5. Are you insane?!

-

-

Mobil klasik dengan atap terbuka terparkir di depan pagar apartemen di Jakarta Barat. Angin dingin pelan-pelan berembus, menyebabkan sang pengemudi harus mengeratkan jaket ke tubuh agar tetap hangat.

Tidak kalah mencolok dengan rambut lelaki di balik kemudi, mobil berwarna kuning itu nyatanya berhasil membuat beberapa orang sempat berhenti sesaat. Seakan-akan warna kuningnya membuat otak mereka tersedot ke dunia lain.

Sementara dari balik kemudi, beberapa kali Janus kedapatan menguap lantas menyesap kopi hitam yang dia letakkan di samping kemudi tanpa peduli sekeliling. Tanpa peduli langit gelap yang masih menggantung di atas kepala Janus.

Merasa terganggu, dia lantas mengarahkan lirikan tajam ke arah orang-orang yang berseliweran tiap kali mereka menatap janggal dirinya, terutama pada bagian rambut. Entah apa yang aneh dengan kemasannya hingga membuat Janus ditatap sedemikian rupa seperti itu.

"Sorry, tadi gue baru bangun," sapa seorang perempuan dari arah samping terlihat repot dengan tas dan sweater di kedua tangannya.

Kesan sembap layaknya orang yang baru saja diseret paksa untuk terjaga, tampak jelas dari wajah Lubna. Lebih-lebih sepertinya perempuan itu lupa mengaplikasikan make up di sana, hingga kulitnya terkesan pucat.

Sesaat, Lubna yang baru saja duduk di samping Janus terdiam. Kepalanya berputar hampir 360 derajat memperhatikan interior mobil yang dibawa oleh Janus.

"Serius kita bakal naik ini?"

"Maksudnya?"

"Kalau hujan ditengah jalan gimana?" tanya Lubna spontan meminta penjelasan. "Yakin ini mobil enggak bakal mogok di tengah jalan?" tanya Lubna lagi usai memeriksa dashboard bergaya jadul itu.

Janus menghadapkan tubuhnya ke arah Lubna, tidak lupa dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Kalau hujan ya tinggal tutup aja atapnya lah. Lo pikir mobil gue sebutut itu. Emang kenapa sih?"

"Sorry, maksud gue kan bukan gitu. Lagian gue juga tanya demi keamanan kali." Lubna berdeham pelan, dan mengenakan sweater di atas kaus turtle neck di tubuhnya. "Emang kita mau ke mana sih? Pakai janjian pagi-pagi buta kayak gini?"

Tatapan Janus kembali ke depan. "Lihat aja nanti."

Salah satu alis Janus terangkat naik, lantas mulai menggerakkan persneling hingga membuat mobil itu bergerak membawa tubuh keduanya meninggalkan area apartemen dan menghilang di antara hiruk pikuk pagi hari di kota Jakarta.


Lubna membuka kelopak matanya satu persatu kala mobil yang dia tumpangi sudah berhenti pada salah satu tempat parkir daerah di Puncak, Bogor. Mulutnya terbuka lebar melihat rambut yang acak-acakan dengan wajah berantakan dari kaca spion.

Jangankan sempat bersolek, menyadari dia terlambat bangun saja membuat dia panik bukan main pagi tadi. Lebih-lebih ketika Janus meneleponnya dari depan apartemen.

Melihat Janus yang menghilang dari kursi kemudi, Lubna buru-buru mengambil tas make up, mengelap wajahnya dengan tisu basah, dan mulai mengoleskan beragam obat cantik itu ke sana. Dia tidak mau bila orang-orang melihat dirinya berantakan lagi hari ini, cukup si Kucing gendut saja.

"Ikut gue yuk!"

Kepala Lubna berputar, tangannya yang sedang memoleskan lipstik merah marun menggantung. "Sebentar. Lo bisa lihat kan gue lagi ngapain?"

"Ngapain pakai dandan? Repot banget."

"Lagian lo mau ngajak gue ke mana sih?" tanya Lubna melirik tanah lapang dengan rerimbunan pohon di sekitarnya. Sepintas pikiran negatif pun muncul. "Lo enggak mau macem-macem kan ngajak gue ke tempat aneh begini?"

Janus menggaruk tengkuknya kasar. "Emang gue ngapain mau macem-macem di tempat ramai kayak gini? Sama lo lagi. Kalau pun emang mau macem-macem, mending ke hotel lah. Lebih baik modal dikit daripada masuk angin."

Dengan mata menyipit penuh kesan curiga, Lubna mengikat rambut ikalnya ke atas. Lantas dia membuka pintu mobil dan berdiri di depan Janus, yang sudah menanggalkan jaket tebalnya menyisakan kaos polos dipadukan kemeja tipis abu-abu.

Hanya butuh waktu kurang dari dua puluh menit berjalan kaki ditambah menaiki beberapa tangga, mereka tiba di sebuah dataran tinggi dengan pemandangan cakrawala yang membentang sepanjang mata memandang.

Awan-awan berbagai bentuk berarak di atas bukit hijau pada kanan dan kiri mereka. Kabut tipis pun ikut unjuk kebolehan dengan bergerak dari atas bukit ke bawah. Mengingatkan Lubna akan aliran air terjun.

Namun, Lubna pikir tidak lagi jadi indah bila melongok ke jurang nun jauh di bawah kakinya. Perempuan itu sampai-sampai bergidik ngeri membayangkan bila dirinya harus terhempas ke sana.

Di sisi lain, Janus memperhatikan perempuan yang menggunakan celana jin dan pullover sweater kebesaran itu diam-diam. Angin yang berembus ke arah mereka memainkan rambut-rambut ikal di telinga Lubna beterbangan ke sana dan ke mari. Terlihat menarik.

"Kemarin lo bilang Ipi di dongeng ini siapa?"

Kepala Lubna bergerak ke kanan. "Ipi. Jenderal antartika dari planet Nevinny. Planet yang tidak mengenal yang namanya nilai, semua penghuninya tidak ada yang berbeda, dan memiliki ambisi yang sama untuk terus belajar. Seperti yang kemarin lo bilang, naive. Yang berbeda hanya warna bulu masing-masing."

"Terus?"

"Dia diberi tugas oleh militer planetnya untuk belajar soal emosi, dan dia akhirnya terdampar di bagian terpencil bumi. Bagian yang sulit untuk dijelajah, Razlichny."

Kedua sudut bibir Janus terangkat. Padahal jelas-jelas kemarin perempuan ini yang menolak Ipi untuk menjadi tokoh utama di sini. Lantas sekarang lihat siapa yanga paling bersemangat?

"Kenapa namanya harus Nevinny dan Razlichny? Gue juga sempet lihat nama itu di buku lo kemarin."

"Karena gue suka dua kata itu, dan lagi artinya menurut gue sesuai dengan tujuan kita. Innocent dan different."

"Seorang innocent yang belajar soal perbedaan?" tebak Janus.

Lubna mengangguk cepat.

"Nice," ujar Janus dengan kepala ikut terangguk-angguk.

"Ngomong-ngomong soal buku, balikin buku gue!" todong Lubna membuka telapak tangannya ke depan.

"Sebentar," potong Janus tatkala dua orang lelaki berjalan ke arah mereka.

Lubna memberengut ditinggal seorang diri oleh Janus. Namun, tak lama tatapan Lubna tertumbuk kepada dua orang yang tengah sibuk membuka tali temali dari parasut dan-

Herness?

Lubna cepat-cepat memutar tubuhnya, mengawasi tiap individu di sana. Kedua matanya terbelalak lebar membaca kalimat bertuliskan Bukit Gantole di papan kayu yang sukses menampar kesadaran Lubna.

Lubna menelan ludahnya kasar. Lebih-lebih ketika Janus bersalaman dengan dua orang lelaki yang kerepotan membawa peralatan paralayang. Masih dari tempatnya berdiri, Lubna melihat Janus terkekeh dan mengangguk-angguk di sana. Setelah mengobrol panjang lebar, Janus yang membantu lelaki tadi membawa peralatan, berjalan ke arah Lubna.

"Lu, kenalin. Ini Bang Jaka dan itu Arya, pilot paralayang di sini. Dari semua orang di sini, mereka ini masternya," terang Janus menepuk punggung lelaki di sebelahnya. "Bang, ini Lubna temen gue."

"Jaka," kata lelaki berkulit sawo matang dengan kaos dan celana kargo itu. "Ah, enggak seahli itu kali. Lo mah ngarang aja nih."

"Lubna," ucap Lubna menjabat tangan Jaka dan Arya bergantian.

"Mau sendiri-sendiri?" tanya Jaka tersenyum iseng kepada kedua orang itu. "Atau berdua?"

Mata Janus melirik ke arah Lubna yang ternyata juga mendelik tajam kepadanya. Dan benar saja, tanpa tedeng aling-aling Lubna menarik Janus menjauh dari keramaian, mengabaikan tatapan penuh tanya milik Jaka. Sedangkan Janus dengan pasrah mengikuti ke mana Lubna menarik lengannya.

"Jauh-jauh ke Puncak cuma mau ajak gue naik ini?! Are you insane?!"

Janus mengangkat kedua bahunya, lantas menatap Lubna malas. "Katanya mau buat tokoh lo pilot ufo dari luar angkasa? Untuk dapetin feel-nya lo juga kudu belajar terbang dong."

Lubna mendengkus. "Apa hubungannya dengan tokoh lo bisa terbang, gue juga kudu terbang?! Terus kalau tokoh dicerita gue mati ketabrak mobil, gue juga musti ketabrak gitu? Gila kali."

Mulut Janus menganga lebar, terhipnotis akan mulut cerewet Lubna yang sepertinya bergerak dengan kecepatan cahaya.

"Dan lagi apa hubungannya cinta dengan naik paralayang kayak gini?"

Janus mengernyit, tangan kiri lelaki itu menggaruk pelipisnya pelan. "Nanti juga lo tahu," celetuk Janus mengerling iseng kemudian.

"Atau jangan-jangan lo takut ketinggian?" tebak Janus lagi mengulum senyum lebar. "Sama kucing takut, masa ketinggian juga takut. Payah."

Bibir Lubna menekuk dalam. "Ya udah, gue ikut. Tapi gue enggak mau sendirian ya."

"Gue temenin. Tenang aja."

"Yakin lo bisa?!" tanya Lubna skeptis melirik tangan kanan Janus. "Janji bakalan aman, kan? Gue sama Abangnya aja deh."

"Bisa, percaya sama gue." Janus menggerakkan kedua alisnya turun-naik seraya merapikan rambutnya yang mulai panjang ke belakang.

Setelah sepuluh menit berdebat masalah keamanan, vest kebesaran, tali yang kurang pas, hingga masalah kondisi parasut, Lubna yang sudah menggunakan herness juga helm lantas berdiri kerepotan di depan Janus.

Sementara Janus yang memang sudah terbiasa bermain di sana terlihat santai menarik tali parasut di belakang Lubna, sambil memanggul herness serta menutupi rambut nyentriknya dengan helm.

"Ini harus banget ya, Nu?" tanya Lubna sekali lagi.

Janus tersenyum geli. Masih tanpa kata, dia menarik tubuh Lubna untuk membelakanginya. Suara benda dikaitkan terdengar dari arah belakang Lubna. Perempuan itu lagi-lagi menelan ludah.

Jaka ikut menahan senyum ketika membantu Janus memeriksa keadaan parasut dan tali keamanan keduanya. Lebih-lebih tatkala wajah Lubna yang sepucat kapas tertangkap di matanya.

Setelah dirasa aman dan arah angin pun cukup bagus, Jaka mengacungkan jempolnya ke arah Janus. Lelaki itu mengangguk.

"Dengerin gue. Nanti begitu gue bilang lari. Lo kudu lari, oke!"

Lubna mengangguk cepat.

"Jangan ragu. Jangan pernah berhenti di tempat, apalagi ngambek ditengah jalan."

Meskipun, mulut Lubna gatal ingin mendebat. Nyatanya dia justru memilih menutup mata rapat-rapat. Apalagi melihat batas tebing di depan seolah sudah siap menelan tubuhnya bulat-bulat.

"Kita terbang berdua, dan gue pilot di sini. Jadi, gue minta koordinasi dari lo, oke! Karena bukan cuma lo yang bakal celaka kalau enggak bisa koordinasi."

"Nu," rajuk Lubna masih menutup matanya.

"Sekarang, lari!"

Entah dorongan dari mana, Lubna dengan mata tertutup berlari dibarengi Janus yang menarik parasut menuju ujung tebing. Jantung Lubna terasa ikut jatuh, saat kakinya tak lagi merasakan ada pijakan di bawah. Bahkan saking takutnya, Lubna mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

Sampai satu menit kemudian, Lubna merasakan kakinya yang mengawang di udara mulai terbiasa. Semilir angin yang sejuk memainkan anak-anak rambutnya yang menyumbul dari balik helm. Pelan-pelan Lubna membuka kelopak matanya.

Lubna terdiam. Ekspresi perempuan itu langsung takjub, saat hamparan pepohonan, bukit-bukit hijau, dan vila-vila yang terlihat kecil seperti rumah semut di bawah kakinya.

"Bagus kan?" bisikan Janus di belakang Lubna. Perempuan itu mengangguk.

"Lo sering ke main ke sini?" Sebuah pertanyaan lolos dari bibir Lubna, kala sadar paralayang yang mereka tumpangi bergerak seimbang.

"Dulu."

Kepala Lubna menoleh ke belakang sekilas.

"Sekarang gue mau lo lihat ke sana." Janus menarik breaks paralayangnya, membuat arah benda itu berbelok menuju salah satu bukit paling tinggi.

"Bayangin sebuah ufo bergerak melesat, merobek lapisan awan, dan muncul di tengah-tengah bukit. Itu Ipi. Si makhluk planet Nevinny yang tengah mendapatkan misi untuk mencari tahu rasa dan emosi dari planet lain."

Mata Lubna bergerak mengamati awan bergerombol dari bukit-bukit tinggi nan hijau di sana.

Tiba-tiba, sebuah ufo berwarna merah dengan dua garis hitam seperti pada gambarannya saat bersama Bima muncul. Gerakannya yang cepat, membuat para penghuni daerah antah berantah itu tidak mengetahui keberadaannya.

Lubna semakin menajamkan indera penglihatannya. Perempuan itu tersenyum tipis. Seekor kucing berwarna jingga dengan baju astonotnya tampak tenang menangani konsol-konsol yang berkelap-kelip. Pipi gembul kucing itu bahkan bergerak-gerak seiring gerakan tubuhnya yang kerepotan mengatur arah ufo.

"Tapi," bisik Janus lagi. "Rupanya lapisan bumi itu tidak suka dengan keberadaan benda asing, termasuk ufo milik Ipi. Dan tiba-tiba, akibat gesekan itu badan ufo terbakar. Ufo pun oleng ke arah kanan."

Lubna terbelalak saat merasakan paralayang yang dia kendarai ikut bermanuver ke kanan. Kontan saja, membuat dia agak memekik.

Dalam imajinasi Lubna, Ipi terlihat panik. Wajah kucing itu pucat pasi. Apalagi melihat stalakmit-stalakmit menyambut dirinya di bawah lembah.

Lubna ikut gelisah. Bahkan Janus menangkap buku-buku jari tangan Lubna memutih saking kencangnya memegang tali pengaman.

"Lo tahu, di dalam sana Ipi terlihat takut. Bukan takut jatuh. Tapi dia takut semua yang sudah dia buat selama ini tidak cukup baik dan bermanfaat bagi makhluk planetnya."

Sebuah tegukan air liur terdengar nyaring dari arah Lubna. Sampai-sampai Janus memajukan kepalanya ke depan untuk memastikan itu suara Lubna.

"Dia takut eksistensinya di dunia ini hanya sebatas itu. Dan pada detik itu, akhirnya di sadar. Selama ini bukan sekadar misi yang membuat dia harus hidup di planetnya. Tapi juga kebermanfaatan dan penerimaan terhadap diri sendiri, itulah kunci sebenarnya."

Lubna makin panik saat jarak ufo itu semakin dekat dengan stalakmit-stalakmit itu. "Terus?" tanya Lubna dengan nada khawatir.

Janus tersenyum tipis di belakang Lubna. "Terus," ujar Janus menjeda ucapannya. Suara-suara manusia dari alat komunikasi yang terpasang di pinggang Janus terdengar. Sebuah titik pendaratan terlihat di bawahnya.

"Terus...." Janus berbisik di belakang Lubna. "Kita turun sekarang!"

Mata Lubna mengerjap cepat. Jantungnya kembali memompa dengan ekstra tatkala Janus dengan seenak hati melakukan manuver ke arah titik yang dimaksud. Lantas perlahan ketinggian benda itu mulai berkurang, membawa tubuh keduanya mendarat ke atas rerumputan hijau.

Lubna yang belum siap, mau tidak mau merasakan tubuhnya terguncang keras kala bertubrukan dengan rumput. Untung ada herness yang menjadi bantalan sehingga pantatnya aman dari rasa sakit.

"Gimana? Seru kan?" tanya Janus kala keduanya sudah duduk di atas rumput. Beberapa orang berlari membantu mereka melepaskan parasut.

Lubna dari balik helm yang posisinya sudah tidak tentu, melirik lelaki berambut ungu itu kesal. "Terus? Begitu doang?!"

Janus mengangkat bahunya. "Makan dulu yuk! Laper," ajak lelaki itu membantu Lubna berdiri.

Bibir Janus bergetar menahan tawa, melihat wajah Lubna tertutup helm dengan rambut berantakan. Tanpa membuang waktu, Janus membebaskan kepala Lubna dari helm hingga rambut ikalnya berjatuhan ke arah wajah, makin awut-awutan.

Janus sontak terbahak, lebih-lebih ekspresi Lubna pun tidak kalah berantakan dengan rambut yang menutupi wajahnya. Janus jadi teringat film-film horor yang tidak pernah lagi dia tonton di rumah.

Di lain sisi tubuh Lubna terasa tersengat listrik, kala dengan santainya Janus merapikan rambut di wajahnya tanpa permisi. Bahkan Lubna harus susah payah menelan ludah saat senyum berlesung pipit itu kembali muncul.

"Ayo!" ajak Janus menarik tangan kanan Lubna. Lagi-lagi tanpa peduli dengan tubuh perempuan itu yang kini mendadak kaku.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top