki yang masih duduk di aula rapat sendirian. Breafing baru saja selesai dua menit yang lalu. Semua kru sudah turun dan bersiap berangkat. Ada banyak hal yang harus dibenahi di perusahaan ini. Tapi mungkin tidak dalam waktu dekat ia perlu membicarakannya saat evaluasi hasil kinerja akhir bulan nanti.
Semua pikiran antara mewaspadai keberadaan Rama di kantor ini dan menumpuknya pekerjaan membuat laki-laki itu pusing. Haruskah ia terjebak dalam lubang yang sama? Memaksakan kehendak dengan mengajak menikah Marisa secepatnya lalu membawanya pergi jauh dari sang mantan?
Alika yang ia paksa saja bisa terlepas begitu saja. Apa iya Marisa juga? Terkadang Tama hampir terpengaruh dengan saran Mara. Buat apa dipaksakan menikah kalau Marisa saja tidak mau. Buang-buang waktu. Toh mereka tidur bersama atas dasar mau sama mau meski tak ada cinta pada mulanya. Hanya sebatas bersenang-senang karena lelah dengan masa lalu yang terus membayang dan menjemukan.
Tapi laki-laki itu jelas tak bisa mungkir bahwa hatinya mulai terikat. Ada rindu yang mendesak-desak ketika sehari saja tak menemukan Marisa di sekitarnya. Ada yang kurang saat perempuan itu berada jauh dalam jangkauan. Dan hatinya bisa begitu bergembira sekali saat Marisa-nya terang-terangan bilang, kangen.
Tama berdecak lalu menahan senyum tipisnya. Kangen? Bisa dibilang ini sebuah kemajuan, kan?
Kalau sudah begitu, kenapa pula ia harus ragu?
"Mas."
Suara sapa dan ketukan pintu itu membuat Tama yang hampir kembali sibuk dengan ponsel mendongak. Perempuan itu melongokkan kepala di celah pintu, menggoyangkan tumbler minum.
"Buat Mas Tama. Aku bikin dua tadi. Mau?"
Senyum tulus itu sama merekahkan senyum di bibir Tama. "Boleh, deh!" pintanya seraya mengulurkan tangan kanan dan melihat arloji di pergelangan tangan kiri.
Risa sontak mendekat, meletakkan tumbler yang Tama duga isinya kopi. Sebab beberapa waktu yang lalu ia sempat menyampaikan pujian dari Baskoro bahwa kopi buatan perempuan yang tengah berdiri di hadapan Tama itu ... enak.
"Aku berangkat. Sampai ketemu akhir pekan nanti, ya."
Usai berpamitan, Risa segera berlalu sedikit tergesa. Meninggalkan Tama yang terdiam sejenak menatap punggung perempuan berkemeja biru itu. Sampai akhirnya, celetukan Tama menghentikan langkah perempuan yang baru saja sampai di ambang pintu.
"Lima menit, Sa! Masih ada waktu lima menit lagi," terangnya cepat.
Dan permintaannya itu bersambut. Risa kembali sambil tertawa-tawa, mengakui kekonyolannya mengaku rindu melalui pesan WhatsApp kemarin. Waktu lima menit itu cukup Tama ambil untuk berciuman satu menit, dua menit merengkuh erat, dan menit berikutnya jelas membuat perempuan itu pontang-panting turun ke lantai bawah dan bersegera melakukan pekerjaannya. Sebab yang katanya semenit, bisa saja berubah jadi dua menit. Yang katanya dua menit, bisa saja berubah jadi tiga menit.
Lalu, keraguan itu lebur. Tama mau mengambil segala risiko. Kelak jika perempuan itu tak kuasa mendulang kasih bersamanya, ia rela melepaskan. Asalkan ada bahagia untuk Marisa. Tapi seperti kata laki-laki yang pernah ia kenal dan bersemayam di hati Alika, jika perempuan itu bersedia memilih bersamanya, Tama berjanji akan selalu memastikan bahwa Marisa bahagia. Termasuk bila bahagia itu harus ia tempuh dengan melepasnya.
**
Tina:
Mbak ....
Risa:
Ya, Tin? Ada yang kurang di bus 3?
Tina:
Nggak. 😬
Tina:
Tadi aku sempat liat Mbak sebelum masuk bus 1. Mbak cek lagi kancing bajunya. Yang atas kayaknya mau putus, deh.
Risa:
Hah?
**
(27-03-2023)
====🏖🏖🏖====
Itu kenapa bisa kancing mau putus Risa nggak sadar, ya? Dan kenapa harus Tina yang tahu? Kan, Tina jadi kebanyakan suudzon! 🤣🤣
Maafkan up malam, ya. Sedikit sweet, sih. Hot-nya belum! 😝
Oke, jangan lupa vote dan komentar. Semoga rezeki dan puasa kalian lancar, ya. Aamin. 🥰
====🏖🏖🏖====
Oh ya, jangan lupa follow akun media sosialku, ya. 🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top