6. Pertama, Penerimaan Terhadap Diri Sendiri
-
-
Kaki-kaki Lubna melangkah mendekati mobil kuning yang terparkir dengan dua botol air mineral di tangan kanan dan kirinya. Beberapa kali terlihat dia menghindari beberapa pedagang asongan dan orang-orang yang berseliweran di area itu. Sementara matahari mulai tergelincir belasan derajat, tanda hari mulai sore.
Dari belakang, kening perempuan itu berkerut mendapati Janus meringis diam-diam sambil memijat lengan kanannya dari kursi pengemudi.
"Tangan lo kenapa?" Lubna menjatuhkan pantatnya ke kursi penumpang seraya menyerahkan sebotol air minum ke arah lelaki itu.
Janus menggeleng.
"Bohong banget," cibir Lubna. "Gue enggak mau tahu ya. Jangan sampai gara-gara ini, lo malah mangkir buat bikin ilustrasi."
Mulut botol di bibir Janus berhenti bergerak. Lelaki itu menoleh. "Tenang aja. Enggak ngaruh sama kerjaan kok. Lagian kalau enggak gini, mana bisa lo ngerasain ada di atas kayak gimana."
Botol di tangan Lubna berpindah ke atas dashboard, mata bulatnya kini beralih kepada Janus. "Lo kenapa sih, kukuh banget mau gue lihat ke atas? Padahal tangan lo kan enggak fit. Gimana kalau tangan lo kram waktu kita di atas tadi? Apa enggak lebih bahaya?!"
Sembari melanjutkan kegiatannya, Janus menatap jauh ke jendela depan. "Nanti juga lo tahu kenapa."
Dengan perut kenyang usai diisi makanan tadi, Lubna merebahkan punggungnya ke sandaran kursi. "Itu... kenapa?" tanya perempuan itu menunjuk tangan Janus.
"Apanya?" tanya Janus gantian menatap Lubna heran. "Ini?" tanya lelaki itu lagi, mengangkat tangan kanannya.
Lubna mengangguk.
"Keserempet sepeda," jawab Janus sangat pelan. Seakan-akan jawaban darinya hanya akan menjadi aib, yang akan membuat dia makin memalukan di mata Lubna.
"Beneran?" Kedua bola mata Lubna membulat. Dia pun terkekeh pelan.
"Orang duduk aja bisa mati kali. Ngeremehin musibah banget lagi." Gumaman Janus terdengar kesal sampai ke telinga Lubna.
"Ya maksud gue enggak gitu juga," celetuk Lubna memberikan pembelaan.
Sesaat keduanya terdiam. Suara obrolan dari orang-orang, dan penjaja makanan di area parkir, ditambah bising kendaraan bermotor terdengar. Seolah menggantikan suara-suara yang tengah tertahan dalam otak dua makhluk di mobil kuning itu.
Sampai sosok Jaka muncul di sebelah Janus sambil mengangkat barang-barang mereka, yang dititipkan saat tandem paralayang tadi, tinggi-tinggi.
Janus keluar dari dalam mobil membantu Jaka memindahkan barang-barang mereka ke dalam.
"Mau langsung balik? Enggak nginep aja? Bentar lagi jalanan Puncak ditutup loh."
Lubna menggeleng dan tersenyum sopan.
"Enggak Bang. Nanti aja, kalau lagi sendiri gue pasti nginep di sini," terang Janus menyerahkan tas Lubna kepada pemiliknya.
"Bukannya berdua malah lebih asyik, Bi?" kekeh Jaka menyikut lengan Janus iseng.
Buru-buru Janus menggeleng.
"Kita cuma partner kerja kok, Bang. Enggak kayak yang Abang pikirin," koreksi Lubna menggerakkan kedua tangannya ke depan.
"Oh, partner... Kok sampai diajak main paralayang berdua?" tanya Jaka lagi, kini meletakkan tangan kanannya ke bahu Janus. "Udah butuh partner lagi sekarang, Bi?"
Janus terkekeh miris. "Justru tandem tadi bagian dari kerjaan gue, Bang. Lagian biar gimana pun, anak-anak gue kan kudu makan."
Alis Lubna terangkat tinggi-tinggi. "Anak?"
"Kucing," jawab Janus sebal.
Sementara Lubna mengedik tak peduli.
"Oke, deh kalau gitu. Nanti kabarin aja kalau lo mau ke sini lagi." Jaka menepuk bahu Janus. "Balik gih, keburu jalanan ke bawah ditutup."
"Bentar!" seru Janus teringat sesuatu. "Untuk bayar tandem tadi?"
"Udah enggak usah. Anggep aja gue bantu lo. Gue cabut ya!" Jaka mengangkat tangannya, pamit kepada Lubna.
Dari dalam mobil, Lubna melihat Janus menggeleng, lelaki itu bahkan menghadang langkah Jaka. Setelah beberapa kali keduanya berdebat, Lubna melihat Jaka mengangguk.
Kurang dari lima menit, lelaki berambut ungu itu mendekat dan berhenti di samping kiri Lubna.
"Nih," kata Janus menyerahkan secarik kertas kepada Lubna.
Perempuan itu terbengong-bengong, masih belum paham maksud dari Janus.
Namun, hanya sesaat lantaran kedua bola mata Lubna hampir keluar kala kertas di tangan Janus sudah berpindah ke tangannya.
"Maksudnya apaan nih?" seru Lubna kaget, melihat angka yang tertera di sana.
Janus menggaruk rambutnya yang tak gatal. Sambil melirik ke arah Jaka, lelaki itu menunduk, mendekatkan bibirnya ke telinga Lubna.
"Lo lupa sama surat kontrak kita. Di situ ditulis, biaya selama proses pembuatan karya ini semuanya ditanggung oleh Ibu Lubna Chalid. Is that you?"
Mata Lubna menyipit kesal. Buru-buru dia ambil kembali surat kontrak yang sudah mereka tanda tangani saat di jalan tadi.
Awalnya, Lubna memang sengaja mengirimkan surat kontrak via email agar Janus dapat mempelajari terlebih dahulu poin-poin yang ada di sana.
Namun, dia sama sekali tidak menyangka bila Janus menambahkan satu kalimat lagi di dalam surat kontrak mereka. Bodohnya lagi, Lubna justru mencetak surat kontrak yang dikirim ulang oleh preman ini tanpa dia cek.
Dengan mulut bergerak cepat, dan mengumpat macam-macam. Lubna membuka tasnya mengambil dompet, lantas menyerahkan uang lebih dari setengah juta itu ke tangan Janus.
"Nih, untung aja gue baru ambil duit," gerutu Lubna kesal.
Lelaki itu tersenyum lebar. Kembali berjalan ke arah Jaka, dan menyerahkan uang tadi kepadanya. Lubna melihat Jaka pamit dan menghilang ke tengah kerumunan.
"Dengar! Gue udah keluar duit banyak ya hari ini, dan apa yang gue dapet selain takut? Nothing!" ketus Lubna kesal bukan main. "Sekarang gue tanya, apa hubungannya kata-kata lo waktu di atas dengan jenis cinta yang disebutin di buku itu?"
Janus yang baru saja masuk kembali ke dalam mobil, seketika bungkam. Bibirnya tersenyum tipis.
"Pertama, soal terbang udah gue bilang di awal," terang Janus mulai menyalakan mesin mobil. "Kedua, kayak yang buku lo bilang, cinta enggak cuma soal hubungan pria dan wanita. Tapi juga bisa tentang cinta ke sesama manusia ataupun cinta orang tua kepada anak."
Janus memandang sekilas ke arah Lubna yang tatapannya masih mendelik tajam kepadanya.
"Dan menurut gue. Sebelum lo cinta ke orang lain atau ke siapa pun itu, lo harus cinta sama diri lo sendiri," terang Janus mengarahkan telunjuknya kepada Lubna. "Gimana lo mau menerima orang lain dan berempati sama mereka, kalau lo sendiri malu dengan diri lo sendiri. Penampilan lo, masa lalu lo, atau bahkan pencapaian lo selama ini."
Lubna merasa mulutnya terkunci mendengar penuturan Janus. Hatinya merasa terusik dengan ucapan lelaki disebelahnya.
"Salah satu cara buat tahu hal itu. Saat lo hampir berada di ujung usia, di ujung maut. Seperti waktu kita di atas tadi, bergantung hanya dari tali, dan gue."
Tubuh Lubna menegak. Bahkan dia tanpa sadar sudah menghadap ke arah Janus.
"Lo tahu. Selama hidup, orang selalu takut akan pendapat orang lain, penampilan dia di depan orang lain, dan bagaimana orang lain memandang dia. Dia sampai lupa dengan value dia sendiri as an human being."
Lubna makin membisu. Dari samping, dia melihat wajah Janus yang tampak serius mengungkapkan pendapatnya. Terlihat jomplang dengan penampilan lelaki itu yang lebih terlihat seperti preman.
"Lantas mereka, baru akan melupakan pendapat orang lain setelah dia tua, setelah dia tahu kalau hidup ini cuma sementara dan terlalu sayang kalau enggak menerima diri sendiri," kata Janus mengawasi wajah Lubna.
Tatapan Janus yang seperti itu, sampai-sampai membuat Lubna harus menunduk. Sebisa mungkin kabur dari pupil cokelat milik Janus.
"Terus?"
Helaan nafas panjang terdengar. "Lo tahu Bang Jaka, mungkin enggak banyak orang yang tahu kalau dulunya dia atlet paralayang. Dulu sering banget dia bawa pulang emas, dedikasinya tinggi soal tandem paralayang," kekeh Janus menerawang ke depan.
"Tapi sekitar lima tahun yang lalu, dia kecelakaan waktu mendarat ke bawah. Kakinya patah, sampai sekarang pun masih belum pulih seratus persen."
Otak Lubna berputar, pantas saja dia melihat ada yang aneh dengan cara Jaka berjalan.
"Tapi dia selalu bilang ke gue, kalau memang kita harus gagal hari ini, bukan berarti kita harus terus berada di kegagalan yang sama selamanya. Kita itu manusia, punya akal. Jadi, walau hati kita sakit, jangan sampai otak kita pun ikut sakit," kenang Janus tersenyum miris.
"Dari situ dia mulai mutusin buat pensiun dini. Bantu-bantu di sini, sekaligus jadi pelatih bagi yang minat jadi pilot paralayang."
"Lo udah lama kenal dia?" tanya Lubna penasaran melihat wajah Janus yang berbeda dari biasanya.
"Lumayan. Dan dia yang ajarin gue buat tandem. Karena terkadang orang butuh uji nyali buat tahu kalau diri mereka spesial, dan cukup kuat buat lewatin semua ketakutan kita...," Janus melirik Lubna, "kalau ada kemauan."
"Jadi, hari ini intinya penerimaan terhadap diri sendiri?"
Janus mengangguk cepat tanpa dosa.
Spontan, Lubna terbahak. Dari fajar belum tampak hingga senja siap untuk turun, kemudian sejak dia di atas awan sampai duduk di dalam mobil, hanya ini inti semuanya? Lubna pikir, Janus memang sakit.
"Sebentar gue catet dulu," sela Lubna mengobrak-abrik tasnya mencari buku catatan dan pulpen. "Coba ulang yang tadi lo omongin."
Janus mendecak sebal. "Lupa. Lagian udah jaman modern gini, masih pakai catetan. Rekam pakai handphone bisa kali."
Lubna terdiam. Tubuhnya mematung, sebelum kemudian dia terkekeh geli. Seakan tengah menertawakan kebodohannya sendiri.
"Ya udah yang lo inget aja," kata Lubna mendorong-dorong bahu Janus layaknya anak kecil yang sedang merajuk. "Buru. Lo mau cepet kelar kan?"
Dengkusan jengkel jelas-jelas muncul dari hidung Janus. Setengah hati, dia mulai mendikte tiap kata yang tadi dia utarakan di depan Lubna. Tentu saja, dengan ponsel yang sudah siap di tangan Lubna.
"Terus? Kelanjutan Ipi tadi?" tanya Lubna usai Janus menjelaskan ulang.
Tubuh Janus tiba-tiba condong ke depan tubuh Lubna dengan wajah mengerut menahan sebal. "Kenapa kesannya jadi gue yang bikin cerita ya? Untuk narasi bukannya itu bagian lo? Kalau semua gue yang kerjain, gue mau 80:20."
Telunjuk kanan Lubna teracung ke depan, dan bergerak dari kanan ke kiri. "Enak aja, riset kan gue yang bayarin. Enggak bisa! Lagipula lo udah tanda tangan kontraknya, kan? Dan setahu gue, kontrak yang bermaterai itu sah secara hukum. Sekarang jawab pertanyaan gue."
Janus memelotot kaget. Rasa penyesalan memang selalu datang terlambat. Dia menyesal sudah menandatangani kontrak itu saat beristirahat di jalan tadi. Tapi, bukankah itu gunanya penyesalan? Untuk menjadi kambing hitam atas kegagalan seseorang.
Lubna berdecak kecewa kala tidak mendapatkan respons dari Janus. Bahkan lelaki itu mulai menjalankan mobilnya dan membawa mereka keluar dari area parkir Gunung Mas.
Namun, mulut Lubna terbuka lebar-lebar. Bahkan wajahnya berubah kaget bak lukisan The Scream sekarang. Sepertinya, Lubna terlalu asyik bermain hingga lupa ada tamu yang akan datang hari ini.
"Mati! Kita balik ke Jakarta sekarang!"
"Ini juga mau balik! Bawel banget sih," protes Janus menjalankan mobilnya.
"Kita langsung ke stasiun Gambir aja," kata Lubna memeriksa ponsel di genggamannya.
"Stasiun? Ngapain?"
"Banyak tanya lagi, udah buru!" kata Lubna menepuk-nepuk bahu Janus. "Ada orang yang mesti gue jemput."
"Siapa? Keluarga lo?"
Lubna mengangguk. "Ibu," jawab perempuan itu seraya memeriksa ponselnya.
Satu persatu Lubna buka pesan dari sang calon ibu mertua dan Senin. Dia sedikit bernafas lega, pasalnya Senin memberitahukan bila sang Ibu kemungkinan baru akan tiba pukul setengah delapan malam ini.
"Nyokap lo?" tanya Janus memastikan.
Lubna mengangguk. "Calon. Calon Ibu mertua gue."
Janus terpaku. Matanya mengawasi tubuh Lubna yang sibuk mengetik pesan di ponselnya sekarang. Tanpa disadari lelaki itu tesenyum tipis, dan memilih diam sepanjang perjalanan.
Mulut Lubna hampir lelah merapal berbagai macam doa, agar jadwal kereta sang calon mertua terlambat hari ini.
Perjalanan yang semula terasa jauh bahkan terkesan biasa saja bagi Lubna. Lantaran respons Ibu mertuanya lah yang membuat dia lupa akan semua hal itu.
Jam sudah menunjukan pukul delapan malam ketika Lubna tiba di depan stasiun bersama Janus. Hatinya ketar-ketir sebab kereta sang Ibu mertua sudah tiba sejak setengah jam yang lalu.
Namun, wajahnya seketika cerah melihat wanita di akhir lima puluhan bertubuh langsing, dengan rambut pendeknya berdiri di depan stasiun.
Buru-buru Lubna meminta Janus berhenti. Kemudian tanpa menggubris seruan Janus, Lubna berjalan mendekati Ibunya. Wanita bernama Dini itu langsung menyambut Lubna dengan senyum dan pelukan.
"Maaf ya, Bu. Lubna tadi kejebak macet. Ibu udah lama nunggu?"
"Enggak kok. Cuma setengah jam," kata Dini terdengar sarkas di telinga Lubna.
"Na, itu siapa?"
Kedua alis Lubna terangkat tinggi-tinggi, ketika tangan Dini menunjuk ke belakang tubuhnya. Perasaan perempuan itu bilang, ada yang mencurigakan berdiri di belakangnya.
Benak Lubna berusaha menolak untuk percaya, tetapi mendengar kekehan pelan yang terdengar sumbang di telinga Lubna, dia sepertinya dapat menebak itu siapa.
"Malam Tante."
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top