3. Surat Biru Dari Dalam Loker

-

-

Bayang-bayang dua orang siswi yang mengendap di antara celah tembok pembatas sekolah dan ruang kelas tampak sore itu. Bukan untuk mendaki tembok tinggi lantas berniat bolos -- lantaran jam pelajaran sudah usai sejak dua jam yang lalu --, tetapi salah satu jendela ruang kelas yang menjadi incaran mereka.

Suara kasak-kusuk mulai terdengar. Bahkan beberapa kali salah satu dari mereka menggeleng malas sambil mengamati kanan-kiri. Takut-takut ada siswa yang menangkap basah keduanya. Lantaran celah sempit di samping sekolah ini seringkali menjadi lahan nyebat ataupun CAPSA para siswa bengal yang nekat berbuat di area sekolah. Yang sudah pasti kabur kocar-kacir bila tertangkap basah oleh si Kumis.

"Be, lo serius mau manjat?"

Bening mengangguk mantap.

"Ini udah hampir yang ke dua puluh kali lho, Be. Kenapa nggak langsung lo whatsapp atau DM aja sih?" gerutu Sania menarik sebuah kursi dari beberapa bangku usang yang menumpuk di celah itu. "Atau kenalan langsung kek."

"Dikira agresif lagi," jawab Bening mendadak mellow. "Lagian gue cuma mau dia tahu perasaan gue doang kok, San. Enggak lebih."

"Najong!" Sebuah toyoran mendarat ke bahu kiri Bening. "Terus kenapa nggak lewat pintu aja? Nyusahin diri sendiri lo."

"Di depan ada anak Paskibra lagi pada latihan. Langsung ketahuan dong kalau gue lewat depan."

Sania menepuk jidatnya pasrah. "Ya udah buru. Ketahuan Pak Subandi bisa rempong entar urusannya."

Bening tersenyum lebar. Kemudian dengan amat hati-hati ia mulai menarik daun jendela ke arah luar. Kemudian membukanya selebar badan.

Sesaat Bening menelan ludah, ketika jarak dari kusen jendela ke lantai di bawah cukup tinggi dan tidak ada kursi ataupun benda lain yang terdekat untuk dapat ia jadikan pijakan.

"Buruan! Keburu ada yang lihat, Be!"

"Iya, bawel."

Suara karet sepatu beradu dengan lantai ruang kelas terdengar semenit kemudian. Bening segera merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan sebuah amplop dari sana. Kepala cewek itu berkeliling mengamati suasana kelas yang sudah kosong, jomplang dengan suasana riuh rendah di selasar kelas atau lapangan sekolah yang masih ramai.

Sambil menunduk, Bening mengamati loker panjang pada dinding belakang kelas. Senyum lebar terbit tanpa permisi, kala loker hijau tosca bernomor 11A-15 milik si Kakak-Kelas-Kesayangan di pojok kiri menggoda atensinya. Segera, Bening mendekat, mengeluarkan penggaris plastik dari dalam kantung rok, dan sedikit berjongkok hingga sejajar dengan tinggi loker.

"Be! Ada orang Be!"

Bening mendesis. "Sebentar!"

Tanpa banyak adegan drama, Bening langsung menyelipkan surat beramplop biru berisi puisi miliknya ke dalam celah loker lalu menyodok benda tipis itu menggunakan penggaris. Berharap masuk dengan aman ke dalam sana.

"Be! Buruan!"

Kali ini kepala Sania menyumbul dari arah jendela. Raut panik jelas kentara dari wajahnya.

"Lima menit," gerutu Bening mulai senewen sambil terus berusaha mendorong amplop yang salah satu sudutnya masih melambai dari luar loker.

Sementara itu, Sania yang kepalanya masih tersangkut di jendela melirik tiga orang siswa yang tertawa terbahak-bahak di ujung gang. Ketiga siswa itu berhenti sesaat ketika salah seorang di antaranya, menoleh ke belakang sambil mengeluarkan satu pak rokok dari dalam tas. Beruntung, Sania yang posisinya jauh berada di depan mereka luput dari pandangan.

"Nyangkut lagi!" Bening menelan ludah ketika penggaris Mickey kesayangannya tersangkut di celah loker.

"Apanya yang nyangkut? Buruan!"

"Penggaris gue," gumam Bening dengan bibir ditekuk dalam seraya berusaha menarik penggaris itu dari loker milik Togi.

"Tinggal aja. Mereka udah deket, kalau ketauan bisa rempong entar," cerocos Sania melompat-lompat di tempat saking gemasnya. "Gue beliin selusin di toko Bang Mamat deh."

Bening menggeleng sambil masih menarik penggaris dari loker Togi. "Ogah. Di warung Bang Mamat mana ada penggaris unyu kayak gini, yang ada bantet-bantet macem tangannya si Hira."

Sania menepuk jidatnya emosi, lebih-lebih tiga siswa di kanannya mulai melangkah mendekat.

"Gue tinggal deh!"

"Lo tega sama gue?!" seru Bening melotot ke arah Sania.

"Sekarang lo pilih, penggaris yang lo tinggal atau lo yang gue tinggal?!"

Bening makin manyun. Sebuah ide melintas di kepalanya. Dengan ekspresi melas, ia terpaksa menekan penggarisnya ke bawah hingga suara benda patah terdengar. Rasa sesal merambat di dada Bening saat memandangi tubuh Mickey Mouse pada penggaris di tangannya harus rela tak memiliki kepala.

"Sorry," gumam Bening melambaikan tangannya pada ujung penggaris yang mengintip dari dalam loker.

Kurang dari lima menit, Bening yang memang bertubuh jangkung, dengan mudah loncat dan duduk di kusen jendela. Kemudian dengan bantuan Sania, Bening pun berhasil mendarat dengan selamat.

"Ayo!" Sania bergegas menarik tangan Bening dan berlari sepanjang celah antara dinding sebelum tiga siswa tadi sadar akan keberadaan mereka.

Tawa lega spontan terdengar dari keduanya saat berhasil keluar dari celah, melewati koridor sepanjang area kelas sebelas berada, dan menaiki tangga menuju lantai dua.

***  

"Gimana? Yakin lo berani deketin dia?"

Suara Uta dari arah kiri membawa Bening kembali ke dunia nyata. Dengan mata menyipit kesal, cewek itu melirik kepada Uta yang cengengesan pada bangku di sebelahnya. Sementara, objek yang setengah jam lalu menari-nari di otak Bening tengah duduk nyaman di seberang, dengan Adrian yang terus mengoceh soal detail ulang tahun sekolah.

Bening merengut. Bola mata gadis itu berkeliling mengamati siswa-siswi BP yang ikut rapat hari ini. Yang seperempatnya mungkin diisi oleh fans Adrian atau mungkin Togi. Terbukti dari jumlah panitia mendadak bertambah dari ucapan Uta dan beberapa siswi di pojok sana justru malah heboh sendiri, tanpa sedikitpun memperhatikan apa yang dijelaskan Adrian di depan.

"Enggak yakin gue. Dia kan beraninya anonim kalau depan Togi, macam netizen," tambah Hira bertopang dagu ikut mengamati Togi.

"Kata siapa?!" celetuk Bening membuat Uta dan Hira saling tatap. "Gue berani."

"Yakin?" Koor kedua sahabat Bening hampir bersamaan.

Bening mengangguk mantap. "Buktinya gue masih di sini kan? Enggak kabur."

"Sekarang siapa yang bersedia jadi seksi sponsorship buat bantu Kak Togi?" tanya Adrian tiba-tiba.

Sontak cewek-cewek yang semenit tadi cekikikan di pojok ruangan mengangkat tangan. Bahkan beberapa ada yang berseru heboh, membuat Adrian menggaruk tengkuknya bingung. Sementara pandangannya melirik Togi sambil meringis geli.

Sementara itu, senyum Hira spontan makin lebar. Sambil melempar kode ke arah Uta, keduanya sontak mengangkat tangan.

"Temen gue aja, Dri!" teriak Uta tanpa perasaan menarik tangan kanan Bening ke udara. "Namanya Bening Prameswari. B-E-N-I-N-G. XIA-5. Anaknya mau repot dan kerja keras banget. Ya kan Be?"

Kedua bola mata Bening membulat sempurna. Lebih-lebih kala tatapan Togi langsung tertuju kepadanya. Yang membuat dada Bening seketika kejang-kejang dan membutuhkan CPR.

"Gimana, Be? Lo siap bantuin Kak Togi?" tanya Adrian. "Ada lagi yang bersedia?"

Beberapa cewek di pojok ruangan mengacungkan tangannya tinggi-tinggi dengan kompak. Bening sadar saingannya ternyata tidak main-main.

"Be, ngomong, dong! Kapan lagi lo bisa satu tim sama dia," bisik Hira. "Tahun depan belum tentu, loh, lo bisa dapat jackpot kayak gini."

"Udah jangan dipaksa. Bening kan beraninya anonim kalau depan Togi, macam netizen."

Bibir Bening mengerucut. Kemudian tanpa berpikir dua kali, ia mengangkat tangannya. "Gue mau! Gue bakal pastiin kalau gue bisa kerja sama dengan baik buat cari sponsorship dan tanpa kenal lelah cari dana buat UK. Demi BP!"

Adrian menahan tawa dari posisinya. Sementara Togi bertopang dagu mengamati Bening dari jauh.

"Gue juga kenal beberapa perusahaan yang biasa bantu klub teater gue. Siapa tahu mereka juga mau bantu acara kita," lanjut Bening berapi-api.

"Be, kita bukan sedang kampanye buat pemilihan Ketua OSIS. Semangat amat," kekeh Adrian.

"Be, lo nggak kesurupan, kan?" bisik Uta di telinga Bening. Sementara Bening hanya meringis malu, ia baru sadar bila kelakuannya benar-benar memalukan barusan.

"Oke, dia udah janji buat kasih sponsor ke kita," kata Togi akhirnya bersuara. "Kita buktiin aja."

Bening merasakan tubuhnya membeku. Ia bahkan berkali-kali menelan ludah dengan gelisah. Ternyata seperti ini rasanya berjanji mengenai sesuatu yang belum pasti.

"Oke. Buat yang di pojok mungkin kalian bakal gue taruh di seksi dokumentasi, gimana? Kalian dari klub film, kan? Kalian pasti bisa, lah, bikin creative-creative dikit buat sekolah kita."

Suara-suara kecewa kontan terdengar. Namun, langsung diam ketika sosok seorang guru wanita masuk ke dalam. Bu Nilam.

Guru Bahasa Inggris, yang manis dan baiknya melebihi malaikat. Walaupun guru termuda di Bakti Pertiwi, tetapi jiwa keibuannya buat siswa-siswi sekolah ini terpesona. Apalagi bila beliau kebagian menjadi guru piket.

Bila guru-guru yang lain menerapkan hukuman seperti membersihkan toilet atau keliling lapangan sebelum dicatat pada buku keterlambatan, lain halnya dengan Bu Nilam. Cukup mendongeng selama lima menit dan setor nama, hukuman pun selesai. Tidak aneh, beberapa siswa kadang kala sengaja datang telat hanya untuk mendengar ceramah beliau. Yang katanya adem macam air pegunungan.

Selain itu, karena jiwa keibuannya ini Bu Nilam sering kali menjadi seksi sibuk. Setiap acara sekolah, pasti ada beliau. Terkecuali acara ulang tahun sekolah tahun kemarin. Tidak aneh pada akhirnya malah jadi kentang bukan main. Makanya, sekarang muncul pepatah enggak ada Bu Nilam enggak asyik.

"Udah sampai mana? Maaf ya Ibu tadi koreksi PR anak kelas sepuluh dulu," ucap Bu Nilam seraya duduk pada bangku paling belakang. Bahkan hanya duduk pun beliau terlihat anggun. "Lanjutin aja Dri."

"Untuk pembagian tugas udah selesai kok, Bu," jawab Adrian menunjuk papan tulis yang penuh dengan coretan. "Tinggal tema besar acaranya aja."

"Nice! Any idea guys?"

Semua tangan siswa lelaki terangkat di udara. Sementara Bening masih meringis di tempat dengan mata terus mengawasi Togi diam-diam. Agaknya mulai menyesal sudah terbawa suasana dan asal celetuk sebelum rapat tadi.

Cari sponsor bareng Kak Togi? Mimpi apa Bening semalam.

***

"Kak, boleh minta waktunya nggak?"

"Kita mau bikin vlog sekolah gitu sebagai tugas dari club, Kakak mau kan kita masukin vlog?"

"Pleeeseeee..."

Suara mengerikan dari gerombolan cewek-cewek tadi, membuat Bening, Uta, dan Hira yang masih di dalam ruangan malas bukan main.

"Kita harus buru-buru balik, sorry ya." Adrian berusaha menghindar dengan senyum tipis di bibir.

"Yaaaaahhh... lima menit deh Kak."

Hira menggelengkan kepalanya sambil mencatat hasil rapat dari papan tulis. "Gokil! Anak kelas sepuluh pada berani-berani amat sekarang."

"Males gue lihatnya," gumam Uta berdecak geli.

"Gue cabut ya. Sania udah ngoceh mulu nih. Bye."

"Serius? Kak Togi masih di sini loh. Nggak mau diskusi atau speak-speak dikit dulu gitu, Be? Kan udah jadi partner," goda Uta yang langsung diberi decakan kesal oleh Bening.

Bening mendumel, lantas menarik jaket milik Hira dan meletakannya ke atas kepala Uta. Sontak keduanya cekikikan puas.

"Suka-suka lo pada."

"Mangat, Be!"

Sebelum benar-benar keluar ruangan, Bening sempat melirik ke kanan. Bulu kuduk cewek itu mendadak meriang mendapati Adrian masih tertahan dengan beberapa cewek anak kelas sepuluh yang tidak pernah bisa diam.

"Bening, kan?"

Kaki Bening yang baru setengah keluar ruangan seketika terpaku di tempat. Mulut cewek itu bahkan melongo tak tertahan. Pasalnya, sang Kakak-Kelas-Kesayangan yang sehari-hari hanya dapat ia lihat dari jauh, kini berdiri di depannya. Mengeja namanya.

Fix, ini hari keberuntungan Bening.

"I-iya."

"Boleh gue minta nomor lo? Biar gampang komunikasi buat ngomongin proposal," kata Togi mengeluarkan ponselnya.

Detik ini juga Bening serasa diguyur kembang tujuh rupa. Segar. Apalagi yang guyur semacam malaikat ganteng seperti Togi.

"Hello?"

Kedapatan bengong, Bening terkesiap lalu meringis malu. "0876543xxxxx," ucap cewek itu secepat kilat dan tanpa jeda.

Togi melirik Bening keanehan dengan jari terus mengetik di ponselnya. "Oke. Nomor gue, lo butuh?"

"Nggak perlu gue udah ada kok nomo—" Mulut Bening terkunci rapat kala sadar sudah keceplosan. "Dari Uta. Barusan!" celetuk cewek itu bohong.

Tidak mungkin bukan bila ia jujur sudah meminta nomor itu dari Sania bahkan sejak dirinya masih duduk di kelas sepuluh.

"You know, Uta temen Adrian dan Adrian kan temen Kakak. Hehehe," cerocos Bening lagi dengan keringat dingin mulai muncul di keningnya.

"Oh, ok."

"Gue--duluan deh. Bye Kak."

Tanpa menunggu tanggapan Togi, Bening buru-buru kabur menyeberangi lapangan sekolah untuk mempersingkat waktu. Rasa malu, kesal, dan senang bercampur aduk membuat dadanya malah dangdutan di tempat. Sesekali Bening bahkan memekik kegirangan.

"Woy! Minggir!"

Teriakan-teriakan dari pinggir lapangan menyadarkan Bening. Kepala cewek itu lantas berputar coba membaca suasana.

"Kau sedang apa di sana?!"

"Kau memang tidak bisa lewat jalan lain hah?!"

Kaku. Bening merasakan tubuhnya sulit bergerak. Pasalnya, tatapan menusuk beberapa anggota tim basket dan pelototan Pak Jamser -- guru olahraga sekaligus pelatih tim basket Bakti Pertiwi -- menjadikannya target sasaran. Sesaat otak Bening kembali waras. Ia mulai sadar jika sekarang ia tengah berada di tengah lapangan dan di tengah-tengah latihan tim basket Bakti Pertiwi. Cewek itu spontan tersenyum lebar, berteriak meminta maaf, dan berbalik pergi.

Wajah Bening makin merah ketika Togi rupanya masih berdiri di depan ruang OSIS, dengan pandangan lurus mengamati tingkah lakunya barusan.

"Salah lewat," kata Bening meringis malu yang hanya dijawab anggukan bingung dari Togi. "Permisi, Kak."

"Aneh," gumam Togi geleng-geleng kepala.

***  

TBC


Acuy's Note :

Kalau nanti tengah malem update lagi setuju atau enggak? (Pengganti karena enggak update hari Rabu kemarin). Yes/No.

Kalau kalian pernah enggak sih punya guru sebaik Bu Nilam, yang selalu senyum, sabar, dan baik sama nilai? Coba share dong!

Thanks n see ya~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top