1. Mr. Ipi

Welcome back para reader Mr.Ipi! Kabar gembira buat kalian, karena mulai hari ini cerita KIDSC bakal cuy republish. Kenapa di republish? Karena sebentar lagi Kocheng Oren kesayangan kita bakal cetak ulang. Jadi buat me-refresh ingatan kalian sama cerita ini, aku republish dulu. Selamat baca.

-

-

Sapaan pagi penyiar radio samar-samar terdengar dari arah dashboard. Berbicara heboh sendiri, tanpa peduli dengan pendengarnya yang mati kebosanan di kursi penumpang. Maklum namanya pun siaran radio, hanya satu arah. Kurang interaktif. Kurang memahami perasaan pendengar seperti gebetan.

Meskipun sedikit banyak suara cerewet penyiar itu mengalahkan deru knalpot motor dan mobil yang berseliweran di jalanan padat khas jam masuk kantor. Setidaknya, radio cukup berperan sebagai peredam suara.

Sepasang mata lentik milik perempuan bernama Lubna, melirik diam-diam kepada lelaki berpakaian rapi di sebelahnya. Koreksi selalu rapi . Lantaran selama lebih dari satu tahun Lubna mengenal dia, jarang sekali perempuan itu melihat seorang Senin meninggalkan kemeja ataupun celana bahannya.

Paling banter, menggunakan polo shirt saat tengah pergi berdua. Lagi-lagi dengan celana bahan.

"Kenapa?"

Suara berat dari samping mengagetkan Lubna. Segera, dia memandang lurus ke depan saat mata tajam milik Senin gantian memandanginya. Perempuan itu menggeleng pelan. Rasa canggung langsung menguar.

Entah mengapa meskipun sudah berstatus sebagai pacar, Lubna masih merasa kurang nyaman ditatap sedemikian rupa oleh Senin. Lelaki itu kembali diam mendapati tidak adanya respons berarti dari Lubna.

Kurang dari setengah jam, mobil yang membawa mereka berhenti di depan kantor penerbitan di daerah Jakarta Barat. Bangunan dengan booth penjualan buku pada halamannya.

Sebelum keluar, Lubna mengambil cermin kecil dari dalam tas. Rambut ikalnya yang panjang dia ikat ke belakang agar lebih rapi. Senyum mengembang ketika dia melihat make up tipis di wajahnya terlihat sempurna.

Sebuah belaian di pipi kanan sontak membuat Lubna menoleh. Dia tersenyum seolah paham betul dengan ritual lelaki itu sebelum menurunkan dirinya di kantor. Mengusap rambut ataupun sekadar menyentuh pipi. Tidak lebih.

"Na." Senin memberikan jeda sesaat pada ucapannya. "Papa kamu semalam telepon. Beliau tanya, kapan kamu mau main lagi."

Lubna yang merapikan lipstik di bibirnya, langsung hilang selera. Lekas-lekas dia merapikan tasnya, dengan bibir yang tampak maju beberapa senti.

"Bilang aja kapan-kapan," jawab Lubna sekenanya seraya membuka pintu mobil. "Aku turun ya. Kamu hati-hati di jalan, jangan ngantuk! Dah."

"Na!" panggil Senin lagi. "Nanti sore mau dijemput?"

"Boleh. Sekalian makan malam aja, aku rencananya mau coba menu baru."

Senin tersenyum tipis. Dia kembali menjalankan mobilnya menjauh dari area kantor Lubna. Perempuan itu sempat terpaku memandangi bagian belakang mobil Senin yang menghilang di depan gerbang. Sambil mendengkus pelan dia berbalik lalu berjalan menuju kantor.

Langkah-langkah kecil Lubna terdengar dalam ruangan resepsionis. Banner-banner dengan karakter komik, buku-buku novel sampai buku edukasi bertema anak-anak, berjejer rapi di antara kursi ruang tunggu dan meja resepsionis.

Tak hanya sampai di situ, tembok warna-warni bernuansa pastel membuat ruangan itu makin meriah. Seakan ingin unjuk gigi kepada tamu yang datang, bila mereka memang penerbit buku khusus anak-anak dan remaja.

Usai mengisi absensi, Lubna berjalan menuju lantai dua. Tempatnya bekerja memang tidak sebesar kantor-kantor pada umumnya. Hanya sebuah ruko tua yang terdiri dari tiga lantai. Maklum kantor Lubna bukanlah kantor penerbitan besar.

Lantai pertama khusus digunakan untuk ruang meeting, bagian personalia dan legal. Sementara di lantai dua, terdapat ruangan untuk divisi pemasaran dan publikasi. Terakhir di lantai paling atas, merupakan jantung dari sebuah penerbitan buku, yakni editorial atau ruang redaksi.

Suara sepatu hak tinggi milik Lubna tertahan di tangga, kala tangan besar melingkari lengannya. Alis lurus itu menyatu, lebih-lebih sosok yang menahannya itu justru tersenyum penuh arti dari anak tangga terbawah.

"Lu, kamu kudu bantu kita!" seru Monika, wanita berumur sepuluh tahun lebih tua dari Lubna, berkacamata tebal, tetapi selalu paling up-to-date bila berbicara mengenai fashion dan make up. Walaupun tubuhnya jelas lebih berbobot ketimbang Lubna.

"Bantu apaan, Mbak?"

"Di depan ada anak-anak dari TK Pertiwi, buat program CSR yang kita propose ke Pak Sugeng itu loh," terang Monika dengan logatnya yang khas. "Tapi masalahnya, pendongeng yang jadi bintang tamunya kejebak macet. Kamu bisa kan ngobrol-ngobrol dikit sambil ulur waktu?"

"Ngobrol apaan?"

"Terserah. Ngelawak gitu atau joget-joget? Kamu kan yang paling deket sama anak-anak," kata Monika mulai panik. "Ayolah Lu. Anak marketing yang lain belum pada dateng. Kasihan lho anak-anak udah setengah jam nunggu di gazebo."

Lubna makin memajukan bibirnya.

"Lu, ini demi divisi kita lho. Lagian bulan kemarin kamu sama si Dante yang usulin program CSR, kan?" Wajah geram seniornya ditambah ancaman barusan membuat Lubna berpikir dua kali.

"Ya udah."

Sebuah gazebo berukuran sedang di samping gedung tampak ramai dari jauh. Rerumputan dan pepohonan rindang di sekeliling gazebo membuat suasananya lebih teduh. Berbanding terbalik dengan jalanan di depan kantor, yang berdebu dan gersang. Suara gemercik dari air mancur mini pun menambah kesan nyaman makin kental.

Namun, semuanya hilang kala suara berisik anak-anak mengganggu indra pendengaran Lubna. Bahkan dari tempatnya, perempuan itu dapat melihat beberapa anak berlarian ke sana kemari. Tanpa memedulikan teriakan guru-guru yang tampak kerepotan mengatur anak murid mereka, yang bagi Lubna lebih mirip kutu loncat.

"Mbak Santikanya belum dateng?" tanya Lubna kepada Galuh yang berdiri di pinggiran gazebo.

Galuh menggeleng cepat. "Katanya lima belas menit lagi, Kak. Padahal perjanjiannya dia bakal dateng begitu acara senam barengnya kelar."

"Namanya juga Jakarta, Gal." Senyum miris muncul, mendapati beberapa anak yang terlihat kebosanan bersandar di dalam gazebo.

"Kita mulai aja acaranya deh," putus Lubna akhrinya. Dia menyambar bando telinga rusa -- maskot kantornya -- dari tangan Galuh.

"Serius, Mbak? Emang enggak apa-apa enggak sesuai rundown?"

"Justru gue disuruh Nyonya Puff buat ke sini!" gerutu Lubna kesal.

Lubna yang sudah berada di depan gazebo, meminta anak-anak untuk duduk rapi. Dia tersenyum kala kutu-kutu loncat yang tadi sangat susah diatur, menurut dan duduk berbaris. Dari jauh, Lubna menemukan Nyonya Puff alias Monika mengacungkan dua jempolnya bersama Galuh. Lubna berdecak.

"Selamat pagi, adik-adik. Gimana senamnya tadi? Seru?! Sambil makan cemilan kakak bakal bawain cerita buat kalian, mau denger?"

"Mau!!"

"Hah..!!"

Berkali-kali Lubna mendesah di dalam kamar mandi sambil membersihkan rok pensil abu-abunya yang sudah bersih sekarang. Namun, dia kembali meringis kala bau muntahan susu kembali menguar dari sana.

Perasaannya memang sudah kurang enak melihat tingkah anak-anak tadi. Lebih-lebih ketika salah satu di antara kutu loncat itu mendadak pucat dan muntah ke roknya tanpa rasa bersalah.

Rasanya Lubna ingin menangis sekarang. Lantaran bau muntahan itu tak kunjung hilang juga meskipun sudah dia cuci dengan sabun berkali-kali.

Sebuah ide melintas, tatkala matanya tertumbuk pada pouch make up di atas wastafel. Penuh emosi, dia menyemprotkan hampir setengah isi parfum miliknya ke seluruh tubuh terutama bagian yang basah tadi.

Beres dengan urusannya. Lubna cepat-cepat keluar toilet. Namun, saat akan berbelok ke arah tangga, sepasang mata berwarna cokelat cerah menghadang langkahnya. Rambut pendek acak-acakan berwarna ungu neon, celana jin sobek, kaus hitam, dan jaket jin belel tampak dari sosok lelaki itu. Praktis, membuat nyali Lubna ciut.

Lubna yakin kantornya cukup ketat dan tidak mungkin sembarangan orang bisa masuk ke dalam. Apalagi preman macam lelaki ini. Tanpa sadar, Lubna mundur satu langkah. Lelaki itu tiba-tiba menaikkan salah satu sudut bibirnya dengan alis mengernyit tidak suka. Lubna mulai panik.

Setelah sempat saling tatap selama beberapa detik, lelaki preman tadi berdecak tiba-tiba seraya mengibaskan tangannya ke udara dan berlalu menuju pintu keluar di samping kiri Lubna. Mata perempuan itu mengerjap bingung.

"Sayang banget. Padahal konten dia bagus lho."

Suara seorang lelaki membawa Lubna kembali ke dunia nyata.

"Iya sih, tapi kan kita penerbit khusus anak-anak dan remaja. Konten dia terlalu sarkas buat masuk ke kita. Big Boss juga pasti enggak bakal setuju kali."

"Lho, kenapa? Justru remaja sekarang harusnya diberi konten cerdas kayak gitu kali, Mas. Bukan cuma bacaan yang cuma obral mimpi manis. Biar otak mereka pun enggak melulu galau enggak jelas."

Lelaki yang dipanggil Mas terkekeh. "Tapi bukan di kita. Dan sebenernya kalau dia lagi enggak cidera, cukup rombak komiknya 40% itu udah oke sih."

Lubna yang penasaran, mendekati dua orang lelaki yang beru saja keluar dari dalam ruang meeting.

"Lo ngapain sih?" tanya Bima -- sang chief editor -- sambil menjepit hidungnya dan mengawasi tingkah Lubna yang tiba-tiba merapat kepada mereka.

"Kenapa?"

"Lo habis mandi parfum?" imbuh Tio memandangi sosok Lubna, yang terlihat berantakan dengan bando telinga rusa masih terpasang manis di kepalanya.

"Kepo lo!" Lubna berdecak sebal seraya membebaskan rambutnya dari bando memalukan itu. "Tapi, tadi yang kalian sebut dia, siapa?"

Bima tertawa. "Sekarang siapa yang kepo? Yuk ah, Yo. Lanjut kerja."

"Ih, pelit banget sih! Gosip itu harus dibagi kali, bukan dirahasiain. Kalau gitu namanya bukan gosip dong," gerutu Lubna mengekor di belakang Tio.

"Influencer," jawab Tio menyerah.

"Perasaan kita lagi enggak perlu pakai influencer? Emang buat buku yang mana? Atau buat event?"

"Justru dia lagi ngajuin naskah ke kantor kita," terang Bima berhenti melangkah ketika tubuh ketiganya sudah tiba di lantai dua. "Komikus komikstrip. Siapa tadi namanya, Yo?"

"Lupa. Tapi nama akunnya Mr.Ipi. Lo cari aja di instagram, lumayan terkenal kok. Sering dapat endorse juga lagi."

Mata Lubna membulat. Pasalnya, yang perempuan itu ingat, tone instagram akun bernama Mr. Ipi itu terkesan cerdas dan lugas. Bahkan, beberapa kali dia setuju dengan komedi satir yang sering diangkat.

Gaya preman kayak gitu? Mr. Ipi? Masa sih? Seru Lubna dalam hati.

"Udah, jangan kebanyakan bengong. Ada yang nungguin tuh," tunjuk Bima kepada lelaki tua, bertubuh kurus kering, dan berkumis yang tengah dikerumuni beberapa orang di pojok ruangan, Sugeng. Sang head division.

Lubna meringis malas. Sebelum kembali kepada kerumunannya, sebuah ide melintas. Lubna pun tersenyum lebar.

"Mr. Ipi, ya...."

TBC

Dedicated for Anabul kesayangan :

HIRRV (IPI) alias Mr.Ipi & SHIRO

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top