[1]. Sakit dan Masa Lalu
Hai, selamat malam!
Maafkan baru update. Dari tadi mau update, tapi kayaknya Wattpad lagi error, deh.
Draft cerita ini hilang dua paragraf. 😭
Oke, happy reading! Mas Tama mau berjuang lagi ini buat mencuri hati kalian.
Kasih dukungan vote dan komen yang banyak, dong. 😍
Terima kasih. 🥰🤗
===🏖🏖🏖===
Rumah minimalis dengan dua kamar itu masih sunyi pada pukul enam pagi. Seharusnya, wanita yang tengah menyesap kopi instan itu hanya tinggal berdua dengan adik perempuan. Sejak kedua orang tua mereka kecelakaan dan meninggal di tempat, Marisa harus bertahan hidup. Setidaknya demi adik tercinta yang kerap ia timang sejak bayi.
Marisa kecil mau adik. Adik perempuan yang manis, yang setiap pagi dan sore bisa ia sisir rambut panjangnya, lalu menghiasnya dengan aneka jepit dan pita warna-warni. Usianya baru tujuh tahun saat Ibu dengan gembira mengabarkan ada adik kecil di dalam rahim. Usianya baru delapan tahun kala Mariana--adiknya--terlahir.
Seperti janjinya, sebagai kakak, Marisa akan menjadi sosok panutan yang baik dan menjaga Mariana. Sayangnya, ia sama sekali tak paham bahwa menjaga seorang adik butuh banyak pengorbanan ketika pusat dunia mereka runtuh. Ayah dan Ibu pergi untuk selamanya ketika Marisa berusia 12 tahun dan Mariana masih terlalu dini untuk ditinggalkan.
Bude Sri dan Pakde Yatno yang merawat dua anak itu sampai akhirnya Marisa mampu berdiri sendiri menopang keluarga. Ia memutuskan hidup mandiri dan terpisah dari keluarga Bude Sri dan menanggung perekonomian termasuk masa depan Mariana.
Di usia dua puluh tahun, Marisa bekerja sambilan sembari menyelesaikan kuliah. Beruntung suami Bude Sri kerap memberinya pekerjaan tambahan sebagai pemandu wisata lokal untuk para tamu dari dinas pariwisata. Enam bulan mengikuti kursus bahasa Inggris setelah lulus SMA cukup menjadi bekal Marisa terampil berbahasa asing.
Hidup Marisa dan Mariana baik-baik saja. Keduanya saling mendukung dan Mariana teramat manis dan penurut. Gadis penurut itu juga memiliki prestasi yang cemerlang. Sebagai kakak, Marisa bangga. Saking bangga dan percaya pada manisnya Mariana, Marisa lupa bahwa adiknya kelak mendewasa, menjadi gadis cantik, dan mungkin akan banyak pria yang mau bersanding dengannya. Tapi ... kenapa harus Rama?
"Baru landing semalam?"
Suara serak khas bangun tidur itu membuyarkan lamunan Marisa. Perempuan yang sejak tadi hanya menatap kosong pada kepulan uap hangat kopi mendongak. Ada sembilu yang mencubit hatinya ketika mendapatkan laki-laki berpenampilan shirtless di rumah ini. Menemukannya dalam kondisi jauh dari angan-angan indah sejak lulus di bangku kuliah.
Nyatanya, kadang kenyataan bisa menampar keras siapa saja bahwa terkadang hidup tak sejalan dengan apa yang diimpikan. Marisa menghela napas panjang dan mengangguk singkat. Ia sudah berniat bangkit dan beranjak menghindar ke kamar. Namun, cekalan tiba-tiba di pergelangan tangan kiri membuatnya urung.
"Begini caramu menghukumku?" tanyanya. Manik kelam dengan cekungan mata yang tajam itu menatap Marisa dengan teliti.
"Maksudmu?" Marisa mengentakkan cekalan.
Rama mengusap wajahnya kasar. "Kamu mengabaikanku, Cha! Kamu janji semua akan baik-baik saja setelah aku mau bertanggung jawab atas Riana, bukan?"
"Aku baik-baik saja kalau kamu mau tahu. Kamu lihat sendiri, aku sehat dan masih bisa bertahan hidup meski hatiku berantakan." Marisa berkata tanpa menatap lawan bicara. Ia masih sadar bahwa mata kelam itu masih menjadi pusat kelemahannya.
Daripada terlihat menyedihkan karena terlihat merapuh di depan sumber kelemahannya, Marisa memilih tetap beranjak. Melupakan kopi hangat pagi ini sebelum pergi bekerja.
Namun, cekalan Rama kali ini lebih erat. Ia menyentak tubuh ramping perempuan berpiama hitam itu sampai jarak mereka rapat. Marisa belum sempat menghindar ketika tiba-tiba pergerakan cepat laki-laki itu mengunci mulutnya. Rengkuhan erat lengan kekar Rama sama sekali tak memberikan celah untuk berontak.
Tangan bercat kuku merah Marisa mengepal erat, berkeras mendorong dada bidang pria itu agar bersegera mundur. Namun, bisa apa bila nyatanya, masih ada rasa yang tersisa di benak?
Dada Marisa bergemuruh ribut. Hati dan logikanya berjalan tak searah. Tubuh semampai itu memang terus berontak pada mulanya. Namun, sejalan dengan desakan dan lumatan yang dalam di atas bibir tipisnya membuat ia luluh lantak. Pukulan dua kepalan tangannya melemah, berganti dengan isak tertahan, lalu satu balasan lumatan kecil pada detik terakhir Rama mengakhiri sentukan paksa itu.
"Please, tunggu aku menyelesaikan semua. Setelah itu aku janji akan memperbaiki hubungan kita yang sempat kandas," bisik Rama seraya melekatkan kening di kening Marisa.
Deru napas keduanya masih saling bertemu. Ada hangat yang Marisa rindukan, tapi benci itu bergejolak di dada setiap kali ia teringat ada salah yang tak pernah bisa termaafkan. Seiring tangis yang mulai terdengar, pelukan erat Rama mengendur, membiarkan Marisa terisak-isak di balik kedua telapak tangan.
"Brengsek kamu, Ram! Brengsek!" umpatnya dengan suara tertahan.
Dan ia selalu kesulitan melepas belenggu rasa yang masih saja ada meski tak lagi sama. Sakit, tapi sulit dienyahkan begitu saja. Sebab waktu tiga tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menjalin sebuah hubungan menuju ke jenjang yang lebih serius.
Marisa ingin menyudahi semua. Satu-satunya jalan mungkin lebih baik enyah yang jauh.
Siapa saja, Tuhan, tolong datangkan siapa saja untuk membantuku keluar dari perkara yang menyakitkan ini.
Kalimat itu selalu terlantun dalam batin di setiap kesendiriannya. Hampir setiap saat.
**
Kartu identitas diri bertali biru itu masih ia pandangi dengan saksama. Sesekali bergoyang tertiup angin semilir di pelataran belakang rumah. Tujuh hari mengitari Bali, mengunjungi banyak bar setiap malam di Seminyak, semua usahanya ... nihil.
Perempuan itu tak kunjung ditemukan usai melarikan diri.
Perasaan Tama kacau tentu saja. Bagaimana bisa seorang wanita yang ia tiduri kabur begitu saja tanpa sepatah kata pun. Jangankan minta pertanggungjawaban, pamit pun tidak.
Tama hampir gila memikirkannya. Merasa bersalah dan bertanggung jawab atas semua yang terjadi malam itu. Meski ingatannya masih berfungsi dengan baik bahwa semua itu terjadi di luar kendali. Mereka mabuk parah, berakhir memecut gairah.
Laknat memang kalau dua manusia berbeda jenis terpantik renjana kurang ajar yang tak tahu tempat. Teman bukan, pacar bukan, calon bukan, istri apa lagi. Kenal juga nggak!
Tama bergumam tak jelas seraya menyangga kepala dengan satu siku menumpu di atas lutut.
"Jadi, kamu jauh-jauh pulang dari Bali ke sini cuma mau minta Papa buat bantu kamu pindah kerja?" Pria tua yang sedari tadi sibuk melempar pakan ikan ke dalam kolam mulai bersuara.
Baskoro--ayah Tama--kembali duduk di kursi lipat dekat kolam. Ia berdeham seraya menatap ikan koi yang berenang-renang di air jernih.
Tama mengembuskan napas sembari menegakkan tubuh. "Papa keberatan?"
Bibir pria tua itu mencebik. "Udah sembuh dari patah hati, ya? Nggak main-main yang nggak bener, kan, kamu, Mas?"
Kelopak berbulu mata lentik itu mengerjap.
"Pita pilang, seminggu yang lalu mampir ke apartemen kamu di Bali, nemu kemeja perempuan tuh." Ujung mata Baskoro mengerling ke arah putranya.
Tama buru-buru berpaling meski ia sadar, tiba-tiba saja wajahnya memanas mendengar penuturan sang papa. "Pita aja didengerin!" sangkalnya. "Dia suka ngaco."
Baskoro terkekeh-kekeh. "Temui mamamu di kamar. Dia bilang mau minta maaf sama kamu, Mas."
Tatap Tama meredup. Rahang anak tertua di keluarga Baskoro itu bergerak gelisah ke kiri dan kanan. "Minta maaf untuk?"
Pria tua berkaus oblong itu menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan. "Mama udah tahu kenapa dulu pernikahanmu dengan Alika batal."
Tama menunduk kemudian lalu menatap sang papa berhias senyum tipis. "Maaf, Pa ...."
Baskoro hanya mengangguk-angguk seraya melengkungkan bibir mengerti. "Papa paham, kamu pasti punya alasan yang masuk akal. Papa ... salut sama kamu."
Ada hening beberapa detik sampai akhirnya Baskoro menepuk kedua pahanya. "Yah, anak-anak Papa sudah dewasa. Sepertinya, Papa sama Mama terlalu berlebihan kalau harus menjodoh-jodohkanmu dengan teman dan rekan bisnis. Kamu berhak menentukan pilihan sekarang. Temui Mama segera."
Tama meninggalkan posisi duduk di gazebo. Ia mendekatkan kartu identitas bertali biru dengan foto seorang gadis di kartu itu. "Janji bakalan bantu aku masuk ke perusahaan ini?"
Baskoro mengedik dan kembali sibuk dengan ikan-ikan hiasnya. "Tergantung. Kalau kamu bisa meyakinkan Mama, Papa, sih, oke aja!"
"Oke! Urusan restu Mama, biar Tama yang urus." Tama membuat bentuk lingkaran dari telunjuk dan ibu jarinya.
Putra Baskoro itu beranjak. Meninggalkan pria itu yang terkekeh-kekeh kecil ketika putranya beranjak. Sejujurnya, ia sedikit lega melihat Tama kembali memiliki tujuan hidup dan tak lagi hanya memikirkan pekerjaan. Baskoro tahu, bukan perusahaan yang bergerak di bidang tour and travel itu yang Tama tuju, tapi gadis dalam kartu identitas perusahan itu.
**
Perempuan itu masih mengunyah potongan apel dengan enggan. Tiga hari ia sakit. Baru hari ini ia bisa bangkit dan mulai makan enak.
"Sibuk banget kamu, ya? Sampai Mama sakit aja baru kamu jenguk, Mas." Rima mengerling jengkel.
Sementara sang mama terus menatapnya dengan pandangan kesal, Tama hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Mama ... masih marah?"
"Nggak."
"Terus?"
Rima menusuk sepotong apel pada piring di atas pangkuan. Menjejalkan buah sedikit asam itu ke dalam mulut lagi. Ia masih belum minat angkat bicara meski Tama masih mau menunggu.
Perempuan itu memindahkan piring ke nakas dan mendesah lelah. "Kenapa kamu nggak bilang kalau dulu calon istri kamu dihamilin orang sampai akhirnya pernikahan kalian batal?"
"Ma ...." Tatap Tama memohon. Sungguh, ia sedang tak minat membahas masa lalu yang telah lewat itu.
"Kamu ...." Perkataan wanita berambut sebahu itu tertahan. "Kamu tega bohongin Mama? Kamu ... bilang kamu selingkuh. Bilang nggak bisa ada rasa sama perempuan itu. Bilang perempuan itu ...."
"Namanya Alika, Ma. Kalau Mama lupa." Tama mengingatkan dengan tatap lembut. Ia meraih tangan Rima, menepuk-nepuk pelan punggung tangannya. "Mama kurusan tiga hari ini sakit."
Riak-riak bening di pelupuk menggenang. Rima cepat-cepat menghapus sudur matanya yang basah. "Tega kamu bikin Mama emosi dan mengabaikan kamu gara-gara nggak terima kamu berbuat selingkuh di belakang Alika. Tega kamu bikin Mama nggak tahu kebenaran kalau sesungguhnya dia yang khianatin kamu, Mas."
Ada perih yang menghunjam di hati seorang ibu saat menumpahkan segala isi hatinya pagi itu. Tujuh bulan ia menghindari publik karena malu pernikahan anaknya batal sementara Rima telanjur membawa Alika ke mana pun dan memperkenalkannya sebagai calon menantu. Tujuh bulan ia tak tahu kalau sebenarnya Tama hanya sedang berusaha melindungi nama baik mantan kekasih dan keluarganya dengan mengatakan telah berselingkuh.
"Maaf ... Mama minta maaf, Mas." Air mata Rima menganaksungai. Ia menarik tangannya dari genggaman Tama kemudian sibuk sendiri menghapus lelehan bening di kedua pipi.
"Mama nggak salah. Aku yang nggak bisa liat Mama terluka kalau tahu kebenarannya." Dua lengan Tama merengkuh tubuh perempuan yang tergugu dalam dekap.
Lama Rima hanya menangis dalam pelukan putranya, Tama berdeham.
"Aku maafin Mama, tapi ...."
"Tapi apa? Masa kamu mau maafin mama sendiri pake syarat segala, Mas!" Wajah sembap perempuan itu mendadak memberengut kesal.
"Gampang banget syaratnya ini, Ma! Jarang-jarang aku kasih syarat, lho!"
"Ya udah, cepet apaan?" Rima membenarkan posisi duduk. Terlihat seperti sedang tak sabaran.
"Tolong restuin aku sama gadis ini. Kalau Mama kasih restu, aku janji bakal serius kejar dia sampai dapat." Tama menunjukkan kartu identitas yang baru ia ambil dari saku kemeja.
Rima menerima uluran benda pergi panjang dari tangan putranya. Ia mengamati foto gadis yang tampak manis dan lugu. "Cantik. Tapi ini siapa?"
"Mama harus kasih restu. Nggak bisa nggak." Tahu sang mama akan banyak bertanya ini itu, Tama mulai mendesak.
"Ya, tapi Mama harus tahu dulu ini siapanya kamu, kapan ketemu, rumahnya di mana. Kalau nggak kenal, gimana Mama mau kasih restu?" Rima mulai mendebat. Sudah cukup sekali saja anaknya terpuruk gara-gara gagal menikah.
"Kasih restu dulu. Jawab iya aja biar aku lega kalau mau gerak cepet."
"Ya, kenapa juga harus cepet-cepet? Memangnya nggak perlu saling kenal lebih dekat dulu sebelum menjalin hubungan yang lebih serius, biar nggak kejadian yang salah lagi."
"Udah telanjur, Mama!" Tama mendesis jengkel.
"Telanjur gimana?"
Putra Rima itu mengatupkan belah bibirnya rapat-rapat. Ia bersiap memundurkan posisi duduk sedikit jauh. "Janji nggak bakal marah? Tama janji bakal tanggung jawab."
"Iya, janji nggak marah. Telanjur gimana?"
"Aku ... nggak sengaja ... nidurin dia karena mabuk."
Iris mata Rima mengerjap sejenak. "Oh ...." Dan dua detik berikutnya, kelopak itu membelalak kaget. Rima memekik, "Ya, ampun, Mas! Itu dosa!"
Kemudian, Tama hanya bisa terdiam sembari menahan panas atas jeweran di salah satu telinga dan cubitan di sisi perut sebelah kanan.
Tama tahu ia salah. Sebab ia dan adik-adiknya dididik menghargai sakralnya hubungan di atas ranjang setelah janji suci terucap ketika dua tangan berjabatan di atas meja akad. Untuk itu, ke mana pun dan di mana pun gadis itu pergi akan Tama kejar.
**
(16-01-2023)
===🏖🏖🏖===
Cie, ada yang nggak sabar pengen cepet adegan flash back! 🤣
Sabar, kita pemanasan dulu.
Semangatin Mas Tama selalu, yok!
Terima kasih. 😘🤗
===🏖🏖🏖===
Follow akun media sosial dan akun platform menulisku, ya, Kakak. Thank you. 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top