5.

Only liars manage to always be out during bad times and in during good times

- Bernard Baruch

Setelah hampir dua bulan menjadi mahasiswa, akhirnya aku tahu bahwa semua penggambaran tentang tokoh mahasiswa di berbagai produk fiksi memang hanya fiksi belaka. Apalagi yang temanya tentang romansa, sungguh hina semua itu karena jarang ada betulnya. Let me burst your bubble. Mahasiswa itu pada kenyataannya sibuk mengerjakan tugas, menyalin catatan, dan mempersiapkan diri untuk kuis dadakan di kelas-kelas dosen killer. Romansa kampus itu hanya dimiliki seperempat mahasiswa di satu jurusan alias dikit banget. Kalau romansa kampus aja begitu, jangan tanyakan lagi kehidupan lainnya.

Jujur aku cukup kagum pada beberapa teman seangkatanku yang sudah aktif di berbagai organisasi mulai dari yang standard seperti himpunan atau UKM sampai organisasi-organisasi politik kampus yang isinya memikirkan kritik terhadap pemerintah melulu. Kayaknya buat mereka, waktu sehari itu ada 36 jam bukan 24 jam. Oh, atau mungkin skala prioritas mereka yang berbeda. Apalah aku si Ratu Judes seangakatan yang hobinya ternyata kupu-kupu alias kuliah pulang – kuliah pulang jika dibandingkan dengan mereka yang aktif di organisasi.

Pinkan masih setia menemaniku yang menolak masuk organisasi dan kegiatan apa pun. Kalau dia sendiri sih lebih karena malas capek dan sangat education oriented. Buat Pinkan, kuliah udah mahal-mahal lebih baik mengejar IPK aja daripada melantur ke kegiatan lainnya. Teman dekatku yang lain (ehem), alias si Andre, paling berbeda dengan kami. Dia sudah ikut UKM futsal, terpilih jadi relawan berbagai program kerja himpunan, bahkan katanya dia berencana ikut pemilihan anggota BPM tahun depan. Sungguh membanggakan memang kesayanganku yang satu itu.

Walau berbeda soal pilihan sikap kegiatan kampus, Pinkan dan Andre punya satu kesamaan yaitu memarahiku yang tidak pernah fokus kuliah. Makananku setiap hari adalah buku latihan soal SBMPTN, sore hari biasanya aku baru menyalin catatan mereka berdua dan mengerjakan tugas di perpustakaan. Jadwal seperti ini sangat efektif. Buktinya, weekend kemarin aku ikut try out SBMPTN dan passing grade-ku melonjak tajam. Fokus! Hanya itu yang kubutuhkan.

Fokus inilah yang selalu jadi bahan omelan Andre dan Pinkan. Bahkan hingga detik ini ketika aku sedang makan siang bersama mereka dan tidak membuka buku SBMPTN sama sekali. "Lo tadi kelas Prof Ina ngerjain soal tes univ lagi kan, Mir? Gue lihat tuh! Rasanya pengin gue robek bukunya biar lo nggak ngerjain itu melulu." Andre yang sedang betah mengocehiku siang ini. "Tadi tuh Prof Ina hampir sadar lo nggak perhatiin dia. Untung Pinkan pintar langsung bukain buku Kotler buat nutupin kerjaan lo." (baca: kotler tuh buku diktat untuk kelas bisnis sama managemen pemasaran gitu, tebel parah warnanya hitam udh semacam death note :p)

"Duh, Ndre!" Pinkan mulai menambahkan dengan keluhannya, "gue udah hafal pokoknya kalau dosennya killer, yang wajib peka sama situasi tuh gue. Mira mana peduli. Kayaknya kalau dimarahin sama dosen juga bakal dia omelin balik itu dosen."

"Kalau nggak niat kuliah buat apa lo ada di sini, Mir? Mending lo ikut bimbel aja sekalian, jadi lo bener-bener fokus bukannya memecah fokus lo dari hal yang seharusnya." Andre bertanya dengan sangat perhatian. Aku lemah diperhatikan seperti ini sama Andre yang sangat menggoda iman itu.

Akhirnya aku hanya bisa meringis. "Mau gimana, gengs? Bokap sama nyokap gue sebenarnya nggak suka gue masuk psikologi. Mereka bahkan nggak mengerti alasan gue ngotot masuk psikologi. Kayaknya mereka malah senang deh pas gue nggak keterima fakultas psikologi di universitas yang gue mau."

"Emangnya kenapa lo mau masuk psikologi? Gue baru ngeh kalau lo belum pernah cerita sama kita soal itu." Andre melemparkan pertanyaan lagi dengan suaranya yang mampu membuatku meleleh.

"Dia mau jadi marriage counselor, Dre. Itu tuh, psikolog yang khusus menangani masalah-masalah pernikahan orang." Pinkan dengan sangat baik hati menjawabnya untukku.

Aku tersenyum kikuk melihat kebingungan Andre. "Jangan bingung gitu dong, Ndre. Lo tahu kan gue itu orangnya sangat terencana. Apa yang akan gue lakukan besok aja udah terjadwal. Bayangkan jadi gue yang udah tahu mau melakukan apa sama hidup terus kacau karena nggak keterima masuk PTN. Kesal kan, Ndre? Dari kecil gue udah tertarik sama hubungan manusia, baru pas besar gue tahu itu namanya psikolog di bagian marriage counselor. Ya, sejak itu gue memutuskan mau berprofesi di bidang itu."

"Bukannya stress mikirin pernikahan orang lain? Lo yakin gitu? Mending ngurusin benda mati kayak uang, Mir," suara renyah Andre membuyarkan tatanan alasan yang sudah siap kupaparkan.

Aku blank sejenak. "Uhm..."

Pinkan yang sudah selesai dengan makanan di piringnya kini nimbrung lagi. "Ndre, setiap orang kan kesukaannya beda-beda. Apa yang stress di elo belum tentu stress buat Mira. Kali aja Mira nggak bakal stress memikirkan pernikahan orang lain, cuma gue yakin orang lain bakal ketambahan stress kalau dapat psikolog judes kayak Mira."

"Pinkan, mungkin sekarang lo bisa nyebur ke kali di depan kita dengan sukarela. Berhubung gue belum dorong badan lo nih. Gue kasih lo kesempatan." Aku memberi Pinkan senyumanku yang kurasa paling jahat.

Kedua orang ini justru tertawa. Sialan memang mereka berdua ini sudah kebal dengan amarahku. "Malah ketawa!" kutatap lagi keduanya dengan ganas.

Andre mengacak puncak kepalaku. "Galak amat, sih. Uluh. Bikin gemes!"

Aduh aku rasanya mau terjun ke kali di depan situ aja deh sekarang. Tangan Andre adem banget semacam tangan-tangan malaikat yang membelai kalau manusia lagi melakukan hal-hal baik. Duh, analogiku kenapa nggak pernah bagus, deh? Malaikat itu ada, kan?

"Apaan sih, Ndre!" kutepis tangannya pura-pura marah padahal dalam hati sudah bergejolak parah. "Rambut gue tuh udah dicatok, disisir, dan dirawat pagi-pagi. Seenaknya aja lo giniin."

"Galaknya kurangin dong, Mir. Nanti nggak jadi gue ajak nonton tandingan futsal hari ini, loh," Andre berkata ringan sambil mengambil tissue untuk menyeka bibirnya.

"Tanding futsal apaan, Ndre?" Pinkan kebingungan.

Aku melempar senyum termanis pada Andre. "Yah, lo jangan ngambek dong. Kan lo tahu gue orangnya begini. Makanya jangan ngeledekin gue. Pokoknya ajak gue nonton tandingan futsal lo. Awas kalo nggak."

"Oh! Lo mau nonton Andre tanding futsal?" Pinkan mulai mendapat pencerahan menatap meminta kepastian padaku.

"Dia mau nonton Kak Danu main futsal, Kan. Lo mau juga?"

Ih! Andre sok tahu! "Apaan sih bawa-bawa Kak Danu! Gue bukan mau nonton dia tanding futsal!" Gue maunya nontonin elo, Ndre! Ada apa sih sama makhluk bernama laki-laki yang nggak pernah peka dengan berbagai kode yang dilemparkan perempuan? Mungkin mereka buta. Oh, atau mungkin karena tidak ada lintasan cahaya itu di atas kepala Andre untukku. Shit! Aku jadi ingat lagi dengan si Jodoh-ku yang ngeselin itu.

Seketika itu, mood-ku langsung terjun bebas. Kuhentakkan sendok garpu ke piring yang sudah tandas isinya. Bunyi gemerincing terdengar. Andre dan Pinkan sontak terkejut. Keduanya melempar pandangan bingung. "Nasi gorengnya ngeselin," aku memberi alasan ngawur untuk menjustifikasi tindakanku barusan. Yeah, bear with me, people.

***

Andre itu ketampanannya di mataku sangat hakiki, apalagi ketika main futsal di lapangan seperti saat ini. Kalau ada yang bisa menggambar wajahku sekarang, pasti isinya hanya emoji hati di kedua bola mataku yang sedang memerhatikan Andre menjadi penjaga gawang untuk tim futsal angkatan kami. Semua orang bersorak-sorak untuk angkatannya masing-masing. Menurut informasi yang kudengar dari bisikan di sana-sini, sorak-sorai ini masih lebih mending ketimbang kalau pertandingan yang digelar adalah sparring antar fakultas. Wow! Heboh juga ternyata mahasiswa-mahasiswi kampusku dengan olahraga futsal.

"Danuja! Danuja! Danuja! DAAANUUUJAAA! GOAALL!!" teriakan itu adalah sebuah dukungan massal untuk sosok paling mendapat sorotan di lapangan kali ini. Siapa lagi kalau bukan Kak Danuja dengan rambut gondrongnya yang dicepol ke atas. Harus kuakui, performanya di lapangan memang luar biasa. Gawang yang dijaga Andre sulit ditembus, namun Kak Danuja mampu menghalau kesulitan itu.

Berlawanan dengan kebahagiaan para senior dan cewek-cewek yang kayaknya nge-fans dengan Kak Danu, aku justru menghentakkan kakiku kesal. Tendangan barusan adalah penutup pertandingan yang membuat angkatan Kak Danu menang dari angkatanku. Andre terlihat kesal juga, namun langsung tersenyum begitu Kak Danuja dengan gentleman bersalaman dengannya dan seluruh pemain lain di lapangan.

Setelah hampir semua orang bubar dari lapangan fakultas, aku menghampiri Andre. "Cupu lo kalah!" kudorong bahunya dari belakang membuatnya cekikikan.

Pemain futsal yang lain cukup kaget melihat kehadiranku. Aku berusaha sebisa mungkin melempar senyum manis pada mereka, namun tampaknya tidak bekerja karena mereka malah terlihat ketakutan. "Woi, jangan lempar senyum sinis begitu. Kasihan tahu mereka pada takut." Andre yang kayaknya kelelahan banget masih bisa-bisanya meledekku.

"Berisik banget mulut lo!"

"Wooo!" seruan serempak orang-orang di lapangan membuatku malu mendadak.

"Ngapain lo di sini?" dan di tengah suasana penuh ledekan itu, Kak Danuja justru memutuskan untuk menyulut api peperangan.

Aku menatapnya sangar. "Emang ini lapangan nenek moyang lo? Ada tulisannya gue nggak boleh ada di sini?"

"Punya junior nggak sopan kayak lo membuat gue menyesal nggak masuk fakultas teknik. Coba lo sama gue anak teknik, udah kelar hidup lo hari ini." Dia tertawa di akhir kalimatnya membuat arti kalimat barusan jadi ambigu. Kak Danuja ini sedang marah, menegur, atau bercanda?

"Ini berantem dari jaman ospek belum kelar? Abis ospek fakultas sama jurusan, sekarang ada ospek angkatan di kampus kita?" salah seorang yang sepertinya seangkatan dengan Kak Danuja angkat bicara. Aku gagal mengingat siapa nama orang ini.

Andre menanggapi, "Mira emang begini Kak Gio orangnya, nggak perlu dipikirin. Dia baik kok aslinya. Sama Kak Danuja juga sebenarnya nge-fans banget, Kak."

"Mulut lo kotor banget, Ndre! Gue cuci pakai air keras juga, nih." Kutarik telinganya gemas. Ganteng-ganteng tapi tukang ngerjain orang tuh bikin tambah sayang. Kesal!

Kak Danuja sepertinya mulai malas menanggapi. "Gue balik duluan, deh. Minggu depan latihan lagi buat sparring sama anak FISIP."

"Balik ke mana, lo?" Kak Gio menahan langkah Kak Danuja. Sungguh tindakan terbodoh yang pernah kulihat. Udah bagus itu orang pergi dengan sukarela.

Tanpa kusangka, Kak Danuja justru tersenyum. "Balik ke rumah," jeda sebentar sambil memindahkan pandangannya ke arahku, "hari ini lagi nggak bisa nongkrong." Senyumannya masih bertengger di sana terlempar ke arahku. Duh! Apa coba maksudnya? Untung saja itu nggak lama karena Kak Danuja kayak udah kebelet pipis langsung cabut begitu aja meninggalkan lapangan futsal.

Aku yang terjebak bersama Andre jadi mengikuti sisa acara bersama anak futsal yaitu nongkrong di kantin belakang menikmati es teler yang ternyata nikmat banget dan buah alpukatnya banyak parah. Mereka bercanda mengenai banyak hal sementara aku kadang-kadang nimbrung nggak jelas karena sibuk memuja keindahan tawa lepas Andre di sebelahku. Tawa itu kemudian terhenti karena notifikasi dari grup angkatan yang cukup menggemparkan. Bu Nusri meninggal beberapa jam yang lalu.

Dari canda, obrolan berubah menjadi mengenang Ibu Nusri yang ternyata banyak disayang mahasiswa lain. Niat melayat pun langsung tercipta. Kami berangkat bersama tanpa pikir panjang. Aku tidak tahu bagaimana dengan yang lain, namun jantungku rasanya mau copot ketika melihat Kak Danuja ternyata sudah sampai di sana sejak tadi dan sudah akan pamit pulang. Bulu kudukku meremang. Rasanya kebahagiaanku tengah ditelan oleh keberadaannya.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top