11. Soal Kita
-
-
Bulan tampak malu-malu mengintip dari atas genting sebuah rumah. Angin malam bergerak memainkan A-line skirt berwarna hijau toska milik Lubna, perempuan yang sejak lima menit lalu diam seribu bahasa di pekarangan samping rumah Senin. Area bahu yang tidak dilapisi apa-apa agak meremang saat semilir angin berembus ke arahnya.
Sebuah tarikan napas panjang terdengar. Bibir Lubna makin menekuk tajam, kala ingatan beberapa jam sebelum insiden memalukan tadi bermunculan di kepalanya. Bagaimana panjang dan lebarnya komentar-komentar Dini, hingga paniknya wanita itu kala Lubna hampir saja membakar rumah Senin, hanya gara-gara menggoreng ikan.
Lantas bukannya mengambil air dari keran, Lubna dengan heboh malah menyiramkan air bekas mencuci seafood ke atas penggorengan. Yang barang tentu, air dan baunya menghancurkan dapur Senin. Termasuk pakaian Dini.
Lubna mendesis. Kedua tangannya bergerak meraup sang wajah yang mungkin sudah memerah karena malu juga kesal. Dia memang payah soal urusan dapur. Bagaimana lagi, sedari kecil Lubna memang tidak pernah memasak sendiri karena ada asisten rumah tangga yang biasanya bertugas.
Baru setelah Lubna memutuskan untuk berkuliah di luar kota dan keluar dari rumah, dia mulai mengenal yang namanya dapur. Itupun hanya sekedar memasak air dan makanan instan. Selain itu, dia memilih mencari makanan di luar.
Bila dipikir-pikir, semuanya berkat Senin. Jika Lubna tidak mengenal lelaki itu mungkin dia tidak akan mulai berani memasak, seperti beberapa bulan belakangan.
Sepintas bau hangus bercampur amis dari arah dapur kembali tercium. Kepala Lubna otomatis bergerak ke belakang. Sosok Dini sudah menghilang entah ke mana. Sementara dari balik pintu kaca, perempuan itu melihat Senin masih kerepotan membereskan sisa-sisa kecerobohan Lubna di sana.
Sebenarnya, Lubna ingin sekali membantu. Apalagi, kecelakaan itu bersumber dari dia. Hanya saja Senin melarangnya, dan meminta perempuan itu untuk duduk di sini.
Lubna kembali mengerang ketika tatapan kecewa milik Dini kepadanya beberapa saat yang lalu, kembali muncul di kepala. Senin pasti menyesal sudah meminta Lubna menjadi pacarnya. Apalagi dulu, Bima pernah bilang bila Amara seringkali memasakkan Senin saat mereka masih bersama.
Tepat. Sepertinya dia gagal menjadi calon menantu yang baik.
"Kemarin sok-sokan bilang kasih yang terbaik,"gerutu Lubna teringat kata-katanya bersama Janus beberapa hari yang lalu. "Gimana mau dianggap, kalau goreng ikan aja malah bikin dapur orang berantakan."
Getaran kecil dari bangku rotan yang dia duduki, membuat perhatian Lubna langsung tertuju ke arah ponsel di sampingnya. Dia berdecak pelan saat membaca nama yang terpampang di layar ponsel.
"Kenapa?!" tanya Lubna malas.
"Ketus amat jawabnya," suara protes dari lelaki di balik telepon justru makin membuat bibir Lubna ditekuk masam.
"Kalau enggak penting gue tutup!"
"Bentar-bentar-bentar! Gitu aja sewot."
Lubna memutar bola matanya malas, lantas berdiri, dan memilih berjalan berkeliling di halaman berumput milik Senin.
"Untuk Bab ke satu, layout-nya udah gue kirim ke email, dan ada beberapa narasi yang menurut gue kurang efektif. Jadi gue edit." Langkah Lubna terhenti, bibirnya yang semula ditekuk mulai berubah. "Nanti coba lo cek aja dulu."
"Lo layouting juga?"
"Ilustrasi doang mah tanggung kali."
Seulas senyum tipis kini tampak di bibir tipis Lubna. Sambil memandangi tanaman menjalar pada tembok-tembok tinggi di depannya, dia kembali melangkah mondar-mandir.
"Thanks. Nanti gue cek."
Jeda sesaat terasa. Alis Lubna menyatu, sampai-sampai dia harus memosisikan ponsel ke depan wajahnya untuk memastikan Janus masih tersambung dengannya sekarang.
"Halo?" kata Lubna memastikan.
"Lo kenapa?"
Lubna menelan ludahnya pelan. Suara berat lelaki itu, entah mengapa membuat masalah yang satu menit lalu dia lupakan justru berdesakan dan memaksa ingin keluar.
"Sorry. Habis dari tadi siang gue email dan kirimin lo pesan tapi enggak pernah ada kabar." Lubna masih bergeming, tatapannya bergerak ke bawah. "Gue pikir lo kenapa-kenapa."
"Emang gue kenapa?" tanya Lubna balik coba terdengar normal.
Bukannya menjawab, justru suara tarikan napas panjang yang terdengar dari balik telepon.
Sebelum terjadi yang aneh-aneh, segera Lubna berdeham pelan. "Sorry Nu, gue udah ditunggu orang. Nanti gue hubungi lo lagi kalau udah cek emailnya ya."
"Cowok lo?"
Lubna yang baru saja akan melangkah masuk ke dalam, berhenti di tempat. Entah kenapa dia merasa bersalah kepada Janus.
"Okey. Harusnya gue kali yang bilang sorry. Kan gue yang ganggu malam minggu lo," kelakar Janus. Kekehan lelaki itu mau tidak mau membuat Lubna tersenyum tipis. "Malam."
Tangan Lubna turun ke bawah. Tanpa sadar dia menggenggam ponselnya erat dengan kedua tangan. Bila selama ini dia merasa kagum dengan opini-opini Janus yang baginya mirip dengan seseorang, entah kenapa kini justru perhatian lelaki itu yang membuat dirinya bereaksi aneh.
Sambil coba melupakan telepon barusan, Lubna kembali berjalan menuju pintu kaca. Namun, baru beberapa langkah sebuah rengkuhan erat terasa di pinggangnya.
"Kamu kenapa? Kok kaget gitu kayaknya?"
Buru-buru Lubna menggeleng, ketika suara Senin terdengar tepat di telinga kanannya. Rasa hangat di pinggangnya kini terasa janggal, tidak seperti biasa. Lubna pikir ini terjadi karena dia baru saja masuk ke dalam yang memang bersuhu lebih tinggi.
"Mas, udah selesai beres-beres kan?" tanya Lubna di posisinya dengan tatapan mengamati area dapur. Perempuan itu merasakan dagu Senin menyentuh bahu kanannya beberapa kali. Lubna anggap itu sebagai jawaban.
"Boleh kita ngobrol sebentar?"
Ekspresi Senin tampak bingung, ketika Lubna melepaskan lengan kekar miliknya dari pinggang. Lebih-lebih saat wajah Lubna pun tampak serius ketika perempuan itu berbalik dan saling berhadapan dengannya.
Senin mengangguk.
"Ini soal Ibu?" tanya Senin ketika keduanya sudah berada di kamar lelaki itu. "Ibu enggak marah kok, beliau malah lagi mandi di kamar."
Lubna yang duduk di atas kursi kerja milik Senin, menggeleng. Mata bulat itu terus memandangi tubuh lelakinya yang berdiri menyandar pada dinding setengah meter darinya.
"Soal kita."
"Maksudnya?" Kedua alis Senin menyatu mendengar jawaban Lubna.
"Aku mau jujur sama kamu," kata Lubna sembari memainkan lipatan di roknya.
Masih dengan ekspresi yang sama, Senin melangkah, duduk di pinggir kasur, dan menghadap tubuh Lubna.
"Kamu tahu kan soal Abang aku?" tanya Lubna membuka obrolan.
Senin mengangguk.
"Aku mutusin buat lanjutin proyek dia."
Air muka Senin yang semula bingung mulai mencair. Seulas senyum kecil terlihat dibibirnya. "Terus apa hubungannya dengan kita?"
Pandangan Lubna beralih kepada Senin. Diam-diam dia memindai tiap lekuk dan struktur wajah lelaki itu. Alis tebal, mata yang tajam ditambah bibir bervolume sedang, yang bagi Lubna merupakan bibir paling lembut yang pernah dia tahu.
"Kamu kan tahu aku payah banget bikin ilustrasi, dan aku minta bantuan orang untuk kerjain bagian itu. Dia cowok dan--," tutur Lubna menggerakkan pandangannya ke arah kamar Senin yang serba minimalis. "kemungkinan aku bakal sering jalan buat diskusi sama dia, kamu enggak apa-apa kan?"
Senin menundukkan kepalanya. Senyum lebar tak lagi dapat lelaki itu tahan. "Kamu takut aku jealous?"
Kepala Lubna mengangguk mantap.
"Hei, kita itu udah bukan anak ABG lagi Na. Masa cuma gara-gara kerjaan kamu, aku jealous," kata Senin merapikan rambut yang turun menutupi muka Lubna. "Tapi aku terima kasih kamu mau jujur sama aku."
Dada Lubna mendadak lega. Perempuan itu tersenyum lebar kegirangan. Senin yang melihat hal itu ikut tersenyum lega. Beberapa menit kemudian, keduanya pun saling melempar obrolan mengenai proyek yang Lubna kerjakan tiga minggu ini.
Mulai ketika Lubna bertemu Janus, mengakui Janus sebagai sepupu, hingga yang terakhir soal diskusi keduanya. Terkecuali, kebohongannya soal meeting dengan klien kemarin. Lubna malas bila masalahnya malah runyam, karena dia berbohong demi Janus kepada Senin. Yang terpenting, setidaknya dia tidak perlu lagi tertutup di depan Senin mulai sekarang.
"Satu lagi." Senyum di bibir Lubna perlahan menghilang. Dia kembali menunduk tanpa berani menatap Senin. "Aku mau tanya soal mantan kamu."
"Mantan?"
Sambil memainkan kedua tangannya di pangkuan, Lubna menarik napas dalam-dalam. Dalam hati dia agak ragu dengan reaksi Senin bila nama Amara kembali muncul di tengah-tengah mereka seperti ini. Lebih-lebih baru saja mereka membicarakan perihal lelaki lain.
"Amara," jawab Lubna setengah berbisik. "Mas masih berhubungan sama dia?"
Gelengan cepat tampak dari kepala Senin. "Emang kamu dapet info dari mana aku masih berhubungan sama dia?" tanya lelaki itu dengan ekspresi menahan tawa.
Hati Lubna sedikit tenang mendengar ucapan Senin. Lebih-lebih reaksi lelaki itu juga terlihat normal-normal saja. Tidak tersinggung, apalagi kecewa dengan pertanyaan Lubna.
"Aku enggak sengaja lihat nama dia muncul di panggilan ponsel kamu kemarin, waktu makan malam bareng Ibu."
Mulanya, Lubna pikir respons Senin akan sama dengan pertanyaan awal. Akan tetapi, sekarang mata lelaki itu justru mengerjap beberapa kali. Sampai-sampai ada jeda yang terasa di antara mereka. Jujur, hati Lubna yang semula lega kembali curiga mendapati tingkah Senin di depannya.
"Oh itu." Senin tiba-tiba bangkit dan berjalan ke arah pintu. "Itu bukan Amee. Itu Amara, karyawan baru di kantor."
Lubna masih diam. Jawaban Senin barusan sepertinya tidak dapat menghapus kecurigaan yang terlanjur tertanam di dada perempuan itu. Terlebih, Senin masih memanggil nama mantannya dengan sebutan Amee, yang Lubna tahu adalah panggilan sayang lelaki itu.
"Kamu enggak lagi curigain aku kan, Na?"
Senin yang mendapati Lubna hanya diam, berbalik. Lelaki itu mendekat dan kembali ke posisinya semula, menghadap Lubna. Tanpa permisi tangan kanan Senin bergerak lalu menggenggam kedua tangan Lubna yang masih setia berada di pangkuan perempuan itu sangat erat.
"Kamu percaya aku kan, Na?"
Setengah hati Lubna mengangguk. Walaupun faktanya masih ada curiga yang tersisa, tetapi Lubna ingin percaya sekali ini saja. Bukan untuk Senin, tetapi hatinya. Sebab dia pun membutuhkan itu untuk dapat memantapkan hatinya untuk lelaki ini. Bukan yang lain.
Pupil berwarna cokelat gelap milik Senin bergerak menatap kedua bola mata Lubna dengan intens. Bahkan saking lekatnya, perempuan itu dapat merasakan jantungnya berdetak kencang saat tangan kanan Senin mulai mengusap pipinya lembut.
Seolah terhipnotis, Lubna hanya bisa diam ketika bibir Senin yang beberapa saat lalu cuma dapat dia tatap, menyentuh bibirnya. Tepat seperti dugaan Lubna, lembut dan tidak menuntut.
"Mas, gimana kalau kita makan di luar a—"
Otak Lubna yang sempat kosong beberapa saat, langsung terjaga. Buru-buru Lubna memundurkan kursi beroda yang dia duduki ke belakang, sementara Senin berdiri dan mendekati Dini. Sambil tersenyum salah tingkah, lelaki itu menggaruk tengkuknya.
"Makan di luar? Boleh. Lagian keburu lapar kan kalau nunggu Ibu masak lagi," kata Senin tergagap.
Mata Dini yang masih membulat sempurna terlihat beberapa kali mengawasi dua makhluk berbeda jenis kelamin itu di sana. Matanya menyipit. Lantas tak lama dia menggeleng pelan ke arah Senin, yang cepat-cepat melarikan tatapannya ke tempat lain seakan-akan kedua mata Dini terbuat dari laser mematikan.
"Ya udah Ibu tunggu di bawah," kata Dini lantas memandangi sang calon menantu yang masih mematung di atas kursi. "Ayo, Na! Kita tunggu di bawah."
Segera, Lubna bangkit dan berjalan di belakang Dini. Senin yang memandangi dua perempuan itu dari arah belakang terkekeh pelan sembari menggaruk tengkuknya malu-malu. Meskipun hanya sesaat.
Karena setelah itu, senyum di bibir Senin menghilang dan berubah menjadi desahan sarat akan kesan gelisah.
TBC*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top