1. Hujan dan Halte


-

-

Butiran air hujan masih betah jatuh membasahi kota Jakarta. Tetesannya membasahi jalanan aspal, kendaraan-kendaraan yang lewat di depan sekolah, dan beberapa penjual jajanan yang sore itu ikut berteduh di dalam halte, yang berjarak kurang dari 10 meter dari gerbang sekolah.

Salah satunya Bening, gadis yang juga menjadi salah satu dari enam orang makhluk dalam halte. Kemeja putih dan rambut sebahu setengah basah miliknya terus ia kibas, walaupun tidak yakin akan kering dengan cepat. Andai saja tidak tergesa keluar kelas, mungkin ia akan menunggu dengan nyaman di dalam hingga hujan reda.

Sambil memandangi motor matic-nya yang sudah kuyup di sebelah gerobak penjual telur gulung, Bening menjulurkan tangan ke bawah atap halte dan membiarkan tangannya basah oleh air hujan. Tetesan air yang mengenai kulit terasa menyenangkan.

"Bagi ceban dong?!"

Spontan, kepala Bening menoleh ke kiri saat mendengar suara berat dari arah pojok halte. Bibir Bening berdecak malas. Lagi-lagi preman terminal sebelah.

Letak sekolah Bening hanya berjarak kurang dari satu kilometer dari terminal bis antarkota dan bisa dibilang punya akses strategis, apalagi bagi siswa yang tinggal jauh dari sekolah dan harus menggunakan transportasi umum. Namun, negatifnya preman-preman terminal sering kali ikut melipir dan dengan sok jagoan ikut menjarah anak-anak SMA.

Dulu, katanya, Pak Subandi—Satpam sekolah Bakti Pertiwi—sempat membuat operasi rahasia dengan beberapa satpam sekolah sebelah. Akan tetapi, itu hanya berhasil tenang selama tiga bulan. Setelah itu, para preman kadang kala kumat dan sering mencari mangsa anak SMA di sekitar terminal. Meskipun, harus bermain kucing-kucingan dengan Pak Subandi.

Seperti sore ini. Gara-gara hujan, Pak Subandi atau yang biasa dipanggil si Kumis, pasti masih sedang asyik mengopi di dalam pos satpam.

"Tapi uang saya cuma tinggal goceng, Bang, buat ongkos."

Preman berbadan gempal, berkulit cokelat, dan mengenakan denim kumal dari atas sampai bawah itu agaknya tidak percaya. Sambil terkikik sumbang, salah satu preman yang berambut acak-acakan dan terlihat paling dekil, maju menjepit tubuh cowok itu.

"Bokis dipelihara. Anak SMA sini kan anak gedongan semua, masa ceban aja kagak ada? Pelit amat lo."

"Ayolah, Boy. Bagi ceban buat nyebat kenapa, sih?"

"Enggak ada, Bang. Serius, deh," ucap cowok dengan label angka romawi sepuluh serupa dengan Bening pada bahunya itu. Tatapannya kini mengitari halte, memohon pertolongan.

Bening meringis, kemudian ikut melirik enam orang lain di dalam halte yang mendadak tuli dan sok sibuk dengan kegiatan masing-masing. Bening menjadi gemas sendiri.

"Woy! Beraninya jangan keroyokan, dong!" seru Bening spontan.

Wajah Bening langsung pasi mendapati kedua preman tadi kini berbalik dan tersenyum menyeramkan kepadanya. Bening menelan ludah dengan panik, agaknya karena salah bicara.

Ketika dua preman itu mulai mendekat, sambil menguatkan hati, Bening bersiap menarik helm pinknya dari kursi halte. Namun, belum sempat helm itu melayang ke bagian tubuh para preman, dari arah belakang sesosok cowok jangkung berjalan dengan enteng dan mendekati preman itu.

Kedua mata Bening mengedip beberapa kali saat memandangi cowok itu. Tubuhnya terlapisi hoodie berwarna hitam dan wajahnya tertutup tudung, membuat Bening tidak dapat menilai siapa dia. Hanya celana abu-abu setengah basah miliknya yang dapat memberikan informasi kepada Bening bila kemungkinan cowok itu pun anak SMA seperti dirinya.

"Nih."

"Apaan, nih?" tanya salah satu preman, sambil memandangi lembaran uang lima puluh ribu rupiah di depan wajah mereka.

"Gocap cukup, kan?"

"Sok mau jadi jagoan dia."

"Gocap atau mau gue laporin ke si Kumis?!" Alih-alih ciut, cowok itu malah menaikan intonasi suaranya.

"Gue nggak takut!" seru salah satu preman sambil mendekat. "Minggir!"

Cowok ber-hoodie hitam itu mengeluarkan ponselnya, membuka kontak, dan menghubungi seseorang lewat video call. Wajah garang Pak Subandi dengan kumis tebalnya yang mirip Pak Raden muncul di layar. Cowok itu menunjukan layar ponselnya dengan sengaja ke arah para preman.

"Pilih lima puluh ribu atau si Kumis?"

Kedua preman itu saling tatap dengan gusar. Selang beberapa detik, salah seorang dari mereka menyabet uang itu dan menarik lengan temannya untuk segera pergi.

Sementara itu, Bening masih terpaku di tempat. Mata bulatnya mengamati dua cowok yang masih mengobrol di pojok halte. Setelah mengucapkan terima kasih beberapa kali, cowok kelas sepuluh itu pamit, dan berlari menaiki salah satu metro mini yang kebetulan berhenti di depan mereka.

"Lo nggak apa-apa?"

"Nggak," jawab Bening pelan kala cowok itu ikut berdiri di sampingnya.

Hujan dan halte. Itu pertama kalinya Bening menyadari bila dari sekian banyak siswa yang—katanya—populer di SMA Bakti Pertiwi, masih ada orang baik seperti cowok bertudung ini. Apalagi ketika cowok itu membuka tudung hoodie-nya, dunia Bening seolah-olah bergerak lambat dan waktu berhenti berputar. Bahkan semua indra Bening seperti tersedot ke arah cowok itu.

Dari balik tudung hitamnya, tampak alis tebal, hidung mancung, dan mata gelap yang gantengnya nggak bikin diabetes. Namun, saat ia menyugar anak rambut—apalagi setengah basah—dan mengekspos area jidatnya yang mengilap, aura ketampanannya itu sukses membuat hati Bening belingsatan.

Ces-sa Partogi. Gumam Bening membaca label pada bagian dada kemeja putih cowok itu saat dia menanggalkan hoodie-nya yang basah kuyup.

"Kenapa?"

Bening terlonjak kaget. "Kenapa-kenapa?"

"Kenapa?" Togi bertanya lagi dengan alis sudah menyatu bingung.

Ditatap langsung oleh Togi seperti itu jelas membuat Bening salah tingkah. "Kenapa apanya?"

Togi mendengkus. Bila terus seperti ini, bisa-bisa sampai lebaran kuda mereka saling sahut kenapa. "Lo kenapa lihatin gue kayak gitu?"

"Wah, hujannya udah reda! Gue balik, deh! Permisi, Kak!" Bening heboh sendiri dan berjalan dengan cepat menuju motor yang di parkirnya. Bening tak mengindahkan pertanyaan Togi.

"Matic pink!"

Bening yang sudah menyalakan mesin motornya, kaku di tempat. Bola mata cewek itu mengamati motornya dan Togi bergantian. Seakan memastikan dirinya yang dipanggil oleh cowok itu.

"Helm," tunjuk Togi pada helm di kursi halte.

Senyum yang lebih menjurus ke arah ringisan muncul dari bibir Bening. Cewek itu buru-buru menjemput helm, mengenakannya di kepala, dan menjalankan sang motor kesayangan.

"Matic Pink!"

Lagi. Baru saja Bening menstarter motornya, suara Togi kembali terdengar. Dengan wajah memerah malu, ia menoleh ke arah cowok yang kini menatapnya keheranan.

"Standar."

"Makasih, Kak." Bening tersenyum canggung. Kemudian tanpa berani menatap mata cowok itu, ia buru-buru menjalankan matic-nya secepat mungkin. Tidak peduli jalanan sedikit licin, ataupun gerimis yang masih turun dan membasahi tubuhnya.

***

Tawa terkikik terdengar di sepanjang kamar beraksen putih-biru. Dua buah bola mata menyipit seolah menahan merinding dari balik laptop di atas kasur mendengar tawa tadi. Pasalnya ini sudah yang ke-989 kali, seorang gadis bernama Bening Prameswari yang baru genap berusia tujuh belas tahun beberapa bulan yang lalu, kembali menceritakan hal yang sama tiap kali membahas soal Togi, si Kakak Kelas Kesayangan.

"Dan menurut lo itu sweet?" tanya Sania, teman sebangku sekaligus sahabatnya sejak kelas sepuluh itu bergidik ngeri dari balik laptop.

Bening mengangguk cepat sambil membenahi bantal besar di belakang tubuhnya dan bersandar dengan santai.

"Entah kenapa, makin gue denger, malah makin malu gue jadi lo, Be."

Bukannya tersinggung, Bening malah mengedik dengan senyum mengembang lantas lanjut membaca majalah fashion yang sudah berserakan di sentero kamar Sania.

"Terus mau sampai kapan lo gila sendiri kayak gini?" sindir Sania, sambil membenahi artikel yang sebentar lagi akan naik di website sekolah. "Kalau berani deketin, dong."

"Masa cewek duluan? Gengsi, dong!"

"Didenger Uta bakal dikecengin abis-abisan lo."

Bibir Bening mencebik. Di antara empat orang geng Ceribel—Cerita Belakang Kelas, bisa dibilang Uta yang paling vocal dalam menyuarakan pendapatnya. Selain itu, cewek jadi-jadian dengan tingkat kepelitan melebihi Mr. Crab dan potongan rambut mirip Dora itu, selalu menjadi yang paling sibuk di antara yang lain. Maklum, Uta adalah bendahara OSIS.

Suara gelak tawa tiba-tiba terdengar dari halaman samping. Bening mengendap dan mengintip dari jendela kamar Sania. Dada Bening serasa ingin meledak saat mendapati sosok yang baru saja mereka bahas berada di sana. Sosok dengan senyum lebarnya yang berhasil menyedot habis fokus Bening.

Togi.

Sejak pertemuan di halte saat itu, sebagai siswa baru, Bening memang belum tahu bila Togi merupakan teman satu geng Bian, Kakak Sania. Gayanya yang biasa saja dan tingkah laku yang tidak neko-neko, membuat Togi terlihat berbeda dibandingkan teman satu tongkrongannya yang lain. Sejenis one of a kind, di mata Bening.

Betul. Togi bukan anggota tim basket seperti Bian yang sudah pasti digandrungi banyak cewek, meskipun mereka sering kali nongkrong bareng. Ataupun anggota OSIS layaknya Adrian yang terlihat berkarisma, setiap kali lewat di antara koridor sekolah. Juga bukan kerumunan vlogger dari klub film yang selalu haus konten, walau mukanya nggak kalah ganteng dengan orang-orang yang selalu menjadi trending di Youtube atau mejeng di website sekolah.

Selain itu, ada satu hal yang Bening sukai dari sang Kakak Kelas Kesayangannya, senyumnya. Senyum termanis yang dipadukan dengan mata tajam melebihi fokus kamera milik Togi tidak pernah gagal membuat dada Bening loncat-loncat tak keruan.

Bila diibaratkan, senyum manis tanpa beban dan terlihat tulus milik Togi, seperti vacum cleaner merek terbaru dengan kualitas jempolan. Sedangkan Bening, jelas hanya butiran debu yang langsung tersedot tanpa sisa.Bening terkekeh geli hanya dengan mengintip senyum tiga jari milik Togi dari jendela. Bening pikir, sepertinya ia memang berjodoh dengan sang Kakak Kelas Kesayangan. Buktinya, baru saja dia membayangkan Togi, sekarang mereka sudah kembali bertemu di rumah Sania.

"Padahal izin ke Mama mau belajar bareng, eh malah nongkrong. Gue laporin enak, nih," gumam Sania, entah sejak kapan ikut berdiri dan mengamati beberapa cowok yang berada di bawah.

"Kayak nggak kenal Kakak lo aja. Di sekolah, dia kan sering banget mojok terus nongkrong di warung Mbak Lela."

"Iya, sih. Tapi kan semester ini dia udah UN, Be. Pengang banget kuping gue kalau udah denger Nyokap ngomel gara-gara dia keluyuran mulu."

Bening tercenung. Bukan perihal tahun depan gilirannya yang akan pusing soal urusan UN apalagi SNMPTN, tetapi itu tandanya mulai semester depan tidak ada lagi Togi sang Kakak Kelas Kesayangan di sekolah. Bening mendadak murung, tidak bisa membayangkan hari-harinya tanpa melihat senyum cowok itu lagi.

"Kenapa lo?"

"Enggak," gumam Bening pelan.

***

TBC 

Acuy's note :

Setelah BM nulis berhari-hari, akhirnya Cuy comeback! Bagaimana part 1 ini dear? Mayan lah ya buat pemanasan. Hehehehhehe

Karena ini ngomongin masa SMA, menurut kalian apa sih hal yang enggak pernah kalian lupain atau bahkan kalian kangenin dari jaman SMA? Coba Cuy mau tahu.

See ya~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top