Tea 1. Kisah dari Selatan Jakarta

-

-

Ijinkan hamba menutur sebuah cerita

Yang terpenggal di selatan Jakarta

Bukan gegap gempita, serta baik buruk sarana

Tiada angan hampa penuh peluh ataupun nestapa

- White Shoes & The Couple Company -

-

Senyum mengembang dari bibir seorang perempuan saat menemukan geng kantornya sudah bergerombol pada salah satu meja di Atrium Terrace. Pujasera bertingkat dua di tengah-tengah gedung perkantoran Gatot Subroto, yang sialnya selalu ramai saat makan siang.

Bukan hal aneh, karena di area ini banyak berkumpul perusahaan dengan berbagai jenis bisnis, dari yang katanya unicorn sampai level kroco. Ada stasiun televisi, perbankan, digital advertising, fintech company, bahkan law firm menumpuk dalam gedung-gedung bertingkat dan mengungkung area pujasera ini. Tentunya dengan jumlah karyawan yang tidak sedikit.

Lea mengikat rambut sebahunya seraya menarik kursi dan ikut duduk di sana.

"Lo ditolak lagi Nggi?" tanya Disa, bagian personalia radio Fermata. Perempuan berumur paling tua di antara mereka sampai dijuluki Bu RT. Sebab bibirnya memang terkenal cukup sadis bila berkomentar.

Lelaki yang bergaya ala Fiersa Besari tetapi kelebihan jumlah jenggot itu, mengangguk pasrah. Ini sudah ketiga kalinya Anggi gagal penjajakan. Menurut Disa, mungkin gara-gara nama lelaki itu kurang macho.

Anggi. Sekali sebut orang pasti mengira bila itu nama perempuan manis berambut ikal, bukan lelaki jarang mandi yang selalu berpenampilan asal-asalan. Disa bahkan berkali-kali menyarankan lelaki itu untuk menganti nama dan mengadakan syukuran, dengan bubur merah dan putih. Dasar bibir emak-emak!

"Lo kan laki, masa gitu aja galau. Gimana mereka," tambah Disa melirik tiga orang perempuan, yang salah satunya buru-buru menekuri makan siangnya.

Anggi si penyiar magang di radio mereka itu, menahan senyum geli. Antara takut kena semprot senior atau terbahak karena faktanya memang sekejam itu.

Vey salah satu terdakwa, menggaruk rambut pendeknya dan melirik Disa dengan tatapan malas. "Ya udah lah, dikira nyari jodoh kayak lomba lari kali, Mbak. Jodoh jangan dikejar yang ada makin kabur entar."

"Bukan gitu, Vey. Lo lihat di sana?" tunjuk Disa kepada gerombolan lelaki berkemeja rapi, dengan celana bahan hitam. Ditambah sepasang sepatu pantofel mengkilap di kaki mereka. "Gue yakin cuma berapa biji doang yang belum taken. Kalau pun belum pasti udah ada yang mepetin. Jadi, kalau mau yang berkualitas atas, lo juga kudu mau usaha dong."

"Bukan tipe gue?!" tandas Vey cepat.

"Bohong banget. Kemarin bukannya lo berebut laki di grup sama si Bona."

Bonita si terdakwa kedua yang memiliki rambut lurus dan bergaya paling feminin di antara mereka, buru-buru menelan makanannya dan menggeleng cepat.

"Bon, terus gimana cowok yang kemarin? Jadi masuk?" bisik Lea kepada Bonita di antara debat panas antara Disa dan Vey, dengan Anggi si penonton VIP.

"Enggak jadi. Kata Mas Ares kurang oke."

Kepala Lea mengangguk. Berarti pekerjaannya masih harus langsung berhubungan dengan Ares sementara belum ada yang mengisi posisi Program Koordinator.

"Cowok enak. Makin mapan, cewek langsung berjejer dari barat ke timur. Nah, cewek makin punya karir cowok malah kabur. Jadi, jangan mikirin kerjaan melulu, pada cari cowok sana!"

Debat kusir di meja mendadak makin liar. Lea meringis sambil saling lirik dengan Bonita dan Anggi. Terkadang, Disa si Mamah muda ini justru lebih bawel ketimbang orang tuanya perihal jodoh. Sedangkan Vey si Keras kepala, tentunya tidak pernah mau kalah.

"Gue pesan makan dulu deh," pamit Lea yang telinganya mulai berdenging sambil mencomot gorengan di piring Anggi, yang cuma dapat pasrah.

Tatapan Lea berputar memandangi area pujasera. Beragam makanan dari mulai pecel ayam, bakso, nasi padang, sampai warung berjenis prasmanan berjejer rapi dari kios-kios di sisi area pujasera.

Langit-langitnya yang tinggi dan semi terbuka, membuat udara panas Jakarta bertiup samar-samar ke dalam. Kemudian ditambah padatnya pengunjung di waktu makan siang ini, tentu membuat keringat Lea mengucur diam-diam.

"Siang, Lea."

Lea yang berdiri di depan penjual mie ayam, praktis menoleh ke kiri. Senyumnya mengembang ke arah Pak Kun atau Kuntjoro. Pria berumur di akhir enam puluhan, direktur utama tempat dirinya bekerja. Pria itu tersenyum sambil masih berdiri di tempat membawa sepiring nasi bercampur lauk.

"Script yang kemarin udah beres, Le?"

"Udah, Pak."

"Kamu langsung kasih Ares ya. Terus di pantry, saya udah taruh oleh-oleh buat kalian. Nanti tolong kamu bagi-bagi ke yang lain. Jangan lupa, oke!"

"Siap, Pak Bos."

"Kalau gitu saya cari tempat duduk dulu, udah laper. Duluan, Le."

Lea mengangguk. Diam-diam dia mengamati sosok Kuntjoro yang mulai menjauh. Jujur, selama lima tahun dia bekerja sebagai Creative Asistent di beberapa industri, baru di radio ini Lea menemukan atasan sebaik dan senyentrik Kuntjoro.

Bayangkan saja. Dengan rambut yang seratus persen sudah memutih dan keriput di mana-mana, Kuntjoro tidak pernah absen datang ke kantor dengan mengendarai Vespa VBB biru tua keluaran 1962.

Tidak hanya itu, baju yang dikenakan sehari-hari pun tidak kalah nyentrik. Kemeja lengan pendek bermotif dengan warna terang dan celana bahan pendek. Kadang kala bila sedang menemui klien, celana bahan panjang yang menjadi pilihan Kuntjoro.

Selain itu, hampir setiap hari ada saja kue atau camilan yang beliau bawa untuk para pegawai. Kemarin saja, tiga kotak martabak manis Kuntjoro sediakan untuk menjadi teman siaran bagi mereka yang mengisi program malam.

Padahal bila dipikir-pikir, jarang rasanya seorang direktur utama datang nyaris setiap hari, paling banter hanya mengunjungi sesekali. Itupun sekadar lewat untuk mengontrol bisnis. Tidak aneh '

rasanya kalau Kuntjoro menjadi idola di kantor.

Sehari saja tidak ada Vespa antik beliau di antara deretan BMW atau Lexus mengkilap pada tempat parkir VIP di depan lobi, para karyawan pasti bertanya-tanya. Kadang kala Lea jadi rindu dan ingin cepat-cepat pulang kampung untuk menemui kedua orang tuanya bila melihat Kuntjoro. Pak Bos idola bersama.

***

Tok! Tok! Tok!

"Leha! Leha! Leha!"

Lea yang masih bergelung di kontrakannya, terbangun malas. Dia paham betul siapa orang yang tengah mengetuk pintu kontrakannya tanpa perasaan itu. Setengah hati, dia beranjak dan melangkah gontai ke depan pintu.

Kondisi kontrakannya yang berantakan, membuat dia sesekali harus menjaga keseimbanagn akibat menginjak barang di atas lantai. Entah itu pakaian kotor ataupun berkas-berkas yang berserakan tidak keruan.

"Kenapa Bu?" tanya Lea membuka pintu depan dengan kaus dan celana tidur masih melekat di tubuhnya.

"Eh, Leha. Temen lu yang di sebelah ke mana?"

"Lea, Bu," koreksi Lea kepada wanita bertubuh sintal, yang menggunakan daster batik dengan rol rambut masih terpasang. Bu Dian, si Pemilik Kontrakan enam pintu ini.

"Udah sama aja, Leha kek Lea. Itu yang ngontrak di sebelah lu ke mana?"

"Udah berangkat kerja kali. Emang kenapa, Bu?"

Dian bersidekap, sementara matanya menyipit penuh emosi. "Kasih tahu dia buat bayar kontrakan. Udah dua bulan nunggak, enggak punya malu apa dia."

"Kenapa enggak Ibu yang bilang langsung aja sih? Saya aja jarang ketemu sama dia."

"Kan lu yang sebelahan sama dia, Leha. Masa Ibu kudu naik-turun tangga buat nagih dia. Syukur-syukur ada kalau—"

Lea menguap lebar. Ceramah dari Dian pagi ini, membuat semangatnya hilang tidak bersisa. Dengan mata masih menahan kantuk, Lea mengangguk. Sesekali cepat, sisanya setengah hati. Sebab sejujurnya ucapan Dian hanya angin lalu di telinga Lea.

Lea bersyukur dan segera menutup pintu kontrakan ketika wanita tadi akhirnya pergi dari sana. Dia kemudian mendekati kandang kecil berwarna merah muda di sebelah jendela.

Senyum tipis yang memunculkan sepasang lesung pipi milik Lea terlihat ketika dia melihat Ellisabeth tertidur nyenyak dengan posisi telentang.

"Morning. Elli," sapa Lea kepada hamster betina bulat yang dia beri nama Ellisabeth. Dengan harapan nasib si hamster bakal seberuntung ratu Inggris itu.

Lea melanjutkan langkahnya untuk membuka jendela. Sambil merenggangkan tubuhnya, Lea sesekali menarik nafas panjang dengan tatapan mengamati kontrakan sederhana miliknya. Kontrakan yang terdiri dari kasur berukuran single, dapur ala kadarnya, lemari kayu, meja kerja, cermin, televisi 21 inch, dan rak berisi puluhan buku di sebelah kandang Elli.

Kontrakan dengan kamar mandi di dalam ini bisa dibilang cukup layak pakai. Meskipun sebagian dinding catnya sudah mengelupas, sementara bagian yang lain menghitam akibat jamur dari rembesan air hujan.

Sudah kesekian kali Lea memang berniat pindah, tetapi tidak ada yang lebih murah dan dekat dengan kantor seperti di sini. Jakarta memang cukup tega rupanya.

Udara pagi langsung menyambut Lea dari arah jendela yang terbuka. Dari balik jendela, dia melihat orang-orang mulai melakukan kegiatannya dari gang-gang sempit yang dihimpit rumah warga. Gerobak-gerobak penjual makanan bahkan terlihat keluar dari peraduan, siap menjelajah kota demi mencari sesuap nasi.

Kontrakan Lea yang berada di lantai dua sebenarnya lumayan memberikan pemandangan langit. Walaupun seringkali harus terkontaminasi dengan dalaman, bra, hingga kolor tetangga seberang yang dijemur di balkon-balkon sederhana rumah mereka.

Setelah puas melamun, Lea beranjak menuju sudut ruangan untuk membuat kopi. Pekatnya kafein sepertinya akan cukup membantu paginya lebih semangat.

"Morning Jakarta," sapa Lea, sebelum kemudian kembali sibuk membuka laptopnya, menyelesaikan hobi yang tertunda semalam. Hobi di luar pekerjaannya.

Podcast #13 Midnight Tea-Tahalea.

Tulis Lea menyimpan pekerjaannya semalam pada aplikasi Anchor.

***

TBC



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top