2. Tic-Toc Si Robot Kaleng

-

-

Gerakan-gerakan dari layar televisi di depan Lubna sama sekali tidak membuat perempuan itu pindah posisi sejak dua jam yang lalu. Bibir polosnya sudah mengerucut sempurna, dengan mata sesekali bergerak ke arah ponsel.

Sudah hampir tengah malam. Padahal pagi tadi ada yang berjanji akan menjemputnya sepulang kerja. Akan tetapi, jangankan muncul batang hidungnya di depan kantor, sampai Lubna tiba di apartemen, dan memasak makan malam pun lelaki itu belum juga terlihat.

Lubna menjatuhkan punggungnya ke sandaran sofa yang empuk. Rambutnya yang setengah basah tampak mengembang di kanan dan kiri kepala Lubna, mirip singa.

Langit-langit berwarna ungu pastel membuat otak Lubna berkelana. Memaksa dia memutar kembali pertemuan pertamanya dengan Senin. Lelaki yang menurut Lubna memiliki tawa paling renyah sedunia, andai saja dia sedikit pandai berekspresi. Andai.

Mata Lubna mengerjap, mengingat-ingat bagaimana dia yang saat itu baru saja mulai bekerja di Hoffen, kantornya sekarang, dikenalkan oleh Mas Bima dengan Senin yang katanya adalah teman satu kantornya dulu. Lantas tanpa perlu drama, Senin yang lebih tua darinya dua tahun menawarkan komitmen.

Lubna yang memang sudah tertarik dengan sikap dewasa Senin, tanpa buang waktu setuju. Namun, setelah hampir satu setengah tahun bersama, lucunya dia seperti memacari robot. Yang hanya memberikan respon bila diberi daya.

Mungkin begini rasanya berpacaran dengan Tic-Toc, robot kaleng dari Oz yang tanpa ekspresi dan minim perhatian. Seandainya, Lubna adalah Dorothy yang bisa memberikan hati cuma-cuma kepada Senin.

TING!

Suara pesan masuk terdengar nyaring dari arah ponsel di atas meja. Ekor mata Lubna spontan bergerak. Buru-buru dia sambar benda itu dan membuka aplikasi chat di sana. Mimiknya kembali datar kala pesan di layar tampak. Bukan Senin.

Tio_Editor : Ini datanya. Tapi inget jangan sampai disebar kemana-mana.

Ekspresi kecewa Lubna perlahan berubah semringah. Bahkan sebuah senyum berhasil merekah.

Lubna : Okay. Thanks ya Tio yang gantengnya sekelurahan

Tio_Editor : Gak bisa lebih luas lagi apa jangkauannya? Diem-diem aja jangan sampa Mas Bima tahu. Bisa digorok gw kalau ketahuan.

Lubna yang sudah menegakkan tubuhnya terkekeh.

Lubna : Galak amat sih lo! Kayak cewek PMS. Palingan Cuma gw sebar ke anak marketing, lumayan siapa tahu butuh dia buat promosi.

Tio_Editor : Bangke!

Suara gelak tawa tak lagi dapat Lubna kontrol. Sambil melemparkan ponselnya ke samping, dia mengambil sebuah buku catatan kecil dari meja.

Pelan-pelan tingkah perempuan itu berubah aneh. Tampak dari senyum yang merekah lebar, tetapi entah kenapa sorot matanya justru terkesan sendu.

Lamat-lamat suara ketukan dari pintu di samping Lubna menyadarkan dirinya. Tergesa, dia bangkit dan meletakkan buku catatan tadi ke dalam laci lemari. Pasalnya dia yakin itu pasti Senin. Sebab hanya lelaki itu yang memiliki kebiasaan mengetuk pintu dengan jeda seperti itu.

Dan benar saja, seorang lelaki dengan senyum tipisnya langsung menyambut Lubna ketika dia membukakan pintu depan.

"Nih," Senin menyerahkan kantong plastik hitam ke arah Lubna dan mencium kening perempuan itu lembut. "Tadi sempet lihat ada orang jualan susu bandrek di bawah."

"Buat aku?"

Senin mengangguk. Usai melepaskan sepatunya, dia masuk, dan langsung duduk ke atas sofa.

Wajah Senin terlihat lelah. Bahkan garis hitam tampak membayang di bawah mata tajam lelaki itu. Rambut klimisnya pun agak semrawut, walau tetap terlihat rapi bagi Lubna. Sambil menggulung lengan kemejanya sampai siku, Senin merebahkan punggungnya dengan tatapan fokus ke arah televisi.

Lubna jadi merasa tidak enak hampir marah-marah kepada lelakinya tadi.

Sementara Senin asyik dengan tontonannya, Lubna menuju dapur untuk menuangkan minuman tadi ke dalam gelas.

"Udah makan?"

Lubna yang membelakangi Senin tersentak, mendapati lelaki itu sudah berdiri di belakangnya. Dia menggeleng.

"Nunggu kamu," jawab Lubna menyerahkan gelas susu bandrek tadi. "Sebentar aku panasin sopnya dulu ya."

"Kamu beneran masak?" Senin menyeruput pelan minumannya. "Aku udah makan di tempat meeting tadi."

Lubna yang sudah memasukkan panci sop buatannya ke atas kompor terdiam. Dengan bibir dikatup kuat-kuat, bola mata perempuan itu bergerak cepat kepada Senin yang memandanginya tanpa dosa.

"Tapi karena udah terlanjur, sini aku cobain," kata Senin seraya duduk pada kursi mini bar di belakang Lubna.

Dasar enggak peka. Tahu gitu makan duluan aja tadi! gumam Lubna dalam hati, meskipun dia tetap menyiapkan mangkuk dari dalam lemari.

"Gimana? Enak enggak?" tanya Lubna beberapa saat kemudian kala melihat Senin menyuapkan makanannya.

Detik demi detik berlalu, alis lelaki di depannya sedikit mengernyit. "Enak. Cuma keasinan."

"Masa sih?"

Buru-buru Lubna menyendokkan sopnya ke dalam mulut. Bibirnya mencebik ketika tidak merasakan rasa-rasa yang aneh di sana. Memang terasa sedikit asin, tetapi masih dapat ditoleransi.

Lubna makin kesal, lebih-lebih Senin justru terus memasukkan makanan tadi ke mulutnya hingga tak ada lagi yang tersisa. Sangat kontradiktif dengan penuturan lelaki itu barusan.

"Kenapa?" tanya Senin beberapa saat kemudian.

"Enggak," celetuk Lubna sebal sambil menyantap makanannya cepat-cepat.

Setelah makanan di piringnya berpindah tempat, Lubna kembali menatap Senin. "Gimana meeting-nya? Meeting di mana sih? Kok sampai enggak bisa jemput. Tumben."

"Tangerang," jawab Senin singkat.

Lelaki yang sudah menghabiskan makanannya itu, mengambil piring Lubna, dan membawanya ke dapur tanpa sedikitpun menaruh curiga pada tatapan kesal milik kekasihnya.

Suara kran dibuka pun terdengar. "Na, kayaknya mulai minggu depan aku enggak bisa sering-sering antar-jemput kamu. Enggak apa-apa kan?"

Lubna yang tengah menenggak air putih membalik tubuhnya menatap Senin. "Lho, emang kenapa?"

"Di kantor lagi ada program penambahan layanan. Jadi mulai minggu depan aku bakal sering dinas luar."

Lubna mengangguk pasrah. Sebagai asisten manajer operasional baru di perusahaan telekomunikasi, Senin terkadang memang harus terjun ke lapangan untuk memastikan proyek yang ada sesuai dengan rencana.

"Kamu kenapa?"

"Enggak," jawab Lubna seraya bangkit, berjalan, dan duduk ke atas sofa berusaha konsentrasi dengan film yang diputar di layar televisi.

Senin yang sudah selesai mencuci piring, ikut bergabung dan duduk di sebelah Lubna. Aroma parfum lelaki itu lamat-lamat sampai ke hidung Lubna. Sambil melirik sembunyi-sembunyi, Lubna mendekat hendak menyandarkan kepalanya ke bahu Senin.

Tetapi, suara telepon masuk membuat tubuh perempuan itu kaku di tempat. Rasa keki bercampur sebal menjalar. Terlebih ketika lelaki itu justru berdiri menjauh untuk menerima telepon.

Lima belas menit berlalu. Lubna yang sudah bosan menonton, melirik ke belakang.

Lebih parah. Bukan lagi dibuat keki, sekarang Senin justru membuka laptop di mini bar sambil terus mengobrol di telepon. Sepertinya, malam ini dia memang cuma menjadi tukang masak bagi Senin seperti malam-malam sebelumnya. Dengan kesal, dia bangkit dan melangkah menuju kamar.

"Kalau pulang, jangan lupa kunci pintu!" teriak Lubna dari balik kamar.

Mata Senin bergerak ke arah pintu kamar Lubna, wajahnya tampak tidak enak. Namun, suara dari balik telepon memaksa dia untuk kembali fokus ke sana.

Beberapa hari berlalu, Lubna yang baru saja tiba di depan sebuah rumah usai jam pulang kantor, berkali-kali melirik alamat yang tertera di ponselnya dan rumah di depan sana. Yakin sudah sesuai, dia segera membayar lantas melangkah menuju rumah itu.

Rumahnya tidak terlalu besar. Namun, memiliki pekarangan yang lumayan lebar berbeda dengan rumah-rumah di sampingnya yang terlihat megah dengan pekarangan seadanya. Selain luas, halaman rumah ini terlihat teduh, dengan hamparan rumput hijau, tanaman hias, dan dua pohon mangga di samping.

Lubna yang hari ini menggunakan celana kulot cokelat dan kemeja putih, berjalan pelan-pelan menuju pintu kayu di teras depan. Agak ragu, dia pun mengetukkan tangannya pada pintu besar itu.

Beberapa kali mengetuk, tetap tak ada jawaban. Mungkin dia seharusnya menghubungi orang ini lagi sebelum ke sini. Meskipun nantinya tetap tidak akan digubris, setidaknya dia menghemat ongkos dan waktu. Tidak seperti sekarang.

Setelah menunggu beberapa menit, seorang pria dengan rambut mencolok dan wajah kusut muncul di depannya. Lubna menelan ludah pelan, saat sadar lelaki itu hanya menggunakan kaus tanpa lengan berwarna hitam, boxer di atas lutut, dan sandal hotel tipis.

"Ada apa ya?" tanya lelaki di depannya seraya menguap lebar.

"Kenalin saya Lubna dari penerbit Hoffen," sapa Lubna mengulurkan tangan kanannya, sambil berusaha menahan risi.

Ekspresi lelaki preman tadi langsung berubah. Dia memandangi Lubna dari ujung kaki ke ujung kepala seakan-akan tengah memindai barang.

"Nama kamu? Enggak mungkin kan saya panggil Ipi?"

"Janus Abhimanyu," jawab lelaki itu seraya menyambut tanya Lubna. "Panggil Janu aja. Agak aneh kalau nama Janus dipotong."

"Fine. Boleh saya masuk? Kurang etis kayaknya kalau kita ngobrol di depan pintu begini."

Lelaki itu mengangguk seadanya. "Masuk aja."

Sama seperti tampilan rumah ini di luar. Ruangan di dalam pun terkesan minimalis, tanpa sekat, dan rapi. Hanya terdapat pembatas kayu di samping pintu kaca besar yang Lubna tebak adalah dapur. Kemudian sebuah pintu, tangga menuju lantai atas, dan perabotan seadanya.

Selain rapi, Lubna pikir lelaki ini punya bakat seni cukup mumpuni, pasalnya di beberapa dinding terdapat gambar-gambar ilustrasi berbagai bentuk. Dari doodle, kutipan-kutipan tokoh terkenal, hingga motif abstrak yang tidak Lubna mengerti.

Namun, mata Lubna yang asyik menjelajah kembali terpaku pada boxer bergambar kartun yang Janus gunakan hari ini. Dia terbatuk pelan.

Masih cuek, Janus mempersilahkan Lubna duduk. Lelaki itu terdiam sesaat, seakan masih tidak yakin ada orang dari penerbit kemarin bekunjung ke rumahnya.

"Mau minum apa?"

"Terserah," jawab Lubna memperhatikan ruangan itu.

Lelaki itu mengedik, lantas berjalan gontai sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Tak lama, dia kembali dengan gelas berisi air putih dan meletakkannya pada meja di depan Lubna. Tentu dengan celana panjang hitam sudah terpasang di kaki panjangnya.

Lubna diam-diam tersenyum tipis.

"So?" tanya Janus tiba-tiba.

"So?" seru Lubna balik bertanya.

"To the point aja, Anda ke sini untuk urusan apa ya?"

"Saya mau nawarin kerja sama. Kolaborasi."

Alis lelaki itu bertaut.

Lubna tahu pasti bagaimana respons lelaki itu usai mendengar tawarannya. "Bukan dengan kantor saya. Tapi dengan saya."

"Maksudnya?"

"Saya butuh illustrator buat buku saya."

"Tapi, Anda bisa lihat kan tangan saya," kata Janus mengangkat tangan kanannya yang menggunakan hand protector tipis.

"Enggak sebanyak komik, cuma butuh beberapa ilustrasi aja, dan enggak harus kelar dalam waktu dekat kok," tutur Lubna meminum air putih di gelasnya. "Lagipula saya dengar tangan kamu udah recovery 80%, kan?"

Janus melipat kedua tangannya ke dada, dengan ekspresi tak pernah lepas dari kesan curiga. "Kenapa harus saya?"

"Karena saya pikir, cuma kamu yang sepemikiran dengan saya."

Janus terkekeh pelan. "Dari mana kamu bisa nilai kalau saya sepemikiran dengan kamu?"

"Komik. Komik kamu di instragram," jawab Lubna meletakkan gelas kembali ke meja. "Dan saya rasa, kamu teman diskusi yang paling tepat buat proyek saya nanti."

Pupil berwarna cokelat itu bergerak ke bawah seperti tengah berpikir.

"Saya tahu kamu sedang butuh uang."

Lubna melihat tatapan Janus berubah tajam ke arahnya. Warna merah langsung menjalar di kulit wajah Janus. Kulitnya yang berwarna cerah, otomatis terlihat jelas di mata Lubna.

"Kenapa? Fakta kan?" kata Lubna terlihat pongah di kursinya. "Tiba-tiba stop posting instagram, stop terima endorse, dan kasih naskah komik yang ada di instagram ke tujuh penerbit secara langsung. Lantas maksa untuk terbit cepet. Apalagi kalau enggak lagi butuh duit?"

Janus tetap diam, dengan kedua tangan sudah terlipat rapat dan siku menyangga di atas pangkuannya.

"Okey... gimana kalau 50:50 dari hasil royalti?"

Kepala Janus yang semula terarah kepada Lubna menunduk, kekehan pelan terdengar.

"Kamu kenapa?"

Sudut bibir Janus terangkat dan memandangi Lubna lekat. "Saya cukup tersanjung, ada perempuan secantik Anda segitu nge-fans-nya dengan saya."

Mulut Lubna menganga lebar. "Pede banget sih!"

Bukannya menjawab, Janus justru terbahak. Kontan membuat Lubna makin geli. Dia jadi sangsi bila benar lelaki ini dibalik akun Mr. Ipi.

Tawa Janus berhenti. "Manusia mana yang tahu sampai sedetail itu tentang saya. Tapi--"

"Whatever! Gimana kalau 40:60?" potong Lubna.

Lelaki itu langsung terdiam. Lubna pikir, Janus pasti sedikit tertarik dengan tawarannya. Akan tetapi, tanpa dinyana tatapan lelaki itu justru tertuju ke arah kakinya. Lubna melirik Janus keheranan.

"Ipi! Come!" teriak Janus tiba-tiba.

"Kamu... panggil siapa?" tanya Lubna mulai panik.

"Ipi," jawab Janus tersenyum seraya menunjuk kaki Lubna.

"I know, tapi bukannya itu karakter buatan kamu?"

Kedua alis Janus menyatu, dan anggukan pelan muncul. Sementara Lubna mulai gugup di tempatnya. Bahkan keringat dingin mulai muncul di pelipisnya. Lebih-lebih saat sesuatu yang lembut menyentuh betisnya yang terlapisi celana.

"Kam... kamu... enggak pe... pelihara kucing beneran, kan?" tanya Lubna merasakan bulu kuduknya mulai meremang.

Sebuah kedikan pelan muncul di bahu Janus.

Kontan saja Lubna langsung berteriak histeris. Tanpa berani melirik benda di kakinya, dia melompat ke atas kursi dengan kilat. Mata Lubna membundar sempurna ketika seekor kucing bulat berwarna jingga berlari ketakutan ke arah Janus, yang masih bergeming memandangi tingkahnya.

"Kamu kenapa?" tanya Janus membawa benda menggelikan itu ke pelukannya.

"Pergi! Angkut benda gendut jelek itu jauh-jauh dari gue sekarang!" pekik Lubna menunjuk-nunjuk kucing yang ketakutan di pelukan Janus. "Sekarang!"

Janus menahan tawa sambil terus mengawasi tingkah Lubna di atas kursi. "Lo takut kucing?"

Kepala Lubna bergerak ke kanan dan kiri. Tas. Dengan cekatan dia tarik tasnya dan melemparkan benda itu ke arah Janus yang makin kesenangan di tempatnya. Namun, meleset.

Air mata perlahan menggenang di mata bulat Lubna. Alih-alih membawa makhluk itu pergi, Janus malah menurunkan peliharaannya ke bawah, dan bermain dengan Ipi tanpa memedulikan Lubna.

Astaga, Lubna sepertinya butuh samurai untuk membabat habis dua makhluk menyebalkan di sana. Dia jadi menyesal sudah datang ke tempat ini.

Untuk sekarang.

TBC

Acuy's Note :

Setelah kita belajar digital advertising agency di Cinta Salah Kirim, e-commerce di lapak Madam Sri, dan wedding planner++ bareng Takka. Yuk, belajar gimana jadi influencer sekaligus tahu sedikit-sedikit ada apa aja di penerbitan buku, di sini! Let's go!

Psssttt... sekaligus belajar cinta bareng Mr. IPI yang lagi sakit hati disebut gendut, yuk! Hahahahhaha (seneng amat liat adeknya di-bully).

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top