2. Rencana 100 Hari

Selepas makan siang, Janina sudah duduk manis di ruang meeting Sky High Radio. Disebelah kanannya sudah ada Maria, kreatif di acara Starry Night. Di sisi kirinya ada Nandia, penulis script Starry Night. Lalu di depannya ada Mas Sandi, si Produser. Siang itu mereka akan membahas tentang perayaan seratus hari Starry Night mengudara. Mas Sandi menginginkan acara yang sederhana tapi mengena di hati pendengar, mengingat Starry Night adalah program Sky High Radio yang memiliki rating tinggi.

"Jadi, kalian ada ide nggak?" Mas Sandi mengawali meeting siang itu.

Janina melirik Maria dan Nandia bergantian. Dia kemudian berdehem sejenak. "Gue kepikiran bikin acara sejenis...fan meeting gitu ya, Mas."

Mas Sandi tergelak. "Kayak banyak fans aja lo!"

Janina ikut tertawa. "Maksud gue ya, bukan buat gue kali Mas. Buat penggemar acara ini. Jadi kita ngundang 100 orang gitu. Aku siaran depan mereka. Kayak panggung terbuka gitu. Terus nanti pengisi acaranya live. Pendengar yang dengerin on-line maupun yang ada di tempat bisa ikutan kirim-kirim pesan. Kayaknya lucu deh, Mas. Kita bikin di pinggir pantai. Pakai stage seadannya."

"Kayak mini concert gitu ya, Jan?" tanya Maria.

"Iya, kayak gitu maksud gue. Bintang tamunya dua aja. Yang lagunya sering diputer di Starry Night." Janina membenarkan maksud Maria.

"Siapa ya," Nandia mengetuk-ngetuk dagunya dengan bolpoin yang dia gunakan untuk menulis. "Belakangan yang sering di request itu lagunya itu lho, band Indie yang aliran folk itu. Eum, Sunda Kelapa kalau nggak salah."

"Oh iya, bener! Terus kan, ini tinggal sekitar dua bulan lagi nih. Sanggup nggak kita?"

"Sanggup lah, bikin event yang lebih gede aja sanggup. Masa kecil-kecilan begini nggak bisa." Janina menepuk bahu Maria yang tidak yakin dengan kesuksesan event mereka nantinya.

"Bintang tamunya Sunda Kelapa sama siapa, nih?" Nandia mulai menuliskan rencana mereka pada kertas plano. "Nggak ada event rundown? Jadi, kayaknya event kecil menuju yang hari H-nya."

Nandia memandang Janina, Maria dan Mas Sandi bergantian. Ketiga orang itu nampak berpikir sejenak. Mendadak Janina teringat akan sebuah postcard yang dikirimkan oleh 'Nyamnyam'. Memang sudah jadi aturan main di Starry Night jika pesannya ingin dibacakan, mereka harus mengirimkan postcard yang unik. Dan postcard milik Nyamnyam adalah satu dari sekian banyak postcard unik yang masuk. "Gue jadi kepikiran deh," semua mata kini menatap Janina, menunggu ide dari Janina. "Terakhir gue dapet kiriman postcard itu lucu banget. Biasanya kan, cuman di gambar-gambar gitu. Yang kemarin ini dia hias pakai bunga daun kering. Nah, gimana setiap seminggu sekali kita undang si pengirim untuk ikutan on-air bareng gue. Kita mulai dari si postcard unik yang terkahir masuk ini. Punya si 'Nyamnyam'."

"Hmmm, boleh-boleh." Mas Sandi menyetujui usul Janina. "Gimana yang lain? Ada ide lain nggak?"

"Gue sih, setuju." Maria menjentikkan jarinya. "Kita undang juga pengisi acara buat ngobrol-ngobrol di radio. Sama live perform di radio juga."

"Bintang tamunya cuma Sunda Kelapa aja?" Nandia menuliskan list bintang tamu pada kertas plano.

"Gimana Mas? Satu aja, nih?" Janina bertanya pada Mas Sandi.

"Satu aja deh, lo kan juga bisa nyanyi, Jan. Ntar lo sok-sok duet aja bareng Sunda Kelapa."

"Iya, bener! Kan ada sesi live acoustic di radio, lo juga yang ngisi. Nah, ini lo kita munculin, deh."

Janina meringis malu mendengar ide Mas Sandi dan Maria. Dia memang suka musik dan sering live acoustic di beberapa sesi Starry Night. Tapi, itu kan, dia tidak berhadapan langsung dengan banyak orang. Nah, ini nanti dia akan bernyanyi di depan seratus orang, nyali dia belum sebesar itu.

"Oke deh, fix ya, ntar aku ngontak managernya Sunda Kelapa. Sama nyari kontaknya si Nyamnyam ini biar besok Senin dia bisa ikutan on-air bareng lo. Ntar konsepnya gimana-gimana kita adain meeting lagi minggu depan. Ini, gue sama tim, kalo udah berhasil deal sama Sunda Kelapa, ntar langsung gue promoin ke akun sosmed kita. Sementara ini kita sentil-sentil aja dulu tentang event ini, sambil kita lihat animonya." Nandia merangkum hasil rapat dan langsung disetuji oleh Mas Sandi.

***

"Mau kemana sih, Bang?" Kanya memperhatikan jalanan yang dilewati Dru.

"Kan, Abang udah bilang mau kumpul sama Dave, Dio dan Damian."

"Oh iya, lupa! Hehehe." Kanya tersenyum lebar dan mengaruk kepalanya.

"Masih muda udah pikun!" Ejek Dru.

"Nggak usah ketemu mereka deh, Bang! Jalan-jalan aja sama Kanya." Kanya mulai merajuk dengan manja.

"Nggak bisa. Abang uda janji sama mereka. Mau bantuin Damian buat tempat makan dia. Kamu sendiri yang maksa buat ikut. Jadi, jangan protes!"

Kanya menyilangkan tangannya dan memberungut. Memang sore itu dia merengek ikut kemanapun Abangnya pergi, karena dia bosan di rumah. Ayah dan Bundanya sedang keluar kota, teman-temannya sedang les tambahan. Kanya sendiri malas ikut les tambahan. "Iya deh, iya. Ada Kak Icha sama Kak Inka nggak?" Kanya menyebutkan nama sepupu tirinya yang kembar, adik dari sepupunya yang lain, yaitu Nadav (re: baca Pregnatable dan Household Timeline)

"Nggak tau deh, tadi sih, kata Damian ngajakin mereka juga. Coba kamu WA di grup, tanya mereka datang apa nggak."

Kanya kemudian mengeluarkan handphone-nya dan mengirimkan pesan di grup keluarga.

Kanya: Halooo... Kak Icha sama Kak Inka ikut kumpul di tempat Kak Damian nggak?

Ella: Lhooo... kok, Bang Dio nggak ngajakin gueee!! Nyaaaa... lo ikut?

Kanya: Gue maksa dongggsss... Hahaha

Mariska: Kita udah di tempat Damian, Nyaaa

Kanya: Oke!

Dio: Sorry, little duck! Males ngajak kamu, ribet!

Ella: Abang JAHATTT!!!

Dave: Buang aja Abangnya, La. Tuh, hibahin ke temen kamu. Pasti banyak yang mau ngadopsi dengan suka rela. Hahahaha.

Ella: KZL SAMA ABANG! AKU MAU TUKERAN ABANG SAMA KANYA AJAAAAA!!!!

Kanya: (voice note) NGGAKKK BOLEHHHH!!!!

Dru berjengit saat adiknya berteriak di telepon dengan wajah bersungut-sungut. "Kesambet kamu? Teriak-teriak di depan handphone."

"Ihhh, Ella ngeselin! Masa dia bilang mau tukerin Abang. Kan, aku nggak mauuu!!"

Dru tertawa kencang sembari memukul-mukul stir. Ella--adik Dio--dan Kanya memang beda setahun, dari kecil keduanya jarang akur. Sering berkelahi dan berakhir dengan Ella yang menangis atau sebaliknya. Hingga tumbuh remaja pun, keduanya suka sekali berdebat. Sama-sama anak bungsu dan sama-sama punya Kakak laki-laki yang memanjakan mereka. Hanya bedanya, Dio terkesan cuek atau tidak peduli.

"Eh, Nyamnyam udah nyampe. Waduh, itu bibir kenapa bisa nyamain Omas deh? Kenapa? Diapain sama Abang kamu? Sini, sama Kak Dave ajah." Dave menepuk-nepuk bahunya mebuat Kanya makin kesal dan melempar Dave dengan cushion yang ada di dekatnya.

"Kak Diooo!! Kalau punya adek itu diperhatiin dong! Awas ya, kalau sampe Ella ngerebut Abang!" Kanya menunjukkan tinjunya.

Dio geleng-geleng kepala mendengarnya dan melanjutkan obrolannya dengan Damian. Kanya melihat sekeliling apartemen Damian dan mendapati Icha dan Inka sedang mengobrol ringan di pantry sambil menyiapkan chips dan cola. Kanya malas membantu dan memilih memainkan games Hay Day di tab miliknya sampai tidak sadar jika handphone-nya yang lain berbunyi.

"Nyamnyam! HP lo tuh!" Dave menyenggol lengan Kanya, membuat Kanya mengalihkan perhatiannya dan mengambil handphone yang ada di dalam tas pocketnya. Dilihatnya nomor tidak dikenal tertera di layar LCD. Dengan malas Kanya mengangkat panggilan itu.

"Halo?"

"Halo, selamat sore? Dengan... Nyamnyam?" si Penelpon sedikit ragu menyebutkan nama Kanya.

Kanya mengeryitkan kening, "ehm... Mbak, panggil Kanya aja. Nama saya Kanya."

"Oh, maaf. Soalnya kami tahunya Nyamnyam. Jadi begini Kanya, kami dari Sky High Radio. Kamu ngirim postcard untuk program Starry Night, kan? Yang tempo hari dibacain sama Janina."

Kanya melonjak dari duduknya dengan mulut menganga. Dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar. "Tunggu! Tunggu! Ini bukan lagi iseng ngerjain saya, kan?"

Suara disebrang tertawa mendengarnya. "Nggak, Kanya. Saya Nandia, script writer untuk Starry Night. Nah, dua bulan lagi Starry Night ada perayaan hari ke-100 mengudara. Kami mengundang pengirim postcard yang beruntung untuk ikutan siaran bareng Janina. Untuk perdananya, kami mengundang kamu. Janina bilang, postcard kamu paling unik. Kamu bisa dateng hari Senin di Sky High Radio? Jam 7. Kita mulai on-air jam 8."

Kanya menjauhkan handphone-nya lalu berteriak kegirangan. Dia langsung menghampiri Dru yang sedari tadi memperhatikan adiknya dengan kening berkerut. "Abang! Abang! Aku mau siaran sama Mbak Janina!!!" Kanya berteriak heboh lalu melanjutkan sambungan telepon tadi. "Iya, iya, Mbak Nandia. Senin saya datang jam 7 tepat nggak telat walaupun sedetik! Makasih, Mbak!!"

"Kenapa sih, Nya?" Marinka yang baru kembali dari toilet, langsung bingung melihat tingkah sepupunya.

"Aku mau siaran dong, Kak!"

"Siaran? Dimana?" Marinka bertanya seraya mencomot chips yang ada di mangkok.

"Di Sky High Radio, acara Starry Night. Tau kan?"

"Kok, bisa?" Marinsa ganti bertanya.

"Bisa dong!" Jawab Kanya singkat lalu mengirimkan pesan pada seseorang dengan cepat. "Abang, ntar Senin anterin Kanya ke Sky High Radio, ya?"

"Nggak bisa," Dru menjawab cepat. "Abang ada meeting."

"Ihhh, Abang nggak asik!" Kanya cemberut.

"Minta anter Ayah atau Pak Salim, kan bisa." Kanya diam saja tidak menyahut. Padahal dia tengah merencakan sesuatu.

"Nya... Nya..." Dave menjawil-jawil lengan Kanya.

"Apa sih, toel-toel!"

"Kak Dave pernah dengerin radio itu. Penyiarnya cewek kan, ya?" Kanya mengangguk dengan malas. "Cantik nggak, Nya? Kalau cantik, Kak Dave anter deh, biar bisa kenalan."

"Nggak boleh!" Kanya menjawab dengan berteriak. "Kanya berangkat sendiri aja!"

***

From: Kanya

Mbak Janina, aku diundang ke acara starry night lhooooo... asyik, bisa ketemu Mbak Janina lagi! Hehehe.

Janina mengeryit mendapatkan pesan dari Kanya. Dia lalu menghampiri Nandia yang sedang duduk di kubikelnya. "Nan, lo udah ngehubungi si pengirim postcard? Si Nyamnyam itu."

"Udah Jan, baru aja. Kenapa?"

"Nama aslinya siapa?"

"Kanya."

Janina langsung tertawa kecil. kebetulan sekali--pikirnya.

"Kenapa sih, Jan?"

Janina menggeleng kecil. "Gue udah pernah ketemu si Kanya ini. Nih, dia barusan sms gue kalo diundang ke Starry Night."

"Loh? Kenal dimana?"

"Nggak sengaja ketemu di McD. Dia sama Abangnya."

"Oh, jadi si 'Abang' yang dia sebut ini beneran kakak kandungnya gitu?"

Janina mengangguk. "Iya. Pasti lo mikir yang sama kayak gue."

"Iya, bener. Hahaha. Soalnya kan, anak ABG jaman sekarang manggil pacarnya suka aneh-aneh. 'Mimi-Pipi', 'Ayah-Bunda', 'Abang-Adek', ntar nama hewan di kebun binatang juga dipake. Heran gue."

"Halah! Kayak lo nggak aja!" Janina tertawa.

"Ih, sori ya! Gue mah, biasa aja manggil pacar gue. Geli gue! Kalo lo dulu sama suami lo gimana?"

Janina tersenyum mengingatnya. "Gue manggil dia Pak Kapten. Hehehe."

Nandia ikut tertawa mendengarnya. Janina lalu kembali ke kubikelnya dan membalas pesan Kanya melalui pesan WA, karena dia sedang tidak ada pulsa untuk SMS. Dia mencari kontak Kanya di list WA, dan desah lega muncul saat nama Kanya ditemukan. Untungnya Kanya menggunakan nomor yang sama untuk WA.

Janina: Hai, Nya! Sampe ketemu di hari Senin ya! Nggak sabar pengen ketemu kamu lhooo...

Kanya: Hi, Mbak Janina! Kanya juga. Hihihi.

Janina melihat jam digital yang ada di ponselnya. Sudah sore, dan kebetulan dia sedang tidak ada jam siaran. Starry Night hanya akan ada di hari Senin-Kamis, dan di hari Jum'at seperti hari ini, dia memiliki banyak waktu untuk beristirahat. Setelah membereskan barang-barangnya dia lalu bergegas pulang ke rumah setelah berpamitan pada Nandia dan rekan kerjanya yang lain.

Janina sedang berjalan di gang rumahnya, saat sayup-sayup adzan maghrib berkumandang dari masjid tidak jauh dari tempat dia berdiri. Dia lalu memilih belok ke masjid dan mengambil air wudhu untuk mengikuti sholat maghrib berjamaah. Saat keluar dari tempat wudhu putri dia berpapasan dengan seorang pria paruh baya dengan baju koko, sarung, dan peci hitam hendak mengambil air wudhu di tempat putra. Janina hendak menyapa namun dia mengurungkan niatnya saat pria paruh baya itu melewatinya begitu saja.

"Bu, Pak Jendral belum balik?" Janina bertanya pada Ibunya yang sedang menyiapkan makan malam. Selapas sholat maghrib berjamaah di masjid, dan kembali ke rumah hingga dia mandi lalu berganti pakaian, Janina belum mendapati Bapaknya di rumah.

Ibunya menggeleng. "Ini kan, Jum'at. Bapak biasanya ikut ngaji terus bablas sampai Isya. Baru deh, ada di depan TV."

"Oh iya ya, Janina lupa." Kebiasaan Bapaknya memang begitu. Menghabiskan waktu di depan TV menonton berita. "Aku tadi ketemu Bapak di Masjid."

"Kamu nggak ke tempat suami mu?"

"Udah bu, tadi pagi." Janina mmenarik kursi dan lekas menyantap makan malam buatan Ibunya. Saat Janina akan memasukkan satu suap nasi, terdengar derit pintu gerbang rumahnya. Janina melirik jam dinding dan terdengar salam dari Bapaknya. "Kok, Pak Jendral pulang Bu?"

Ibunya mengangkat bahu tidak tahu. Bapaknya lalu duduk di hadapan Janina dan meminta istrinya untuk menyiapkan piring untuknya. "Kok, Bapak udah pulang? Biasanya sampai Isya baru pulang, Pak."

Lelaki paruh baya itu berdeham. "Pak Haji lagi sakit. Jadi nggak ada ngaji. Bapak pulang saja." Jawabnya dengan datar dan dingin. Janina sudah terbiasa dengan itu.

Bapak Janina adalah pensiunan Angkatan Udara, Janina sejak kecil sudah terbiasa dengan sikap dingin dan otoriter Bapaknya. Janina kecil terbiasa dengan hukuman-hukuman yang di dapat dari Bapaknya. Seperti hukuman bambu rotan jika dia telat pulang ke rumah karena bermain, hukuman lari lapangan sepuluh kali dekat rumahnya, dan hukuman-hukuman lain yang menguji fisik namun meninggalkan luka di hati Janina kecil. Sejak kecil Janina tidak berani berbicara akrab dengan Bapaknya, tidak berani meminta ini-itu kepada Bapaknya, bersikap manja atau hal apapun yang anak gadis lakukan pada Bapaknya.

Janina selalu menurut dengan semua perintah Bapaknya. Tidak pernah membantah sekalipun. Janina menurut saat Bapaknya dengan tega mendaftarkannya ke SMA Taruna di Magelang. Otomatis dia harus berpisah dengan Ibunya dan belajar mandiri secara mendadak. Janina remaja tidak berani menolak dan hanya bisa menangis. Dia tidak ingin sekolah Taruna, dia ingin di sekolah normal. Tapi, Janina tetaplah Janina yang patuh kepada Bapaknya. Saat SMA, dia berusaha keras membuat Bapaknya bangga. Semua ekskul dia ikuti dan juga masuk dalam klub olimpiade. Alasannya bukan hanya ingin Bapaknya bangga, tapi dia juga ingin membunuh rasa sedih dan kangennya dengan gilanya kegiatan. Juga menjadikannya 'senjata' suatu hari kelak.

Dan, pada akhirnya, 'senjata' itu digunakan saat dia lulus dengan predikat luar biasa di SMA Taruna. Dengan berani dia menentang keinginan Bapaknya yang menginginkan Janina masuk ke Akademi Angkatan Udara. Janina menentang dan memilih jurusan Komunikasi yang dia mau. Dan perdebatan hebat itu terjadi, hingga Bapaknya memperbolehkannya kuliah Komunikasi dengan sebuah syarat yang membuatnya gila.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top