3. Sudut Pandangnya Beda, Hasilnya Pasti Beda

-

-


Sebuah senyum mengembang di bibir Maya yang sudah rapi hari ini. Usai membenahi isi tas, dia melangkah lebar-lebar menuju meja makan yang sudah dipenuhi aroma telur ceplok, favoritnya. Bundanya memang selalu tahu jika dia butuh asupan banyak hari ini.

Ting! Tong!

"Siapa tuh May? Buka gih. Kalau itu Dhika, suruh tunggu aja. Gue mau ambil tas dulu." Perintah Utami yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping Maya.

Maya mengangguk, lantas berjalan menuju pintu depan dengan mulut penuh. Tanpa curiga dia membuka pintu di hadapannya.

Maya membeku. Bahkan spontan menelan makanan di mulutnya tanpa dikunyah. Pasalnya dia mendapati lelaki bermata cokelat yang  ditemuinya tanpa sengaja beberapa hari lalu berdiri tegak di sana.

"Maaf Mas, Bu RT nya ada?" tanya lelaki itu tanpa rasa bersalah.

Kontan Maya melipat kedua tangannya ke dada, "Mas?! Enggak salah lu panggil gue Mas?!"

Mata lelaki itu membulat dan bergerak ke arah dada Maya seakan-akan mencari tanda-tanda bila lelaki manis di depannya memang berkelamin perempuan.

"Heh! Mata!" bentak Maya geram.

"Ma ... Maap," ucap lelaki itu gugup mendengar suara cempreng khas perempuan keluar dari tubuh lelaki manis tadi. "Bentar. Tapi kamu kan ...."

BRAKK!

Maya buru-buru menutup pintu depan, sebelum lelaki itu menyelesaikan kalimatnya. Dia takut bila lelaki tadi sadar bila dia yang telah dengan dermawannya memberikan hadiah kecil saat di Transjakarta tempo hari. Sebab bila lelaki itu ingat dan sampai memberitahu Sarah, dia pasti akan dikomentari habis-habisan.

Begitu berbalik dia melihat Utami, kakak perempuan yang lahir tiga tahun lebih dulu dari Maya, memandang perempuan itu penuh tanda tanya.

"Kok ditutup? Siapa May?"

"Bukan Mas Dhika!" potong Maya cepat, "Bunda mana? Ada yang cari tuh. Gue berangkat dulu ya, bilang sama Bunda."

"Lah, katanya berangkat. Kok ke belakang?"

"Lewat pintu belakang. Biar lebih cepet!" jawab Maya asal, buru-buru menyambar sepatu kets pada rak sepatu.

"Perasaan sama aja deh. Dasar aneh!"

***

Setelah menghabiskan waktu satu jam, Maya akhirnya tiba di perumahan daerah Tebet. Kepalanya melongok sembari mencari nomor rumah yang sesuai dengan kartu nama dari Takka pada deretan bangunan di sana. Dia terus berjalan, sampai akhirnya menemukan sebuah rumah dengan nomor yang sama.

Maya tersenyum bangga karena berhasil menemukan alamat yang dimaksud, lebih-lebih mendapati plang besar di depan rumah yang bertuliskan Kannaya Wedding Planner & Organizer. Tapi dia sedikit sungkan, pasalnya suasana rumah besar itu terkesan sepi dan tertutup. Setelah ragu selama lima menit, dia pun membuka pintu gerbang yang rupanya tidak terkunci.

Ekspresi Maya berubah linglung mendapati halaman rumah yang masih kosong. Hanya ada sebuah mobil dengan permukaan yang masih basah seolah baru selesai dicuci. Maya pun mendekat, berencana bertanya pada supir di sana.

"Permisi," ujar Maya sopan.

Lelaki dengan kaus putih dan celana pendek muncul dari balik kap mobil.

"Takka?"

"Maya? Pagi amat May datengnya?" celetuk Takka melihat jam pada ponselnya.

"Ini udah jam 9 kali. Lagian kan biasanya orang interview juga jam segini." ujar Maya tanpa intonasi.

"Oke. Nevermind," sela Takka seraya mematikan selang air dan mendekat ke arah Maya. "Masuk ke dalam dulu aja."

Maya mengangguk lantas berjalan mengekori Takka ke dalam rumah yang sudah disulap layaknya sebuah kantor wedding organizer. Seperti beberapa pasang pakaian pengantin, dekorasi khas pernikahan di pojok ruangan, foto-foto venue pernikahan di dinding, sampai satu set sofa dan meja resepsionis.

"Yang lain belum pada dateng, jadi masih sepi," terang Takka tiba-tiba berhenti lantas berbalik memandangi Maya. "Biasanya sih mereka baru pada dateng jam 10, enggak kerajinan kayak lu."

"Sialan," gumam Maya sebal. 

Namun, pandangan Maya sempat mencuri-curi pandang kepada Takka, lantaran mata yang terbiasa terbingkai kacamata itu kini menatapnya langsung, membuat dia dapat melihat dengan jelas bulu mata Takka yang lebih lentik daripada miliknya.

"Terus?" tanya Maya.

"Terus apa?"

"Ini gue taruh di mana?" tanya perempuan itu lagi mengeluarkan lembar CV miliknya. Takka sempat bengong memandangi lembaran itu dan Maya bergantian.

"Hm .... Coba sini gue lihat."

Agak ragu, Maya akhirnya menyodorkan CV-nya untuk diperlihatkan kepada Takka.

Selang semenit tawa terbahak terdengar dari mulut Takka, "Yakin ini CV? Ini CV apa data diri May? Pengalaman kerja cuma satu, itu pun empat tahun yang lalu .... tiga bulan doang? Gue curiga ini program internship dari kampus buat syarat lulus."

"Kalau iya kenapa?!" tanya Maya jengkel. Mulut Takka mengatup. Dia jadi tidak enak hati melihat ekspresi tersinggung dari Maya.

"Oke. Lu diterima."

Mendadak mata Maya membola, seolah-olah tidak yakin akan ucapan Takka, "Lho, itu enggak dikasih ke atasan lu dulu? Kok lu seenaknya main terima-terima orang gitu aja sih?"

Sunggingan pongah timbul di bibir Takka, "Atasan? Emang ada jabatan yang lebih tinggi dari gue di sini?"

"Jadi lu?! Kok bisa?" pekik Maya terkejut. "Gue kira tadi lu supir di sini."

"Ya elah May. Masa tampang seganteng ini dibilang supir."

"Tahu gitu ngapain juga gue pakai print CV berwarna segala, mana pakai art paper lagi. Bisa buat beli bakso depan kompleks itu," gumam Maya pada dirinya sendiri.

Takka berdecak. "Ya udah, lu duduk aja dulu di situ. Tunggu HRD-nya dateng. Palingan sebentar lagi sih, terus ...."

"Takka! Ini lu yang ngabisin sandwich gue?!" Teriakan dari arah dalam membuat ucapan Takka menggantung. Lelaki itu meringis mendengar ucapan seseorang yang sepertinya Maya kenal.

"Hai, May," sapa seseorang yang tiba-tiba datang dari arah dalam. Maya yang syok tampak menganggukkan kepalanya pelan. "Eh, kunyuk! Lu biasaan banget sih, nyomot makanan gue? Ini kan udah nama gue? Udah pakai label nih gede-gede. N-I-N-O. Nino!"

"Gue laper semalem. Yang ada di kulkas cuma sandwich punya lu. Nanti gue ganti deh."

"Bentar .... Lu ngapain di sini?" tanya Maya menunjuk lelaki yang sudah rapi di sebelah Takka.

"Oh iya, gue lupa bilang. Dia ini bagian yang urus dokumentasi sama entertainment di sini. Kayak cari venue, MC, dan meet up sana-sini sama mereka," terang Takka dibarengi anggukan dari Nino. "Semalem kita emang abis bikin acara barbeque kecil-kecilan. Itung-itung syukuran kelar urus satu nikahan. Makanya dia nginep di sini."

"Gue makin curiga lu berdua ada apa-apa," ceplos Maya menggelengkan kepalanya pasrah.

"Tenang darl, kalaupun gue lekong enggak mungkin juga gue pilih dia. Cowok kayak dia mah, susah buat diajak serius. Males," cerocos Nino sebal.

"Jadi lu bukan gay?!"

Dua lelaki di sana terdiam, kemudian saling pandang. Sampai akhirnya Takka kembali terbahak sembari memandangi wajah Nino yang entah itu menahan marah atau geli.

"Bener kan, No. Udah ratusan orang yang ngira lu itu gay. Makanya kalau dandan macho-an dikit, segala tren baju aneh-aneh sampai make up lu ikutin."

Bibir Nino maju beberapa senti, "Bodo ah! Gue mau ke pantry bikin kopi. Bye!"

Maya dan Takka tertawa melihat tingkah Nino yang melenggang menuju pantry.

"Kalau gitu lu duduk di situ aja dulu. Gue mau mandi bentar, nanti gue kasih tahu job desc lu apaan. Biar lu bisa mulai kerja," terang Takka menunjuk sofa di sana.

Alis Maya bertaut. "Langsung kerja? Hari ini?"

Takka yang hampir menghilang ke belakang, berbalik, dan mengusap-usap dagunya. "Menurut lu?"

"Ya .... Kan biasanya di mana-mana selesai wawancara, pulang, dan baru mulai kerja besok atau seminggu lagi mungkin?"

Takka mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penuturan Maya. "Terserah lu sih. Asal lu tahu aja di sini sistemnya unpaid leave. Jadi kalau lu enggak masuk sehari tanpa keterangan, gaji lu kita potong. Apalagi kalau alesannya enggak berkelas kayak gitu."

Bibir Maya mengatup. Dia mendengkus, mundur beberapa langkah, dan duduk di atas sofa tanpa suara. Sementara Takka mengangkat kedua sudut bibirnya puas, lantas menghilang ke belakang.

Ditinggal seorang diri, kepala Maya bergerak mengobservasi sekelilingnya. Ruang depan wedding organizer ini terlihat cukup besar, apalagi ditambah ruang belakang yang nampaknya sengaja dibuat tanpa sekat. Sedikit mengintip, Maya menyimpulkan bila ruang belakang itu adalah kantornya.

Selain dua ruangan tadi, mata Maya sempat menangkap tiga kamar yang entah dialihfungsikan sebagai apa karena pintunya tertutup rapat.

Tiba-tiba Maya menepuk keningnya pelan. Dia lupa menghubungi Sarah bila dia akan pulang malam hari ini. Pasalnya sang Bunda hanya tahu bila usai interview, Maya akan pulang ke rumah, lantas baru kembali keluar rumah malam harinya untuk kuliah. Perempuan itupun berjalan ke arah garasi untuk coba menghubungi Sarah.

"Halo," kata Maya saat seseorang mengangkat teleponnya di seberang.

"Maya di ... diterima kerja, Bun." Hati Maya sedikit berdesir mengucapkan kalimat, yang seharusnya dia ucapkan sejak dulu kepada Sarah. Lebih-lebih mendengar pekikan girang bundanya dari arah seberang, jujur Maya merasa terharu.

"Gajinya enggak seberapa sih, Bun."

"Iya. Makasi ya Bun buat doanya," ucap Maya sambil tersenyum lebar. Namun, perlahan senyum lebar di bibirnya menghilang berganti masam, mengingat ucapan Takka tadi.

"Tapi Maya udah harus mulai kerja hari ini. Berhubung Maya hari ini ada kuliah, kemungkinan Maya baru bisa balik nanti malem."

Maya terdiam sejenak, mendengarkan suara Sarah dari balik telepon.

"Ya elah, Bu RT. Kemarin di rumah mulu suruh keluar, ini anaknya udah keluar dibilang rumah sepi," gerutu Maya serba salah. "Ya udah, ini Maya tutup ya. Nanti Maya telepon lagi."

Maya menghela napas panjang. Tuhan memang penuh kejutan. Di saat hidupnya terjun bebas pada titik terbawah, bak barang cuci gudang, yang setiap harinya dia dihabiskan untuk tidur, makan, nonton serta bernapas. Sekarang, Dia justru berhasil membuat Maya sibuk seharian penuh.

Bahagia?

Tentu saja. Namun, Maya sedikit takut tidak dapat menjalankan kedua perannya ini dengan baik.

"Woy, ngelamun!"

Teriakan Nino dari arah belakang, kontan membuat Maya berjengit. Tatapan kesal seketika langsung dia arahkan kepada Nino yang tertawa kegirangan di belakangnya.

"Ikut gue yuk! Mumpung yang lain belum dateng, gue mau temenin lu keliling WO," ajak Nino tanpa menunggu persetujuan perempuan itu, lantaran sekarang dia menarik tangan Maya ke dalam garasi yang rupanya tembus menuju pantry.

***

"Nah, kalau ini rooftop-nya," terang Nino begitu mereka sampai ke lantai atas menggunakan tangga besi berbentuk spiral, usai menunjukan pantry, ruang meeting, ruangan Takka, HRD serta taman belakang.

Kening Maya berkerut. Sebab selama dia hidup, definisi rooftop itu pasti tinggi dengan pemandangan eksotis ditambah hamparan langit yang terlihat jelas. 

Namun, tempat ini. Bagaimana bisa Nino menyebutnya rooftop sementara kanan dan kiri mereka terhalangi dinding-dinding tetangga yang bahkan lebih tinggi dari rumah ini. Belum lagi bila dia menghadap ke depan, dia hanya dapat melihat genteng juga beranda lantai atas dari rumah di seberang jalan. 

Walaupun memang Maya akui, bila suasana di sini cukup unik lantaran ditata seperti taman outdoor dan pastinya lebih luas ketimbang taman di bawah tadi.

"Ini rooftop? Enggak salah lu?" tanya Maya memastikan.

"Rooftop bahasa Indonesianya apa?"

Maya mengatupkan bibirnya pasrah mendengar pertanyaan Nino.

"Kayaknya sih rumah ini dulunya mau ditingkat, tapi berhenti di tengah jalan. Makanya baru sempet diratain setengah atapnya sama buat satu ruangan di situ," terang Nino duduk di atas rerumputan sintetis di pojok taman. "Tapi lumayan lah buat refreshing selesai kerja atau barbeque-an kayak semalem."

"Tapi tetep aja, apa asyiknya lihatin tembok?" gerutu Maya ikut duduk di sebelah Nino.

"Darling, even tempatnya sama kalau lu lihat dari sudut pandang yang beda, hasilnya juga pasti beda kali. Coba deh lu tengok ke atas."

Tanpa ragu kepala Maya mendongak. Akan tetapi, bukannya pemandangan indah justru terik matahari yang tertangkap oleh bola matanya. Cepat-cepat dia turunkan pandangan, lantas menatap sinis Nino yang tergelak di sana.

"Gue baru tahu kalau polos sama bego beda tipis itu bener. Darling, lihatnya enggak sekarang juga kali," kelakar Nino sambil terus menertawakan Maya, yang tersenyum masam.

"Kan lu nyuruh gue buat tengok ke atas," ujar Maya membela diri.

Nino kemudian menghentikan tawanya. "Biasanya kita nongkrong di sini kalau sore atau malem. Selain anginnya bikin rileks, kita juga bisa lihat langit di atas." 

Maya mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan.

"Lu udah lama kerja di sini?"

"Hm .... Baru satu tahun. Kenapa?" tanya Nino penasaran.

"Enggak lu kayaknya udah deket banget sama Takka."

"Kenapa? Lu mau bilang gue sama dia ada affair lagi? Hahaha ...." Gelak tawa Nino tak lagi dapat ditahan, "Memang kalau gay kenapa, darl?"

"Enggak apa-apa juga sih. Toh, mereka juga manusia. Bukan hak manusia buat nge-judge manusia lain," tutur Maya memandangi bekas-bekas barbeque di sana. "Walaupun prinsip gue tetap seratus persen enggak membenarkan itu. Tapi, dengan kita menghakimi enggak buat mereka langsung back to the straight line, kan? Kenapa enggak kita coba pahami dan bantu mereka buat berubah? Kelihatan lebih nyaman, kan?"

"Wah .... Gila Maya," kata Nino seraya bertepuk tangan dengan heboh. "Darling, setiap tugas pokoknya kita kudu sekelompok. Ternyata selain bisa buat titip absen, otak lu lumayan juga," ujar Nino lagi dengan tatapan berapi-api.

"Oh, jadi lu deketin gue cuma biar bisa titip absen?!" Maya melipat kedua tangannya ke dada.

Nino terkikik. "Enggak kok. Ceilah darling, gitu aja kok sewot? Masa lu tega sama orang yang udah rekomendasiin lu di sini," ujar Nino mengerjapkan matanya sok polos, membuat Maya sedikit geli.

"Jadi lu? Gue kira ...."

"Takka?" tanya Nino, "Mana ada dia mau tambah karyawan? Dia mah ngirit banget May orangnya. Kalau tambah karyawan kan otomatis pengeluaran nambah. Itu juga gara-gara gue ceritain kalau Bu RT itu nyokap lu, dan lu lagi butuh duit. Baru dia setuju."

Maya tersenyum masam. Tanpa sadar dia mengalihkan pandangan pada sepatu kets hitam di kakinya.

"Ngapain kalian di sini? Gosipin gue ya?" tanya Takka dari ruangan di samping kiri mereka. Sambil membenahi rambutnya yang setengah basah dia mendekat dan duduk pada kursi taman di sana.

"Itu kamar lu?" tanya Maya tanpa sengaja melihat isi di dalam ruangan tadi. Takka mengangguk cepat.

"Dia mah jarang pulang, darl. Palingan sebulan sekali dia balik ke rumah," cibir Nino lantas berdiri berencana kembali ke bawah.

"Kenapa? Bukannya rumah lu deket, Ka?"

Bukannya menjawab pertanyaan Maya, mata Takka justru bergerak aneh seolah-olah tengah menghindari pertanyaan Maya.

"Tak!! Takka!"

Teriakan seorang perempuan dari bawah tangga mengalihkan fokus ketiga orang di sana.

"Pitak!! Kamu di atas kan? Ke bawah buruan!"

"Emak Penyu bawa berita jelek nih, kalau udah manggil lu Pitak," kekeh Nino melirik Takka, yang juga terkekeh di tempatnya.

"Emak Penyu?" tanya Maya kebingungan.

***

TBC

Acuy's Note

Happy Mother's Day! 

Walaupun telat satu hari. Eh, tapi bukannya ucapin kasih sayang ke Ibu itu tiap hari ya? Hehehe (Ngeles) :D

Anyway, selamat hari Ibu untuk semua Ibu-ibu di Indonesia. Terima kasih sudah mau men-support kami, walau terkadang kami jauh dari kata membanggakan. Love you Mom! :))

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top