5. CEO Kelas Kuli
-
-
Seorang perempuan melipat kedua tangannya ke dada. Wajahnya ditekuk dalam-dalam. Sesekali dia melirik jam pada ponsel, kemudian mendengkus samar. Pasalnya sudah hampir setengah jam dia berdiri di bawah jembatan halte Transjakarta pagi ini. Sampai-sampai dia hapal betul berapa jumlah tukang ojek yang tengah mangkal di sana, hingga gosip terpanas di antara mereka.
"Bisa gantiin patung Pancoran nih, kalau sampai satu jam lagi si Takka enggak dateng."
Sebuah gerutuan akhirnya lolos dari bibir Maya. Bila saja Takka masih si Gembul-Anak-Mami seperti dulu, mungkin dia enggan pagi-pagi buta harus menunggu di depan halte seperti sekarang. Apalagi baru dini hari tadi tadi lelaki itu memberi kabar kepadanya bahwa pagi ini mereka harus meeting dengan vendor.
Lima belas menit kemudian, sebuah mobil merah berhenti tepat di depan Maya. Kaca mobil itu terbuka menampilkan sebuah cengiran familiar dari balik kemudi.
"Sorry, gue ada urusan tadi. Yuk masuk!"
Maya menghela napas pasrah. Bergegas dia melangkah lantas duduk rapi di sebelah Takka. Akan tetapi, wajah Maya berganti risi. Lantaran dia baru tersadar bila mobil Takka penuh dengan barang-barang tidak terpakai, atau lebih tepatnya – sampah.
Dari kaleng minuman bersoda, tumpukan berkas di jok belakang, sampai beberapa bungkus camilan, tidak lepas dari indera penglihatan Maya. Hingga mata perempuan itu tertumbuk pada beberapa lembar tisu di bawah kaki Takka. Spontan dia memandangi tisu itu dan Takka bergantian.
Sadar akan arah pandang Maya, Takka diam-diam menginjak tisu-tisu tadi dan menggesernya ke bawah kursi pengemudi.
"Jangan mikir yang enggak-enggak. Ini cuma tisu bekas biasa kok."
"Dih, emang siapa yang nanya?"
"Kebaca dari mata lu," ucap Takka malas.
Maya terkekeh pelan mendengar ucapan Takka.
"Dari pada lu ketawa, mending cek berkas-berkas di belakang aja gih," perintah Takka tanpa mengalihkan pandangannya.
"Berkas apaan nih?" tanya Maya yang sudah memindahkan berkas di belakang ke pangkuannya.
"Daftar desainer yang mau kita temuin hari ini. Yang lu cari sama Nino."
Mata Maya membulat melihat berkas yang sudah tertata apik di tangannya. Sebab Maya rasa dia hanya mengirimkan daftar ala kadarnya kepada Nino kemarin.
"Di situ udah ada lima desainer yang dipilih Nino. Dua di antaranya udah gue hubungin tadi pagi, mereka bakal kirim harga penawaran dengan desainnya siang ini via email," terang Takka sambil menunjuk berkas di tangan Maya, "Nah, yang tiga. Terpaksa kudu kita datengin, karena susah banget dihubungin. Jadi, sebisa mungkin sebelum kita ketemu dengan Mbak Nissa kita udah dapat data dari mereka, supaya kita ada bahan buat ngeles."
Maya menggaruk kepalanya berkali-kali memandangi tiap catatan kecil dengan tulisan tangan pada tiap halaman di sana. Kata brokat, beludru, dan tile kini mengawang-awang di luar kepalanya. Maya meringis diam-diam.
"Hm ... Entah sih lu sebenernya tahu apa enggak. Tapi kalau boleh jujur gue mana ngerti model kebaya kayak gini, wisuda aja gue minjem kebaya kakak gue. Itupun gue pakai aja tanpa tanya bahannya apaan."
Takka tersenyum tipis. "Pelajarin aja dulu. Gitu aja udah nyerah, Nino kasih penjelasannya lumayan lengkap kok di tiap halaman."
"Ini Nino yang buat?"
Takka mengangguk. "Yes. Semalem kelar kuliah dia ke kantor lagi buat lembur ngerjain itu bareng gue."
Merasa tersindir, bibir Maya mengatup. Dia memilih bungkan dan mulai membaca satu per satu tulisan di sana.
"Tapi kalau masih bingung juga, enggak usah dipaksain. Pingsan di tengah jalan bahaya entar," celetuk Takka seraya melirik Maya, yang serta merta menatap sebal kepadanya. Lelaki itu tertawa puas kemudian kembali fokus ke arah jalanan.
***
Setelah hampir enam jam berpindah-pindah dari utara hingga ke selatan Jakarta. Mobil yang Maya dan Takka tumpangi berhenti di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat. Keduanya tampak tergesa-gesa memasuki Mall berlantai lima tersebut dengan pandangan tidak pernah lepas dari setumpuk halaman di tangan mereka.
"Lu kenapa enggak ingetin gue sih kalau udah jam satu?!" gerutu Takka panik sambil berjalan cepat-cepat menuju salah satu tempat makan di sana.
"Kan lu lagi ngobrol, mana enak gue tiba-tiba motong."
"Itu bukan ngobrol namanya, tapi basa-basi. Kan siapa tahu kita bakal kerja sama lagi sama mereka. Dalam bisnis, ini penting buat tambah relasi," dengkus Takka tidak mau kalah.
"Terserah," gumam Maya serba salah, yang entah sampai ke telinga Takka atau tidak lantaran lelaki itu terus melangkah, tanpa sedikitpun menaruh perhatian kepada Maya, yang tampak susah payah menyejajari langkah Takka.
Sebuah tarikan pada lengan kiri, Maya rasakan begitu dia melewati sebuah restoran di Mall itu.
"Mau kemana, Neng? Sini!" ajak Takka menuju salah satu kursi yang berisi seorang wanita paruh baya dan perempuan berhijab, yang Maya tebak bernama Nissa.
"Sudah lama? Maaf ya saya agak telat, tadi sedikit macet ke arah sini," kata Takka tersenyum semanis mungkin seraya mengulurkan tangannya kepada dua orang di sana. Sampai-sampai Maya tanpa sadar bergidik geli.
"Enggak apa-apa, Mas. Kita juga baru sampai," kata Nissa membalas senyuman Takka.
"Oh iya, ini Maya. Tim saya yang baru."
"Maya," kata Maya mengulurkan tangannya.
"Nissa. Kenalkan ini ibu saya, Dila."
"Dila," kata wanita paruh baya itu dengan senyuman minimalis, yang membuat alis Maya menyatu keheranan.
"Jadi, udah sampai mana Mas perkembangannya? Request dan saran saya udah dilakuin kan?"
Nissa tersenyum masam mendengar berondongan pertanyaan Dila kepada lelaki yang baru saja meletakkan pantatnya ke kursi.
"Pokoknya saya enggak mau kalau pernikahan anak semata wayang saya ini sampai tidak sesuai rencana."
Spontan Maya melirik Takka, yang tampak gelisah di tempatnya. Bahkan samar-samar dia dapat melihat jakun lelaki itu naik-turun menelan ludah.
Namun, alih-alih gugup. Takka justru tersenyum menatap sang klien satu per satu. "Kalau gitu, bagaimana jika saya langsung jelaskan progress-nya aja?" tawar Takka yang langsung diamini oleh keduanya.
Bermodal data dari laptop, Takka mulai menjelaskan perkembangan tiap detail pernikahan. Mulai dari venue, ritual adat, catering, dekorasi hingga entertainment. Diam-diam Maya memperhatikan ekspresi manusia di sana, terutama kepada lelaki di sebelahnya. Takka.
Gaya bicara Takka yang persuasif, membuat kerutan yang sedari awal tampak di kening Dila mulai menguap. Bahkan Maya dapat melihat wanita itu mengangguk tiap kali Takka memberikan penjelasan. Hingga akhirnya tiba di bagian wardrobe, lelaki itu seketika membuat jeda panjang dalam ucapannya.
"Sebelumnya, kami mau minta maaf. Seperti yang Mbak Nissa dan Ibu tahu, kita memang sudah booking untuk wardrobe dari Dhea Gumirang sejak enam bulan yang lalu. Tapi ...," Takka melirik wajah Dila yang tampak kembali skeptis seperti di awal tadi, "karena ada satu dan lain hal. Sepertinya sulit untuk beliau menyiapkan wardrobe di tanggal itu. Jadi –"
"Enggak bisa gitu dong, Mas. Kita kan udah pesan ke Mas dari lama. Kok bisa seenaknya gitu?!" kata Dila tampak marah.
"Ya udah lah, Ma. Lagian kan dari awal aku emang kurang sreg kok sama rancangan dia."
"Nah, makanya di sini kami pun mau coba diskusi dengan Mbak dan Ibu. Kami punya beberapa desainer yang available dan menyanggupi request kemarin yang mungkin bisa dijadikan pilihan," terang Takka mencoba tenang.
"Tapi kan untuk kebaya, rancangan Gumirang yang terkenal rapi dan punya nama," sanggah Dila tetap kukuh pada pendiriannya. "Harusnya dari sisi Planner bisa dong lebih profesional."
"Maaf kalau saya sedikit menambahkan," kata Maya tiba-tiba. "Untuk nama. Saya rasa beberapa desainer di sini jam terbangnya justru lebih lama ketimbang Gumirang. Bahkan sepengetahuan saya salah satu di antara mereka pernah menjadi salah satu desainer kebaya di ajang kecantikan internasional."
Perkataan Maya lantas membuat bibir Dila terkatup. Takka yang semula menatap Maya tak percaya, terlihat tersenyum puas di kursinya.
"Atau mungkin Ibu mau lihat desain kebayanya dulu? Nanti akan kami kirimkan detail harga dan modelnya via email. Bagaimana?" lanjut Takka coba meyakinkan Dila.
"Gini aja, Mas. Untuk catering dan lain-lain kan enggak ada masalah. Untuk yang ini, kirim aja ke email detailnya, paling lambat besok pagi saya akan kasih jawaban," kata Nissa menengahi. "Saya juga ngerti kok, kalau kejadian kayak gini emang susah buat dihindarin."
Takka mengangguk lega, sementara Dila tampak tersenyum masam dan diam seribu bahasa. Setelah sempat tegang beberapa menit, obrolan pun berjalan menjadi lebih santai. Bahkan Maya dapat melihat bibir Dila mengulas senyum tatkala Takka melempar candaan, atau Nissa yang curhat mengenai sang calon suami yang kelewat sibuk.
***
Kedua sudut bibir Maya tak lagi bisa menahan tawa menangkap langkah gontai lelaki berkacamata yang sudah puluhan kali menghela napas usai meeting tadi.
"Kenapa?" tanya Takka yang sadar tengah menjadi pusat perhatian Maya.
"Enggak. Muka lu lucu kalau lagi panik."
Takka mendengkus sebal. "Yah, gitu lah kalau kerja di bidang jasa. Kudu pinter ngeles. Apalagi di wedding kayak gini. Sensitif. Tapi ngeles lu boleh juga tadi."
Keduanya lantas berhenti sejenak pada pagar pembatas di lantai empat Mall.
"Kan kayak perintah lu, catet yang penting. Tadi gue sempet denger bagian salesnya Atmadja jelasin tentang itu. Makanya jangan kebanyakan basa-basi. Jadi kelewat basi, kan?"
Takka tersenyum tipis mendengar jawaban Maya.
"Tapi kok lu bisa sih buka WO kaya gini? Setahu gue dulu cita-cita lu jadi Jenderal," ledek Maya melirik lelaki di sebelahnya.
Alis Takka menyatu seakan tidak setuju dengan ucapan Maya. "Masih Jenderal kok. Jenderal garda depan buat WO, kalau lagi ada masalah sama klien."
"Ngaco," celetuk Maya tersenyum lebar. "Namanya juga kan lu CEO nya. Udah kewajiban lu lah."
"Yes. Tapi CEO kelas kuli," koreksi Takka dengan tatapan yang tidak pernah lepas dari Maya.
"Emang CEO di dunia nyata begitu bukan? Stres, pusing, dan penuh tekanan sana-sini."
Takka mengangguk seraya menyenderkan lengannya pada pembatas.
"Tapi gue masih enggak nyangka. Anak Mami kayak lu bisa juga berubah though."
Ucapan Maya membuat senyuman Takka berubah miris. Bahkan mata lelaki itu kini berpindah ke bawah memandangi orang-orang yang terlihat bahagia tanpa beban berjalan di sekitaran Mall.
"Belasan tahun cukup buat bikin seseorang berubah, May."
"Astaga!" pekik Maya praktis membuat Takka menegakkan tubuhnya lantas memandangi perempuan itu penuh tanda tanya.
"Gue lupa ada kuliah hari ini! Udah jam lima lagi. Mati gue! Gue cabut duluan, Ka."
"Gue anterin. Lagian kampus lu kan enggak ada dua kilo dari kantor. Yuk!" ajak Takka berjalan mendekati Maya, yang mengerutkan keningnya tidak percaya.
"Udah, buru!"
***
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top