Tea 5. Kasih Bersemi

-

Sejak mata bersua pada senyum sendu yang manis bermadu

Kau taburkan di taman hatiku

Sejak itu rasa tak tentu hati risau gelisah merindu

Duduk murung dan bertapang dagu kasih bersemi di lubuk kalbu

- Rudy Rusadi -

-

-

"Ada yang aneh?"

Lea menggeleng cepat. Sementara Djuan kembali sibuk dengan telur dadar dan sayur terong di piringnya.

Warung Bu Lilis terlihat sepi malam ini, hanya ada mereka berdua dan beberapa manusia yang sekadar mampir untuk membeli lauk lalu pergi lagi. Harum tempe goreng pun tercium kuat dari arah dapur di balik gorden, menggoda penciuman.

"Saya baru tahu kamu suka makanan warung kayak gini?"

Kepala Djuan menoleh ke kiri dengan alis naik tinggi-tinggi, sementara sendok di tangan kanannya menggantung di depan mulut. Tawa renyah kemudian terdengar, kedua mata si Barista seperti menghilang seiring dengan suara tawanya.

"Jadi, menurut kamu pantasnya saya makan di mana?" tanya Djuan menelan makanannya selagi menerima segelas es teh manis dari tangan Lilis yang baru saja muncul dari dapur.

Lea meringis ketika tanpa sengaja menemukan senyum misterius terukir dari bibir Lilis. Sedangkan mata wanita itu memandangi Lea penuh arti. Besok, dia pasti bakal mendapat sidang dadakan dari Lilis.

Bahu Lea terangkat. "I dont know. Di Ohlala mungkin? Atau paling banter food court di mall-mall."

"Terlalu stereotype," sela Djuan mengerutkan alisnya, yang malah terlihat lucu untuk dipandang.

"Kamu tahu, saya justru lebih suka makan di tempat-tempat kayak gini."

"Pertama, makanannya lebih beragam, bisa nambah sesuka hati tanpa takut kantong jebol, dan menunya udah pasti rumahan. Jadi inget makanan ibu di rumah, kan?"

Meskipun Lea kurang setuju karena makanan sang ibu tidak ada duanya di dunia, tetapi dia tetap mengangguk. Jadi lumayan tepat bila disandingkan dengan jenis menu masakannya.

"Dan satu lagi," imbuh Djuan mengacungkan telunjuknya ke udara. "Canggih."

"Maksudnya?"

"Ini." Djuan memanggil Bu Lilis lantas menunjuk etalase kaca di depannya. "Mana ada tempat makan touchscreen kayak gini tapi harganya terjangkau?"

Lilis tertawa sambil mengangsurkan telur dadar yang tadi ditunjuk Djuan ke piring lelaki itu. "Masnya bisa aja nih."

"Bercanda, Bu," jawab Djuan tersenyum kepada Lilis. Wanita itu terkekeh malu dan kembali ke dalam gorden.

Lea pura-pura geli walaupun jelas bibirnya tersenyum lebar. Dia baru sadar satu hal. Bila dibalik penampilannya, Djuan ternyata bisa sekonyol ini.

"Asli! Enggak lucu."

"Tapi kamu ketawa, kan?"

Senyum Lea menghilang. "Emang iya?"

"Tapi serius loh Le. Selain alasan tadi, kalau soal rasa makanan, di pinggir jalan juga enggak kalah kok sama restoran mahal di mall gede. Dan enggak cuma makanan, kopi pun kayak gitu."

Djuan yang sudah menghabiskan telur dadar tadi menenggak es teh manisnya dan menghadap ke arah Lea. "Meskipun saya kerja jadi barista, kadang saya masih suka jalan dan minum kopi di kedai-kedai pelosok. Karena menurut saya kedai-kedai di gang-gang itu justru yang otentik dan suasananya juga paling sulit buat ditiru."

"Tahu Kopi Tak Kie?" lanjut Djuan.

Lea menggeleng.

"Tempat itu legend banget lho, Le. Kamu enggak tahu?"

"Kalau cuma dengar sih pernah, tapi belum sempat ke sana."

"Mau ke sana?"

Lea spontan melirik Djuan, yang malah membuatnya saling tatap dengan lelaki itu.

"Kalau ada yang mau temenin sih, boleh."

"Sabtu?"

Kedua bola mata Lea membulat dan buru-buru dia alihkan pandangannya lurus ke depan. "Sabtu ini saya ada event. Minggu?"

"Deal!"

Lea kembali menekuri makanannya. Meskipun secara sembunyi-sembunyi irisnya bergerak mengamati Djuan dari samping. Dia tersenyum, baru kali ini menemukan lelaki penuh antusias seperti Djuan.

"Sebentar," sela Lea tiba-tiba. "Saya kayaknya pernah deh sempat bikin reportase ke sana, itu yang di daerah Glodok kan?"

Djuan mengangguk.

"Sayangnya waktu itu saya datang kesiangan dan kedai kopinya keburu tutup. Jadi, saya liputan di tempat lain. Kamu tahu, udah capek-capek keliling cari berita, hasil liputan saya ditolak dan terpaksa berakhir di podcast."

"Podcast?"

"Iyes. Podcast saya."

"Bukannya kamu kerja di radio? Kenapa enggak siaran di kantor?" Djuan mengamati Lea. "Atau cuma buat hobi?"

Lea mengangguk. "Alasan yang kedua lebih tepatnya. Atau kalau lebih tepat lagi, semua gara-gara Mbak Shirly. Atasan saya itu perfectionist abis! Jadi, dulu banyak banget ide saya yang kebuang gara-gara dia. Dari mulai program siaran sampai artikel. Ngeselin banget deh pokoknya."

"Jadi, daripada kebuang, saya bikinin aja podcast dan masukin ke spotify."

"Boleh tahu nama podcast-nya?"

"Jangan ah." Lea menggeleng cepat.

"Lho, kenapa?"

"Malu. Suara saya mana ada punya karakter kayak penyiar radio. Kalau kata Vey, suara saya cempreng kayak tikus kejepit."

Djuan tertawa mendengar kelakaran Lea.

"Kalau udah berani diunggah, berarti oke dong," sindir Djuan mengerling ke arah Lea. "Ayolah. Saya juga kan mau tahu suara tikus kejepit kayak gimana."

Lea memberengut.

"Bercanda. Tapi saya serius loh mau denger suara kamu."

"Jadi, maksud kamu selama ini kita ngomong pakai telepati?"

Djuan terbahak. "Oh, please."

"Handphone kamu." Telapak tangan Lea menengadah di depan Djuan. Segera, Djuan meletakan ponsel miliknya ke tangan Lea.

"Midnight tea?" eja Djuan saat ponselnya sudah kembali ke tangan.

Lea membenarkan.

"Pasti artinya berat nih," gumam Djuan mengamati layar ponsel sembari membaca judul-judul podcast milik Lea.

"Nyindir?"

"Nope. Tapi pasti ada maksudnya kan kamu kasih nama ini?"

"Alasannya ada dua," kata Lea memajukan dua jarinya di depan wajah Djuan. "Pertama, kayak namanya. Tea itu berarti gosip atau bahan obrolan dalam bahasa inggris. Terus karena ini saya post habis pulang kantor, saya kasih nama midnight tea."

"Semacam obrolan tengah malam?"

Lea mengiyakan. "Obrolan malam sekaligus jadi temen ngeteh dan temen istirahat buat mereka yang abis pulang kerja."

"Nice."

"Temanya masih random sih. Makanya jangan didengerin, malu-maluin ah!"

"Kalau kamu bilang begitu, saya malah makin penasaran buat dengerin loh. Terus alasan kedua?"

Sudut-sudut bibir Lea terangkat naik. "Rahasia. Ayo balik! Saya kudu kasih makan Ratu Inggris dulu malam ini."

Kening Djuan mengernyit dalam. Walaupun tetap bangkit dan berdiri mengejar Lea usai membayar makanan mereka.

"Ratu Inggris?"

***

Sepanjang kakinya melangkah, tatapan Lea beberapa kali ke arah Djuan. Sedangkan lelaki itu terus menunduk entah mengamati apa. Mungkin sosok Lea di sebelahnya tidak segitu menarik dibandingkan aspal berlubang yang dia injak.

Lea terus mengamati dalam diam. Ternyata bila berjalan bersisian seperti ini, Djuan cukup tinggi juga. Selain itu, wangi tubuh lelaki ini sangat segar dan rasanya nyaman untuk berlama-lama jalan bersebelahan seperti sekarang. Namun, sayangnya momen romantis seperti ini harus berakhir ketika kontrakan dua lantai menyambut Lea beberapa saat kemudian.

"Itu kontrakan kamu?" tanya Djuan saat Lea berhenti di depan pagar sebuah rumah.

Lea mengangguk. Dalam hati dia bersyukur bocah-bocah penjaga pos ronda tidak terlihat batang hidungnya malam ini. Jika tidak, bisa dipastikan dia akan menjadi bahan sorakan oleh mereka.

"Saya balik ya," pamit Lea menunjuk bangunan di belakangnya. "Thanks buat traktirannya. Dah."

Lea berbalik dan membuka kunci gerbang.

"Gitu doang?"

Senyum malu-malu mengembang dari bibir Lea. Sambil menahan senyum yang sudah pasti sulit untuk ditahan, Lea kembali menghadap Djuan.

"And then?"

Dari tempatnya, Djuan pun tersenyum aneh tiba-tiba. Bahu lelaki itu kemudian terangkat naik.

"Oke saya balik," pamit Djuan mengangkat tangan kanannya dan tersenyum makin lebar. "Malam Lea. Have a nice dream."

"Malam."

"Satu lagi, salam buat Ratu Inggris dari saya."

"Okay!"

Baru beberapa detik Djuan berbalik dan pergi dari sana, Lea memiringkan tubuhnya ke arah gang. Cengiran di bibirnya bahkan sudah berubah menjadi kikikan mengerikan. Sesekali matanya dia picingkan untuk mengamati sosok Djuan yang berjalan melewati gang menuju jalanan di depan.

Kepala Lea lantas mendongak ke atas, bulan terang benderang malam ini. Seolah ingin ikut menyapanya ceria dari atas sana. Lea merona, dia merasa kembali cerah hari ini.

***

Selain Car Free Day di beberapa tempat, tidak ada yang berbeda dengan Jakarta di hari Minggu. Hanya sedikit macet, sedikit berisik, dan serba sedikit lainnya. Namun, hari ini berbeda bagi Lea. Apalagi jika bukan karena kehadiran sosok si Barista ganteng made in Basque, yang duduk pada kursi pengemudi di sebelahnya.

Bila sehari-hari Lea sering melihat Djuan memakai kemeja, maka saat ini lelaki itu jadi lebih menarik dipandang ketika hanya mengenakan kaus dilapisi kemeja polos dan celana pendek denim. Rambut yang biasanya on point dengan pomade milik Djuan pun terlihat loyo dan turun menutupi area jidat. Terlihat lebih natural.

"Kita jalan agak jauh enggak apa-apa, kan?" tanya Djuan membelokan mobilnya ke salah satu gedung di daerah Glodok. "Udah hampir jam sembilan, jadi agak susah cari parkir."

"It's okay."

Lea menggantungkan kamera ke leher dan tidak lupa mengenakan beanie merah marun untuk melindungi kepalanya dari panas Jakarta yang kurang ajar. Padahal belum tengah hari.

"Tempatnya nanti masuk ke Gang Gloria," terang Djuan berjalan di depan dengan Lea terlihat kerepotan menghindari beberapa orang di trotoar. "Tapi kalau sekarang udah ganti nama jadi Jalan Pintu Besar Selatan III."

Djuan tiba-tiba berhenti melangkah, kemudian tanpa permisi menggenggam tangan Lea dan membawa tubuh perempuan itu bergerak lebih cepat menyusuri trotoar, yang penuh dengan manusia berlalu-lalang.

"Kamu sering ke sini?" tanya Lea yang pipinya mulai panas, bisa jadi karena terik matahari di atas sana.

"Beberapa kali iya. Karena di daerah ini banyak kuliner enak, kebanyakan non-halal. Tapi kalau kamu mau usaha dikit buat tanya, pasti nemu," terang Djuan menoleh ke belakang. "Apalagi di pujasera ujung gang Gloria. Kamu harus coba Kari Lam nya!"

Seperti bocah yang baru pertama kali pergi ke Dunia Fantasi, Lea buru-buru melepaskan diri dari Djuan dan berkeliling memotret sana-sini begitu tiba di ujung gang. Penjaja makanan di sepanjang sisi gang Gloria memaksa tangannya untuk segera membidik daerah itu.

Selain itu, kesan pecinan yang kuat ditambah bangunan tua khas Belanda sepanjang selasar gang pagi itu, membawa hawa berbeda di benak Lea. Seperti menemukan potongan Batavia lama, yang sayang untuk dilewatkan.

"Katanya kamu pernah ke sini?" sindir Djuan berkacak pinggang di sebelah Lea.

"Kan saya udah bilang kalau saya kesiangan ke sini, dan waktu itu enggak seramai hari ini."

"Masih lama?" decak Djuan melipat tangannya ke dada mengamati Lea. "Udah haus, kan? Yuk!"

"Bentar...." rengek Lea ketika lengannya ditarik paksa oleh Djuan dengan semena-mena. "Pemaksaan deh!"

Djuan tanpa peduli terkekeh kegirangan dengan tangan terus menarik Lea mengikuti dirinya.

Sementara Lea masih memberengut sambil mengawasi Djuan. Alih-alih merasa bersalah, sunggingan senyum lebar malah terbit dari bibir lelaki itu tatkala memandangi plang nama tua bertuliskan Es Kopi Tak Kie.

Kesan klasik bahkan makin terasa saat kaki Lea memasuki bagian dalam kedai. Kursi-kursi kayu tua, poster yang telah menguning dan dibingkai rapi pada dinding di kanan-kiri, serta beberapa foto Pembesar yang pernah mampir minum kopi di sini. Bahkan, seorang Presiden pun pernah duduk ngopi di kedai ini.

"Mau yang campur susu atau polos? Tambah es?"

"Es kopi susu," jawab Lea menghentikan observasinya dari ruangan kedai yang ramai siang ini ke arah wajah Djuan.

Antiknya suasana kedai seperti membawa Lea mengendarai mesin waktu. Tiap detail di dalamnya pun seperti membaca surat cinta yang sudah lama terkubur di dalam kotak perhiasan tua milik nenek sewaktu gadis. Menegangkan dan terasa ingin terus menggali lebih dalam lagi tiap sejarah dan kenangan di masa itu.

Djuan yang baru kembali dari memesan kopi kepada barista di sana, mengamati Lea dengan tatapan aneh.

"Kamu kenapa?"

"Menarik."

"Menarik?"

"Tempat ini. Kayak punya kenangan yang selalu siap buat dibagi."

"Kamu pasti bakal lebih takjub lagi kalau ngobrol sama yang punya. Sayangnya beliau lagi pergi keluar. Padahal kalau beliau lagi di sini asyik banget kalau diajak ngobrol, kayak lagi ngobrol sama kakek sendiri."

Sambil sesekali mengambil gambar, Lea mengangguk. Menanggapi keterangan dari Djuan.

"Mau tahu enggak kenapa disebut Es Kopi Tak Kie?"

"Emang kenapa?" tanya Lea balik selagi dia membantu barista yang membawakan kopi mereka secara langsung.

"Kata yang punya Tak itu artinya yang bijaksana dan sederhana, sedangkan Kie artinya mudah diingat orang," terang Djuan menyesap kopi hitam dari cangkir model lama di atas meja. "Bisa jadi, dari dulu yang punya mau kedai ini tetap membumi dan bisa dinikmati semua kalangan, tetapi terus diingat orang."

"Romantis," gumam Lea membiarkan matanya bebas mengamati pria tua yang duduk pada meja di sebelah mereka. Sejenak dia teringat Kuntjoro. Apalagi gaya keduanya yang sama-sama tengil. Bisa jadi seorang pria akan makin tidak kenal umur bila semakin uzur.

"Romantis?"

Kepala Lea naik-turun membenarkan. "Tanpa wifi, tanpa interior yang modern, dan hanya ada dua menu kopi di dalam kedai sederhana. Entah kenapa kesan intimnya buat saya ngerasa jatuh cinta."

Djuan tertawa samar. "Agak aneh dengar kata-kata sepuitis itu dari mulut kamu."

"Kamu ngeledek saya?"

"Sorry." Djuan mengangkat bahunya dengan senyum tersungging. "Tapi Le, sayang banget enggak sih jalanan Jakarta di luar sana justru kebalikannya?"

"Maksudnya?"

"Itu tadi. Orang-orang di luar sana terus bergerak enggak kenal waktu. Seolah momen itu sesuatu yang bisa mereka dapat kalau mereka terus gerak," kata Djuan memainkan cangkir kopinya. "Padahal momen itu bukan sesuatu yang harus kita kejar, tapi apa yang bisa kita nikmatin sekarang. Kayak di sini, ngopi sambil ngobrol cantik."

Lea mengangkat kedua tangannya dan bertepuk tangan pelan. "Wow! Are you the Descrates wannabe?"

"Sekarang siapa yang ngeselin?"

Bibir Lea bergetar menahan tawa. Kedua matanya kini diam di satu titik, wajah Djuan. Pasalnya perubahan kecil yang lelaki itu lakukan saat menikmati kopi menarik untuk diamati. Seperti kala alis lelaki itu yang naik tinggi untuk menyesap kopi di cangkirnya. Atau saat bibirnya mengecap dengan muka serius tatkala menganalisa kopi hitam yang tinggal setengah itu.

"Udah siap jalan lagi?" Djuan mendongak dengan senyum khasnya yang serupa mentari.

Jelas, Lea terkesiap. Buru-buru dia ambil kameranya dan membidik asal ke segala arah. "Terserah."

***

TBC


Acuy'c note :

Sorry ya dear, Kamis enggak sempet update soalnya minggu ini lelah pake banget! Buat yang follow IG Cuy pasti tahu kenapa... hehehehe... Doakan aja semoga ilmu yang didapat bisa bermanfaat. Enggak muluk-muluk buat dunia, tetapi seenggaknya buat diri sendiri dan orang-orang di sekitar Cuy.

Sekali lagi terima kasih buat yang udah nanyain mulu dari kemarin. Sampai ketemu di part depan. #PelukJauh

Jangan lupa cek lagu yang lain juga di :

1. inag2711 : If I die young dari lagu If I Die young - The Band Perry (setiap Senin & Kamis)

2. IndahHanaco : Despacito dari lagu Despacito - Luis Fonsi (setiap Selasa & Jumat)

3. pramyths : The Girl from Yesterday dari lagu The Girl from Yesterday - The Eagles (setiap Rabu & Sabtu)

4. mooseboo : Midnight Tea dari lagu Juwita Malam - Ismail Marzuki (setiap Kamis & Minggu)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top