3. Magic is On The Way
3.
Dunia rasanya berputar dengan sangat lambat sejak aku masuk ke dalam kelas hingga akhirnya Dimas, Bram, Yovan dan Morgan kembali dari aksi sok heroik mereka di lantai tiga. Aku merasa hampir mati menunggu mereka berempat kembali ke kelas. Pikiranku kacau hingga beberapa pertanyaan teman sekelasku bahkan tidak bisa kujawab.
Mira yang masih sama shock-nya denganku sudah lebih baik sejak beberapa menit lalu. Dia sudah bisa menceritakan ulang detik-detik ketika tong sampah, sapu, dan pengki melayang turun hampir mengenai kepala dan badan kami. Aku sendiri masih membisu, tanganku gemetar, dan kepalaku rasanya berputar-putar.
Aku takut.
Bukan takut kalau aku bisa saja terluka terkena hempasan tong sampah dari lantari tiga. Bukan juga ketakutan karena keterkejutanku atas kejadian tadi. Aku takut akan satu hal. Dia yang ada di lantai tiga, yang sedang bermain-main dengan kehidupannya, yang dengan bodohnya mengikuti kegiatan nggak jelas di atas sana.
Iya. Dimas.
Tong sampah dan pengki saja bisa jatuh, bagaimana kalau Dimas juga jatuh? Atau kalau Dimas dipukul dengan sapu? Mending kalau cuma sapu! Bagaimana kalau Dimas ternyata diberi tinju oleh anak-anak kelas sepuluh yang masih brutal?
Astaga Tuhan.
Lalu ketakutanku berhenti begitu mereka berempat masuk ke dalam kelas sambil berlari dan tertawa. IYA! Tertawa. Empat laki-laki itu masuk ke kelas dengan napas tersengal-sengal dan tawa puas menghiasi wajah mereka. Aku di sini ketakutan dan mereka bisa-bisanya tertawa? Sialan memang.
Tawa mereka berhenti begitu anak-anak perempuan plus Egar (yang notabene laki-laki tapi nggak ikut ke atas tadi) mulai menatap penuh tanya. Teman-teman sekelasku tidak hanya penasaran dengan keriuhan acara di lantai tiga, namun juga ingin mengetahui sensasi macam apa yang baru saja empat laki-laki ini rasakan.
"Kalian ikutan tubir (baca : ribut) tadi di atas?" Diandra dengan suara melengking khasnya melempar pertanyaan pertama.
Bram menganggukkan kepala dengan antusias, "Gila, lu pada tahu nggak? Si Dimas goblok banget. Mau nonjok satu utas nih, belum juga maju udah lari si Dimas cuma gara-gara utasnya mau buka gesper!"
Bisa nggak sih mereka nggak usah menceritakan kekerasan macam ini seolah-olah itu semua hal yang biasa dan bahkan lucu? Aku tidak suka mendengarnya. Gesper kata Bram? For God sake? Gesper itu mau dilucuti dari tempatnya? Apa tidak bisa mereka berantem dengan tangan kosong saja? Seenggaknya itu lebih aman dan lebih gentle.
"Apaan lu, Bram! Anjir, tadi gua dipanggil sama Rio anak basket mau disuruh ngadepin utas lain," Dimas malah sibuk membela diri.
Beberapa orang di kelas tertawa. "Ngeles lu jago banget, Dim! Kalo takut nggak usah naik ke atas kali tadi," kali ini ganti Dita yang memojokkan Dimas membuat tawa satu kelas lebih keras lagi.
Aku tidak ikut tertawa. Dimas menyadari itu. Dimas berhenti tertawa dan menatapku lekat. Pelan Dimas lalu berjalan ke mejaku dan Mira. Pandangannya masih belum lepas dari mataku, dan aku tidak takut pada pandangan itu kali ini. Aku terlalu marah padanya untuk mempedulikan rasa takutku detik ini.
"Lo nggak pa-pa?" tanya Dimas begitu sampai di samping mejaku dan Mira yang letaknya ada di baris kedua. Ini kalimat kedua yang Dimas ucapkan padaku setelah satu tahun. Nadanya masih dingin tapi ada sesuatu yang membuatku lega dari pertanyaan itu. Definisi lega bagiku adalah ketika tidak selang berapa lama setelah Dimas bertanya, tangisanku pecah. Akhirnya aku bisa menangis dan mengeluarkan apapun perasaan yang sejak tadi terpendam di dalam pikiranku sendiri. Rasa takut, cemas, marah, pasrah, semuanya luap keluar.
Keheningan langsung menyergap kelas ini.
Mira langsung membawaku ke dalam pelukannya, dan anak-anak perempuan lain langsung mendekati bangku kami dan mulai memanggil namaku. Aku hanya mendengar mereka sayup-sayup karena jiwaku begitu hampa sekarang seakan semuanya sedang menguap ke angkasa.
"Nadhira kenapa??" itu suara Dita.
"Nadh jangan nangis .." dan itu suara lengkingan Diandra.
"Nadhi ... Nadhi ada yang sakit?" yang ini datangnya dari Nabila.
Aku masih menangis di pelukan Mira. Mira tidak bicara apa-apa dan cuma mengelus punggungku saja. Aku tidak bisa melihat apakah Dimas masih ada di samping mejaku sekarang atau tidak, namun wangi tubuh Dimas masih ada di dekatku. Dimas, ini semua ulah kamu. Sialan banget kamu ini.
"Nadhi, kalo lo nangis terus nanti nadi lo putus semua loh ..." Egar entah bagaimana akhirnya bisa mengeluarkan suaranya juga. Kata-katanya itu konyol banget memainkan homophon namaku dengan kata nadi.
"Apa sih, Gar ..."
"Tau nih si Egar"
"Gar, mending nggak usah ngomong deh,"
"Garing banget, Gar macem gorengan ..."
Semua penghuni kelas kini menghujat gurauan Egar sambil menatap geli pada anak ajaib yang satu itu. Aku mengurai pelukanku pada Mira dan mengusap air mataku.
"Egar, sering-sering garingnya deh biar gua nggak jadi nangis," aku berujar dengan suara bindeng kentara sekali habis nangis.
Egar terkikik, "My pleasure, Nadh..."
"WOOOOO..." teriakan satu kelas langsung terdengar menghakimi Egar. Kini perhatian mereka semua sudah teralihkan dariku. Egar adalah sasaran berikutnya dan sepertinya cowok itu tidak peduli sama sekali.
Aku mengalihkan pandanganku dari Egar yang duduk di pojok belakang. Ketika itulah aku mendapatkan konfirmasi atas teoriku bahwa Dimas memang masih berdiri di samping mejaku. Pandangannya tidak lepas dariku – sepertinya sejak tadi.
Untunglah Dimas tidak terluka sama sekali. Kali ini aku tidak akan terlalu marah padanya dan pada diriku sendiri karena hal ini. Selama Dimas tidak terluka, aku masih bisa bernapas lega. Meski begitu rasa kesal karena sudah dibuat jantungan oleh Dimas tidak bisa hilang tiba-tiba. Rasanya jengah melihat dia di dekatku dan maunya kuusir saja cowok reseh sok dingin ini.
Belum juga aku sempat mengusir Dimas, sudah ada suara lain yang mengusirnya lebih dulu, "Mending lu balik ke bangku lu deh, Dim. Males lihatnya!" Mira ... gila, dia memang selalu tahu apa yang aku inginkan.
"Syukur deh elo sama Mira nggak pa-pa," Dimas masih berkata dingin sebelum melangkah pergi kembali ke mejanya sendiri di pojok kiri depan yang dekat dengan pintu kelas.
"Jangan dilihatin terus juga kali Nadh," ucapan Mira yang pelan sekali itu menyentakkan pikiranku, "Sedetik maunya dia pergi, sedetik maunya dia di sini. Sumpah ya kayaknya jatuh cinta memang bikin orang jadi plin plan."
"You should feel it, Mir. Lu harusnya jatuh cinta juga biar gua ada temen merana bareng," balasku.
Mira melotot, "Ogah deh makasih. Kapan-kapan aja."
Ih, Mira. Mana bisa sih cinta diatur-atur kapan datang dan perginya. Kalau begitu mah aku lebih baik minta dibuat pergi dulu sebentar cinta ke Dimas-nya. Ini lagi sakit banget loh, Mira.
***
Aku sepertinya perlu membuat rekapitulasi ulang mengenai daftar kejadian buruk yang menimpaku hari ini. Sepertinya dari daftar ini aku bisa melakukan refleksi hal-hal apa saja yang sudah kulakukan belakangan ini sampai semua kesialan jatuhnya bersamaan di hari ini.
Pagi tadi hujan, padahal ini masih bulan Juli. Siang jam istirahat hampir terkena lima kotak sampah. Lalu Dimas ikutan tubir di lantai tiga membuatku senewen nggak karuan. Masih di siang hari setelah bel istirahat, Bu Mar guru bimbingan konseling kelasku langsung menginterogasi seisi kelas. Bu Mar mendapat laporan ada anak CIBI yang ikut tubir di lantai tiga dan kami sekelas semuanya tanpa terkecuali dicurigai. Jadilah waktu tiga jam pelajaran kami habis mendengar ceramah Bu Mar.
Sudah selesai? Tentu saja belum.
Sore ini sepulang sekolah, aku mendapati ban mobilku bocor. Parahnya sampai dua ban yang bocor – depan kiri dan belakang kanan. Mau tidak mau dengan badanku yang kecil ini, aku harus mendongkrak mobil dan mengganti ban dengan serepnya. Ah, nggak guna juga sih. Hanya ada satu ban serep yang aku punya. Indah sekali memang hidup ini.
Tarik napas keluarkan. Tarik napas keluarkan. Jangan panik, Nadhira. Sekarang coba pikirkan hal apa yang pertama harus aku lakukan. Hmm menelepon seseorang. Tapi siapa? Papa dan Mama? Di Moskow? Ini jam berapa di Moskow ya kali mereka bisa bantu juga. Pakdhe dan Budhe? Lalu? Minta dijemput? Fix itu sih kurang ajar banget karena tadi pagi aja Pakdhe masih sibuk dengan laptopnya.
Aku benar-benar tidak tahu harus apa.
"Lo kenapa?"
Great timing banget emang. Bisa kalian tebak ya siapa yang bertanya barusan. Yup! Dimas. Dimas bisa bicara denganku juga ternyata. Ini adalah kalimat ketiganya padaku setahun ini dan semuanya dilakukan di satu hari yang sama. Itu suara dari dulu kemana sih, Dim?
"Nadh, mobil lo kenapa?" tanya Dimas lagi.
"Lu nggak bisa lihat?" aku menjawab ketus.
Dimas menaikan alisnya. Astaga lucu banget sih ekspresi kamu kalau lagi sok berpikir keras gitu, Dim. Kepalanya dimiringkan seolah semakin berpikir keras. Aku mau ketawa Dimas, mau banget tapi terlalu takjub melihat kamu yang akhirnya punya ekspresi juga di depanku.
"Berapa banyak ban yang bocor? Depan doang?" Dimas kini sudah bisa menyimpulkan sendiri keadaan mobilku.
"Belakang juga satu .."
Jawabanku tadi langsung membuat Dimas menatapku dengan kaget. "Nadh, lo ketimpa sial apa sih hari ini?"
Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku pasrah sekaligus tidak mengerti. Cobaanku hari ini banyak banget kayaknya. Kamu juga Dim salah satunya. Huh.
"Sini deh gua bantu dongkrakin, sama ganti ban.."
"Ban serepnya cuma ada satu, Dim.."
Dimas menghentikan langkahnya yang sudah ingin mendekati pintu mobilku. Sekali lagi dia menatap ke arahku yang sedang berdiri tepat di depan kap mobil.
"Kayaknya lo lagi sial banget emang hari ini," Dimas berdecak entah simpati atau mengejek.
"Gua butuh solusi kali bukan diingetin mulu kalo lagi sial.."
"Ya udah deh pulang naik bus aja tinggal nunggu depan sekolah. Gua temenin nunggunya kalau takut nunggu sendiri di halte.."
"Terus mobil gua?"
"Titip aja dulu di sekolah, besok pagi baru diurus. Nanti kan di rumah, elo bisa minta tolong kakak lo kek, bonyok (bokap – nyokap) lo kek, siapa kek. Paling penting itu sampai rumah dulu," Dimas bicara panjang sekali membuatku takjub. Ini tuh semua hasil tabungan suara Dimas setahun langsung dicairin semua di hari ini ya?
"Nadh ..." Dimas sudah berdiri di depanku sekarang dan menjentikkan jarinya di depan wajahku. "Nadh, ayo gua temenin nunggu bus! Jadi nggak?"
"Oh ? Ah? Iya .." aku langsung tersentak dan mengiyakan apapun yang dikatakan Dimas tadi.
Kami berjalan santai dari parkiran ke gerbang sekolah. Bisu dan dingin banget nggak bohong, tapi rasanya seperti meledak-ledak, kayak banyak kembang api mengiringi langkah kami berdua.
"Dim ..."
"Nadh..."
Awkward.
"Lo dulu aja ..."
"Ladies first ..."
More awkward.
Dari tadi kami berdua membisu. Sekarang ketika ingin bicara, ternyata kami malah jadi bicara bersamaan. Kenapa takdir kecil semacam ini aja bisa jadi lucu sekali. Duh.
"Ehemmm" Dimas berpura-pura membersihkan tenggorokannya meski aku tahu dia sebenarnya sedang memberikan kode bahwa dia akan bicara lebih dulu. Aku fokus saja mencoba mendengarkan baik-baik apapun yang akan dia katakan.
"Tadi siang ..." Dimas berhenti bicara sejenak lalu memulai lagi, "Uhm ... kenapa lo tiba-tiba nangis?"
Karena elo, Dim. Pikiranku langsung menjawab.
"Nggak pa-pa," tapi bibirku menjawab lain.
"Lo nangis abis gua tanya," Dimas masih belum puas.
Karena gua lega lu nggak kenapa-kenapa, Dim.
"Mungkin kerja saraf gua nggak secepat itu kali untuk mengirim impuls. Mungkin juga karena lu ini katalisator yang mempercepat reaksi. Atau bisa juga lu reaktor dari reaksi gua tadi siang kali," jawabku sekenanya kali ini.
"Jadi gua ini katalisator atau reaktornya, Nadh?"
"Uhm ... reaktor?"
"Kenapa?"
"Ya karena persamaan reaksinya kayak gitu ..." jawabku menambah keabsurdan pembicaraan ini.
"Sori ..." Dimas berhenti melangkah karena kami sudah di gerbang sekolah sekarang dan harus menyeberang untuk menuju halte dan menunggu bus datang.
Aku tidak mengerti juga sori-nya Dimas ini untuk apa. Untuk hari ini kah karena sudah menjadi reaktor dari tangisanku? Untuk hari-hari kemarin ketika dia bersikap sangat dingin padaku? Untuk hari-hari sebelumnya ketika dia tidak pernah mau bicara denganku? Aku tidak mengerti.
Din ... Din ...
Suara klakson motor menyentakkan tubuhku dan Dimas. Kami refleks memisahkan diri dan membuka jalan bagi motor Ducati berwarna biru tua itu untuk lewat. Pemiliknya kasar banget sih sampai harus mengklakson orang segala. Bilang permisi dari jarak dia tadi sebetulnya juga bisa kok, kami pasti kasih jalan. Lagipula sisi sebelah kanan kami berdua masih luas, kenapa juga motor itu memaksakan diri lewat di antara tengah-tengahku dan Dimas.
"Motor siapa sih, itu?" aku berkata ketus sambil menghampiri Dimas untuk bersama menyeberangi jalan.
"Lo nggak tahu, Nadh?" Dimas bicara santai meski bisa terdengar dia agak tidak percaya pada fakta aku tidak tahu motor tadi itu milik siapa.
"Siapa sih, emangnya?"
"Itu motornya Biru, pentolannya anak kelas duabelas sekarang ..."
Iya, kalau Biru sih aku tahu Dim, nggak usah dijelasin begitu. Jadi tadi itu Biru? Orang yang sama yang tadi pagi memayungiku masuk ke gedung sekolah. Orang yang tadi pagi kesulitan menutup payung biru tuanya. Orang yang tadi pagi dengan rambut gondrong acak-acakannya tidak menanggapi ucapan terimakasihku.
"Tahu kan kalo tentang Biru?" Dimas bertanya.
Aku terkekeh sebentar, "Tahu lah! Siapa yang nggak tahu King of The King-nya sekolahan sih, Dim."
King of The King. Rajanya semua raja. Biru. Baik sih, tapi kayaknya tadi pagi aja baiknya. Baru saja kan dia bersikap nggak sopan pada pengguna jalanan lain. Duh, manusia kan begitu, Nadhira. Mana ada sih manusia yang betul-betul sempurna baik di segala bidang? Emangnya Tuhan? Ngapain juga aku menilai Biru seenak jidat. Belum tentu menilai diri sendiri udah becus.
Hehehe.
"Nadh, jangan ketawa sendiri deh. Serem ..."
"Apaan deh, Dim. Mulut-mulut gua sendiri ini ..."
"Gila jutek parah..."
"Emang!"
***
pesan penulis :
Perlu catatan kaki nggak untuk pembicaraan absurdnya Dimas dan Nadhira? Nggak kan ya? Hehehe.
Part ini khusus buat ciwik ciwik kesayangan di 'realtionship', terimakasih banyak kritik dan sarannya yang sangat membangun buat kelanjutan kisah ini (terutama buat elo sih sev :p). Monggo bernostalgia yang mau balik ke jaman SMA lagi, atau yang masih SMA silakan tidak meniru deskripsi kekerasan yang ada di sini :p
Love as always,
Mong
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top