9. Plot Twist
-
-
Aroma kopi ditambah manisnya bau cookies tercium dari kafe kecil pada gedung perkantoran di Jakarta Pusat. Sepasang mata tajam milik Senin beralih dari piringnya kepada sang kekasih. Lewat tatapannya, dia mengawasi gelagat Lubna yang terus memainkan cupcake di piring sejak beberapa menit yang lalu.
"Enggak dihabisin?" tanya Senin coba membuka obrolan.
"Udah makan di tempat meeting," jawab Lubna dengan bibir dipaksa tersenyum. "Ibu gimana kabar?"
"Baik, kamu kapan lagi mau main ke rumah?" jawab Senin meletakkan sendok dan garpu ke atas piring yang sudah kosong. Panasnya Jakarta membuat lelaki itu sedikit menyipit, ketika tanpa sengaja menatap lobi gedung kantornya dari balik jendela.
"Mas, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Lubna sambil menggigit bibir bawahnya gelisah.
Kedua alis Senin terangkat tinggi-tinggi. "Tanya apa?"
Sebelum menjawab, Lubna menyeruput lemon tea dari gelasnya hingga habis. Dia memang sengaja mengajak Senin untuk makan siang hari ini. Selain karena dia baru saja selesai meeting dengan agen penerbitan di Thamrin, Lubna berniat menanyakan perihal telepon dari perempuan itu tempo hari.
Sedikit ragu, Lubna menatap Senin yang kebingungan di kursinya. Bahkan kedua lengan Senin yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu sudah terlipat rapi di atas meja.
"Soal Am--"
Belum sempat Lubna mengutarakan maksudnya, dua orang perempuan dengan dandanan mencolok dan seorang lelaki tersenyum dari arah pintu kafe kepada Senin.
"Tumben ada yang makan siang berdua," kelakar lelaki yang bernama Harry tersenyum kepada Lubna.
"Kebetulan tadi habis meeting di daerah sini," jawab Lubna tersenyum tipis.
"Kita boleh gabung kan?" tanya perempuan dengan bibir paling merah duduk di sebelah Senin. "Kenalin aku Uta dan ini Mitha. Ceweknya Pak Sena ya?"
Lubna menyambut uluran tangan rekan kerja Senin dengan senyum seadanya.
"Kita makan di Kafe depan aja, yuk!" kata Harry mencolek lengan lengan Uta meminta perempuan itu untuk sedikit membaca keadaan.
"Loh kenapa? Makan di sini aja. Kita udah mau kelar kok."
Lubna melempar tatapannya keluar. Dadanya mendadak gemas mendengar ucapan Senin barusan. Entah mungkin karena lelaki itu kurang peka, atau memang sengaja melarikan diri dari pertanyaan Lubna.
"Serius boleh nih?" tanya Harry memastikan.
Senin mengangguk pasti, membuat Lubna makin jengkel setengah mati.
Lantas lucunya, tanpa kenal malu ketiga orang ini benar-benar serius bergabung satu meja dengan mereka. Lubna berkali-kali menghela nafas, coba memberikan kode kepada Senin yang justru terus berbicara soal transmitter, terminal, dan bermacam obrolan yang tidak Lubna pahami.
"Mas aku duluan ya, jam makan siang udah mau habis. Sebentar lagi pasti dicari Mbak Monik," pamit Lubna membuat obrolan di meja itu terhenti.
"Mau aku antar ke depan?" tanya Senin membuat Lubna makin jengkel.
Cepat-cepat Lubna menggeleng. "Saya duluan ya. Permisi," pamit perempuan itu menarik tasnya dan beranjak pergi dari sana. Sudah tidak peduli dengan tatapan mata ketiga rekan kerja Senin.
Sesampainya di depan lobi, Lubna menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya terasa pening, akibat menahan rasa jengkel ditambah udara panas yang mendadak menyambutnya dari luar lobi.
"Kamu kenapa sih?"
"Enggak apa-apa," jawab Lubna cepat ketika suara berat Senin berada di dekatnya.
"Kamu enggak suka mereka gabung bareng kita?"
Ekor mata Lubna bergerak ke arah Senin. Entah teori dari mana Senin justru berspekulasi seperti itu.
"Bukan gitu. Tapi Mbak Monik udah minta aku buat balik ke kantor," bohong Lubna dengan nada datar.
Senin menggaruk tengkuknya, lantas mengangguk paham. "Mau aku panggilin taksi?"
"Enggak usah aku udah pesen online tadi," jawab Lubna lagi-lagi dengan nada kesal. "Aku balik ya, dah."
Tangan Senin yang akan menyentuh puncak kepala Lubna menggantung di udara, kala perempuan itu dengan cueknya pergi dari sana.
Sambil memandangi punggung Lubna, Senin mendesah pelan. Terkadang dia sulit memahami tingkah Lubna yang seperti ini. Serba salah.
"Halo, Gal. Tadi aku dikabarin Mas Bimo dari toko buku yang di Cikini. Dia minta meet up hari ini," kata Lubna menatap jalanan dari balik jendela mobil yang terbuka setengah. "Bisa tolong handle kerjaan aku yang di kantor?"
"Oke, thanks."
"Tumben lo ajak gue pergi jam kerja kayak gini?" tanya seorang lelaki berambut ungu dari balik kemudi.
"Gue ada schedule weekend ini, makanya kita jalan hari ini aja." Bola mata Lubna bergerak sesaat, melirik Janus dari ujung kaki ke ujung kepala, kemudian kembali diam menatap keluar mobil.
"Jutek banget sih. Lagi ada masalah di kantor?" decak Janus sebal.
"Bukan urusan lo!"
Janus mengedik. Tangan kiri lelaki itu mengutak-atik radio di dashboard. Setelah mencari channel yang sesuai. Sebuah lagu pun mengalun, menghapus kesan sepi dari mobil kuning itu.
Mobil yang dikendari Janus melambat dan berhenti di tempat parkir gedung bertingkat. Lubna yang melihat Janus keluar dari mobil, ikut turun dan mengekor di belakang.
"Kita mau ke mana?"
"Lihat aja nanti," kata Janus terus melangkah memasuki gedung yang juga dipadati oleh orang-orang yang berlalu lalang.
"Enggak ada yang serem-serem lagi kan?" tanya Lubna curiga.
Janus terkekeh geli di samping Lubna. Perempuan itu mendecih lantas memperhatikan orang-orang di sana, yang kebanyakan dari mereka adalah gerombolan anak zaman now.
Wajah Lubna makin masam bercampur geli, ketika beberapa perempuan di antara rombongan bebek itu saling berbisik sambil memandangi Janus bak ibu-ibu yang memandangi barang diskonan. Sedangkan lelaki yang menggunakan celana jin sobek kebesarannya itu, terlihat sok cuek dengan tatapan tidak pernah beralih dari ponsel.
"Sok ganteng banget sih," gumam Lubna geli pada dirinya sendiri.
"Kenapa?" tanya Janus memasukkan ponsel ke saku celana, lantas mengerling iseng di sebelahnya. Lubna buru-buru menggeleng malas dan melangkah mendahului.
Sampai akhirnya mereka tiba di ruangan berlangit-langit tinggi nan luas. Sebuah coffee shop terlihat di sebelah kanan, sementara di kiri terlihat antrian yang cukup panjang pada loket penjualan tiket.
Tak ketinggalan sebuah banner bertuliskan Contemporary Art Gallery ditulis besar-besar di samping loket dengan warna mencolok. Seakan-akan sengaja mengundang semua mata untuk fokus kepadanya.
Setelah mengantri sekitar lima belas menit, tangan Janus menggantung di depan wajah Lubna. Lebih tepatnya menengadah. Lubna mendengkus. Dengan setengah hati, perempuan itu mengambil uang dari dompet dan menyerahkannya ke tangan Janus.
"Enggak bisa apa kita jalan ke tempat-tempat yang gratis?" gerutu Lubna menyerahkan uang seratus ribu ke tangan Janus.
Masih tidak menjawab, Janus memberikan kode menggunakan kepala agar Lubna mengikuti dirinya kala dua buah tiket sudah berada di tangannya.
Sampai di depan pintu masuk, lagi-lagi Lubna melihat orang-orang sudah berjejer antri. Bibir perempuan itu menekuk keheranan.
Lubna merasa ada yang janggal di sini. Lantaran sejak kapan museum instalasi seni bisa seramai ini. Sebab yang Lubna tahu, museum seni di Indonesia masih kurang peminat.
Bukan karena kurang mengapresiasi, tapi konten-konten museum memang kebanyakan sulit dipahami, dan harga tiketnya lumayan menguras kantung. Tapi sekarang?
Entah. Mungkin karena Lubna yang sudah terlalu sibuk dengan deadline pekerjaan, sehingga dia kurang mengikuti jaman soal dunia permuseuman.
"Kenapa? Aneh lihat kenapa museum bisa ramai?" celetuk Janus seolah dapat membaca ekspresi wajah Lubna. Perempuan itu mengangguk cepat.
"Masuk yuk!" ajak Janus menarik tangan kiri Lubna.
Namun, langkah Janus tertahan. Mata lelaki itu berkedip beberapa kali. Dia merasa ada yang aneh. Sadar akan kesalahannya, dia buru-buru melepaskan tangan Lubna. "Sorry."
Janus buru-buru melangkah ke depan, meninggalkan Lubna yang masih bingung dengan kejadian tadi.
"Dih, aneh banget sih," gerutu Lubna sambil mengedik.
Usai menyerahkan tiket kepada penjaga museum. Keduanya mulai mengamati satu persatu instalasi seni di bagian depan. Dengan kedua tangan dilipat ke dada, Lubna terlihat serius membaca keterangan sebuah lukisan di sana. Lukisan beraliran abstrak dengan warna-warna mencolok.
Jujur. Lubna kurang paham apa maksud seniman itu membuat bentuk seperti ini, tetapi hanya dengan memandangi karya itu, hatinya merasa terhibur entah mengapa. Mungkin ini yang dinamakan nyawa dari sebuah karya seni. Nyawa yang sengaja dihadirkan untuk dirasakan, bukan untuk dimengerti. Seperti halnya cinta.
"Maaf, Mbak bisa geser sebentar enggak?"
Lubna yang masih belum sadar akan keadaan sekelilingnya mengangguk, mundur beberapa langkah tanpa lupa mengerjapkan matanya cepat. Sementara gerombolan anak ABG tadi sudah berisik, berkerumun, dan mengambil foto bersama di tempat Lubna tadi berdiri.
"Kenapa? Bingung?" kekeh Janus yang ternyata sudah berdiri di sebelahnya. "Coba lo lihat sekeliling. Ngerasa ada yang aneh enggak?"
Pandangan Lubna berputar mengelilingi ruangan gallery yang memiliki luas layaknya aula besar, dengan beberapa lukisan tergantung di sepanjang dindingnya. Sementara patung berbagai bentuk berjejer di tengah ruangan.
Anggukan samar muncul. Lubna kini sadar mengapa pengunjung museum bisa membeludak seperti hari ini. Lantaran kebanyakan dari mereka datang bukan untuk menikmati instalasi seni yang ada, melainkan berfoto-foto ria di depan karya seni, yang memang terlihat instagramable.
Lubna berbelok ke kiri kala dia merasakan tubuh Janus mulai beralih ke karya seni yang lain. Lelaki berambut ungu itu terlihat serius memperhatikan satu lukisan berbentuk seorang perempuan. Seolah tengah meresapi tiap goresan cat pada kanvas, serta tabrakan warna yang sengaja diperlihatkan untuk menyelami pemikiran sang seniman.
"Lo tahu. Jatuh cinta terhadap diri sendiri pun, enggak cukup buat menjadikan orang paham sama cinta," kata Janus kembali berjalan, kali ini ke arah lukisan yang didominasi warna merah. "Karena cinta dengan diri sendiri yang berlebihan justru membuat orang sombong, kurang mencintai dan kurang mengapresiasi orang lain."
Lubna tersenyum kecil. Dalam hati dia mengamini kalimat-kalimat Janus, lebih-lebih saat dia melihat sendiri fenomena tersebut di depan kedua matanya.
"Kepopuleran, kekayaan, dan ambisi, itu elemen yang biasanya ada di selfish love," tutur Janus pelan dengan kedua tangan tersimpan rapi di dalam kantung celana. "Cinta berlebih pada diri sendiri yang kadang buat orang lupa kalau justru itu yang buat kita hancur."
"Seperti cerita Narcissus?" tanya Lubna dengan ekor mata melirik lelaki yang tengah menerawang di sebelahnya itu.
Janus mengangguk seraya menatap balik Lubna.
"Yang saking jatuh cintanya pada pantulan diri sendiri di atas sungai, dia pun meninggal di tempat," lanjut Lubna beralih pada patung seorang anak kecil di tengah ruangan.
Pandangan Janus lantas terpaku pada gerombolan perempuan yang terkekeh dan berisik satu meter darinya. Senyum sinis muncul. Apalagi kala melihat salah satu diantara mereka tampak heboh mengambil swafoto tanpa memikirkan ketenangan pengunjung lain.
"Sedih enggak sih lihatnya? Museum yang seharusnya jadi tempat buat nikmatin sebuah karya, justru fungsinya teralihkan jadi tempat foto-foto kayak gitu," gerutu Janus panjang lebar. "Berasa studio foto kali."
"Emosi banget, Nu. Mungkin emang kebijakan museum kali biar generasi millenial mau datang ke sini, makanya dibebasin kayak gini." Lubna mengulum senyum ketika suara gerutuan lelaki itu tertangkap telinganya.
"Mungkin. Tapi tetap aja menurut gue kurang etis kalau semuanya serba dibuat selfie. Melihat diri kita cuma dari foto. Kayak Narcissus enggak sih?"
"Waktu lihat bayangannya dari pantulan sungai?" tanya Lubna memastikan sambil ikut-ikutan memandangi anak muda di sana.
"Buat apa cari pengakuan dari benda mati, sungai bahkan foto. Kalau sebenarnya hati kita yang butuh seseorang, bukan sekadar pengakuan dari seseorang."
"Ceilah, bahasa lo," celetuk Lubna mendorong bahu kanan Janus. "Tapi dengan upload di media sosial, bukannya kita juga dapat pengakuan. Beda dong dari sungai di cerita narcisuss yang diam gitu aja?"
"Pernah baca yang versi the Alchemist?" tanya Janus melangkah ke bagian gallery yang lain. Bagian gallery yang dipenuhi instalasi dari kaca.
Lubna mengangguk. "Soal sungai menangis dan Narcissus yang meninggal karena tenggelam?"
"Betul," jawab Janus berhenti pada sebuah cermin besar yang menunjukan pantulan dirinya dan Lubna. "Lucunya. Si sungai menangis bukan karena Narcissus yang tenggelam, tapi karena dia sedih enggak lagi bisa lihat pantulan dirinya lagi dari mata Narcisuss."
Lubna terkekeh. "Plot twist."
"Udah ngerti maksudnya, kan?" tanya Janus memastikan. "Sama halnya dengan media sosial, mana kita tahu yang kasih like, comment dan follow kita karena emang tulus suka ke kita? Bisa aja mereka sebenernya minta pengakuan juga untuk diri mereka dari kita."
Lubna bertepuk tangan pelan mendengar penjelasan Janus. "Ternyata di luar penampilan lo yang urakan, pemikiran lo dalem juga."
Janus menaik-turunkan alisnya bangga.
"Terus kalau akun Mr.Ipi, apa bedanya dengan mereka?" sindir Lubna dengan senyum mengejek.
Tanpa mengalihkan tatapannya dari pantulan wajah Lubna di cermin, Janus mendengkus. "Justru akun Mr.Ipi ada buat nyadarin orang-orang apatis kayak mereka, yang enggan peduli dengan orang lain."
"Yakin? Bukan karena cari endorse-an juga? Cari duit?" sindir Lubna balik menatap Janus lewat cermin.
"Kalau itu sih nilai plus. Seniman juga makhluk hidup kali, butuh makan, butuh duit," jawab Janus membela diri. "Lagian media sosial itu bisa dibilang kayak museum bagi pekerja seni kayak gue, dan panggung layaknya pemain teater."
Lubna tersenyum tipis. "Jadi, penyaluran ide tujuan utamanya, dengan duit dan popularitas sebagai nilai plus. I get it."
"Sama kayak tujuan lo buat dongeng."
Kepala Lubna bergerak mengamini. Mulut perempuan itu lantas terbuka, hendak menanyakan perihal komentar di postingan Janus tempo hari. Namun, urung lantaran lelaki itu sudah kembali melangkah jauh menuju bagian museum yang lain.
Bagian yang berisi lukisan dan foto-foto hitam putih. Lubna terkekeh menyadari rambut Janus terlihat mencolok di antara warna dinding yang putih ditambah lukisan-lukisan di sana.
"Nu," panggil Lubna mendadak ada ide. "Diem sebentar di situ!"
Janus menoleh. Alisnya menukik dalam. Lubna terkikik, dan tanpa permisi mengambil foto lelaki itu. Lubna terlihat puas melihat hasil bidikannya dari layar ponsel. Sedang Janus terlihat keki, karena firasatnya bilang hasil foto Lubna tidak lebih baik dari foto hitam putih di sini.
"Lihat deh, lihat gaya lo kayak gini berasa lihat patung museum, Nu. Apalagi warna rambut lo nyentrik banget," kelakar Lubna menunjukkan hasil potretnya sembari terkekeh geli.
Bibir Janus bergerak-gerak menahan sebal. Lebih-lebih ekspresi wajahnya seperti mengajak ribut di foto itu. Tanpa memedulikan Lubna, lelaki itu melangkah cepat menuju area selanjutnya.
Lubna yang puas menertawakan Janus, lantas melangkah lebar-lebar menyusul lelaki itu. Akan tetapi, getaran dari ponselnya menahan langkah Lubna sesaat. Raut wajahnya kembali kesal melihat pesan di sana.
My SenSen : Udah sampai kantor?
Lubna : Udah
My SenSen : Kabarin kalau mau balik, nanti aku jemput
Tanpa membalas pesan Senin, Lubna memasukkan ponsel ke kantung celana palazzo-nya dan menyusul Janus.
Seulas senyum tipis muncul mendapati Janus yang berdiskusi dengan petugas museum mengenai sebuah lukisan satu meter darinya.
Sosok Janus dengan mata cokelat berbinar, bibir tipis, dan kemeja kotak-kotaknya sesaat menyita fokus Lubna.
Sadar tengah dijadikan objek pengamatan oleh seseorang, kepala Janus menoleh ke belakang. Kedua alis lelaki itu menyatu, seperti tengah membaca maksud ekspresi Lubna sekarang.
"Kenapa lo?" kekeh Janus keheranan.
Lubna menggeleng gelagapan. Ini aneh.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top