1. Gimana Kalau Kuliah Lagi Aja?
-
-
Pukul sembilan sudah beberapa menit berlalu, tetapi seorang perempuan berumur seperempat abad sepertinya abai dan justru masih asyik membuat pulau di atas kasur. Seakan-akan eksistensinya bukan bagian dari waktu.
"Maya!"
Suara melengking dari luar kamar sedikit mengusik tidur Maya. Segera dia menutup telinganya menggunakan bantal untuk kembali meringkuk nyaman. Bukannya kembali tertidur, matanya mengerjap dari balik bantal sebab usikan sang Bunda tadi sukses menghilangkan nafsu Maya untuk kembali terlelap. Dia lantas menggerutu seraya telentang menatap langit-langit kamar seakan-akan tengah meratapi nasib.
Awalnya dia kira mendapatkan titel di belakang namanya saja sudah pasti membuat hidup tenang, terbebas dari pertanyaan sang bunda, keluarga juga tetangga. Dia sama sekali tidak menyangka bila mencari kerja di dunia, yang bahkan jumlah populasi lulusan sarjana dan lowongan kerjanya timpang seperti sekarang akan sesulit itu.
Bukan berarti dia malas berusaha, karena faktanya sudah hampir puluhan bahkan mungkin ratusan lowongan pekerjaan dia coba. Namun, dari puluhan panggilan interview tidak ada satu pun yang sepertinya mau menjadikan dirinya bagian dari perusahaan.
Bukan juga karena dia tidak kompeten, sebab indeks prestasi Maya pun berada di atas rata-rata. Itulah yang seringkali membuat perempuan itu mencak-mencak tidak jelas setiap kali mendapat surel penolakan dari HRD perusahaan. Dia kurang apa?
Sepertinya ungkapan bila lulus kuliah adalah saat-saat kehidupan yang sebenarnya itu terjadi terbukti valid. Saat semua teori yang susah payah dirapalkan, rumus-rumus regresi, dan diferensiasi pada akhirnya hanya akan tertutup rapi dalam sebuah buku berjilid hard cover, bernama skripsi. Yang entah hanya akan menjadi koleksi di dalam rak buku atau harus pasrah berdebu di dalam gudang.
"Maya! Bukannya bangun pagi, malah masih molor jam sembilan. May, Bangun!"
Tok! Tok! Tok!
"Iya! Maya udah bangun kok ini!" teriak Maya, menyerah. Pasalnya bila si sumber suara sudah berada di depan kamar. Bukan tidak mungkin, beberapa menit ke depan kasurnya akan menjadi target operasi bom air dari sang bunda. Sambil menguap lebar, dia melangkah gontai, dan bergerak menuju pintu.
"May, kamu itu anak perawan. Pamali bangun siang! Mana setiap hari kerjaan kamu begadang dan bangun siang mulu! Mau jadi apa sih kamu?"
"Orang lah. Masa kucing?"
"Kamu nih, kalau dibilangin ...."
Muka Maya ditekuk begitu rentetan kalimat yang sama bak kaset rekaman keluar dari mulut bundanya. Dia hanya mengangguk-angguk, berlagak mendengarkan omelan dari sang bunda, yang baginya sangat menyeramkan bagai Hitler dari abad 21.
"Kak Tami mana?" tanya Maya duduk di depan meja makan tanpa rasa bersalah.
"Udah berangkat ke kantor dari pagi. Ikut Bunda belanja ke depan yuk! Kayaknya Bunda mau belanja banyak hari ini."
Maya hanya mengangguk seadanya, lantaran atensi perempuan itu berpindah mendapati telor mata sapi setengah matang sudah tersaji di atas meja dengan nasi goreng kesukaannya.
"Heh! Gosok gigi dulu, terus temenin Bunda belanja, baru boleh makan!" Pelototan Saras membuat nyali Maya menciut. Perlahan dia menarik kembali tangan kanannya.
"Kamu nih. Mau sampai kapan sih May kayak gini. Masa iya dari ratusan lowongan enggak ada yang diterima. Kamunya aja kali yang enggak niat kerja," gerutu Sarah membelakangi Maya, yang sembunyi-sembunyi mengendap ke kamar mandi. Pasalnya dia sudah tahu akan dibawa ke mana arah pembicaraan Bundanya pagi ini.
Pertama-tama, Sarah pasti akan membicarakan pekerjaan, menjalar ke umur lantas ujung-ujungnya pasti ke jodoh. Terkadang Maya lelah mendengar semua ocehan Bundanya yang selalu sama. Bukan berarti dia tidak berbakti. Hanya saja sebelum menikah dia ingin bekerja terlebih dahulu. Setidaknya Maya ingin sekali saja membelikan Sarah barang dari hasil jerih payahnya. Yang entah kapan bisa terwujud.
Bukankah terlalu naif bila seketika menjadikan sebuah pernikahan sebagai jalan keluar hanya gara-gara kalah dalam persaingan di bursa kerja?
Maya mengedikkan bahunya, mengambil handuk dari jemuran, dan masuk ke dalam kamar mandi sebelum terlambat. Usai mengenakan pakaian, Maya kembali menuju dapur menemui Sarah yang sudah melipat kedua tangannya di dada siap untuk kembali memberi komentar.
"Yuk, Bun!"
"Kamu nih!" omel Bunda mencolek pundak Maya, "Bunda cariin. Kirain tidur lagi. Baru aja mau Bunda bawa ember buat siram kamu."
"Astaga, Bunda! Baru kemarin lho kasur Maya kering. Masa nanti malem nebeng tidur lagi. Bunda tega amat sih sama anak sendiri," jawab Maya menggelengkan kepala seraya mengusap-usap dadanya pelan, "Lagian kan tadi Bunda yang minta anter ke depan, masa anak gadis belum mandi udah ke depan. Kabur nanti jodoh Maya."
"Alesan aja bisanya. Bilang aja kamu males denger nasehat Bunda. Udah yuk! Keburu siang nanti kita enggak kebagian lauk buat makan siang."
***
"Bu, tahu enggak sih. Anaknya Bu Sanusi baru aja naik jabatan lho di kantornya."
Maya yang masih memilah-milah kangkung di atas gerobak tukang sayur melirik ibu-ibu rumah tangga yang bergosip di sekelilingnya.
Seperti biasa. Batinnya sebal.
"Anaknya yang cewek ya, Bu?"
"Iya, yang seumuran sama Neng Maya," ujar salah seorang dari mereka menunjuk Maya.
Maya tersenyum masam. Bibirnya bahkan sudah mengerucut sempurna. Diam-diam pandangan perempuan itu bergerak memperhatikan Bunda yang mendadak diam, berpura-pura sibuk memilah sayuran segar. Jujur, Maya jadi merasa bersalah. Mendadak dia seolah menjadi seeonggok produk gagal di tengah-tengah kerumunan ibu-ibu pemuja gosip pagi ini.
Maafin Maya, Bunda.
***
Malamnya, Maya yang baru saja merampungkan dua buah film horor di kamarnya, samar-samar mendengar obrolan dari balik kamar sang kakak. Bak seorang maling ayam profesional dia melangkah, tanpa suara, dan berhenti tepat di balik pintu kamar.
"Gimana kalau Maya suruh kuliah lagi aja, Bun? Lagian umur Maya kan udah 25 tahun susah lho cari kerja di umur segitu kalau enggak ada pengalaman. Apalagi track record dia pengacara (pengangguran banyak acara) selama dua tahun."
Ekspresi Maya kontan berubah kaget. Memang kenapa dengan kegiatannya selama ini? Toh, dia juga selama ini kerja keras. Bekerja keras mengirim lamaran dan wawancara ke sana-sini.
"Tapi kan uang pensiunan Ayah kamu enggak seberapa, Tam."
"Masalah uang biar Tami aja, Bun. Lagian Tami kan punya tabungan lebih."
"Kamu yakin? Bukannya itu buat biaya pernikahan kamu? Jangan ah Tam, Ibu enggak tega. Lagian memang anak itu mau? S1 aja lebih setahun."
"Harus lah, lagian mau sampai kapan dia ngedekam di dalam kamar melulu? Bisa-bisa enggak cuma kerjaan, jodoh juga jadi susah gara-gara kurang sosialisasi."
"Gitu ya? Ya udah deh Bunda terserah kamu aja."
Maya menelan ludah. Bayang-bayang mengenai skripsi sedikit demi sedikit muncul, membuat kepala perempuan itu pening seketika. Wajah gahar dosen penguji, kumis klimis nan tebal Pak Marzuki sang dosen pembimbing, ditambah coretan laknatnya kembali menghantui. Jika mencari gelar sarjana saja dia sudah hampir mati, apalagi bila dia harus kembali mengulang proses itu dengan istilah lebih sadis. Tesis?
BRUK!
"Maya!!"
***
Setelah melalui perjalanan yang panjang yang penuh drama, akhirnya resmi sudah seorang Maya Alodia Pramudhita sang pengacara dengan rekor hanya keluar rumah sejauh lima km, sekarang harus keluar dari kompleks, dan mulai kembali menjalani peran sebagai seorang mahasiswi S2 di salah satu universitas swasta di Jakarta. Luar biasa.
Dari kaca Bus Transjakarta, tampak sekali wajah malas Maya saat berdiri sambil berpegangan pada sebuah handle grip yang dipenuhi iklan sponsor. Rambut pixie cut yang biasa acak-acakan kini tersisir rapi, bajunya juga berganti menjadi kemeja flanel licin dengan sepatu layaknya seorang mahasiswa kebanyakan. Terkecuali wajah Maya yang tetap jauh dari polesan make up.
Maya tersenyum tipis, menatap jam yang rupanya masih menunjukan pukul empat sore. Masih ada waktu sekitar satu jam lagi sebelum acara pengenalan budaya akademik di kampus barunya.
Namun, sesuatu menggelitik hidung Maya. Alisnya bertaut. Perlahan dia memijit si Biang Kerok coba menghilangkan kesan gatal. Matanya membulat tatkala sadar apa yang menggelitik hidungnya sekarang.
Diam-diam manik Maya bergerak ke kanan dan ke kiri. Suasana bus yang lumayan penuh, membuat mayoritas orang sibuk dengan ponsel masing-masing. Maya mengembuskan napas lega.
Berusaha untuk tidak menjadi pusat perhatian, Maya mengarahkan telunjuk kanannya, dan mulai mengambil sesuatu yang menyangkut di sana. Dia tersenyum lebar, saat merasakan jalur napasnya kembali lega.
Namun, saat kepalanya menoleh ke kanan, wajah Maya berubah pucat pasi. Sepasang mata dengan pupil berwarna cokelat gelap, tanpa sengaja memergoki tingkah perempuan yang tengah mengolah 'emas' itu.
Buru-buru Maya mengeluarkan telunjuknya dari hidung dan menatap lurus ke depan. Berlagak tidak terjadi apa-apa. Walaupun hatinya kembang kempis menahan malu.
Sementara lelaki tadi tampak masih syok mendapati seorang perempuan yang tanpa malu mengupil di tempat umum, tepat di sebelahnya, dan dengan asal melemparkan benda 'itu'.
Ke atas sepatunya.
SRET!
Maya semakin jengah ketika merasakan lelaki itu bergeser menjauh dari tempatnya berdiri. Dalam hati dia berharap jika bus ini cepat-cepat sampai ke halte tujuannya. Semoga.
***
TBC
Acuy's Note
Gimana? Udah mulai kebaca alurnya? Udah tahu siapa lelaki yang kena sial dapet 'emas' dari Neng Maya? Sampai ketemu di chapter selanjutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top