Chapter 7
Illa tidak dapat melihat jelas dan berinisiatif untuk maju.
"Illa! Ja--"
Dia mendengar gurunya melarang, tapi terlambat, sesuatu telah menjerat kaki dan menyeretnya. Anak itu menjerit sekuat yang dia bisa.
"Guru!!!" seru Illa sekuat tenaga mencari sesuatu untuk berpegangan, tapi nihil. Dia berusaha menahan tubuhnya pada tonjolan di lantai namun tidak lama. Dengan cepat, jari-jarinya terlepas dan dia kembali terseret. Anak itu meronta sia-sia. Untung saja beberapa detik kemudian kekuatan yang menariknya tiba-tiba lepas. Dia bebas.
Napas anak itu naik turun cepat, jantungnya memompa oksigen ke seluruh bagian tubuh, masih terguncang dengan kejadian barusan. Matanya nanar mencari sosok guru dan melihat gadis itu memegang pedang transparan dengan pendar kehijauan berdiri di depannya, memotong sulur hitam yang keluar dari kotak indah tersebut. Tanpa berbicara apapun, gadis itu meraih tangan Illa dan menariknya kembali ke bawah lengkungan batu.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya sang guru sementara Illa melihat kotak itu terbuka, mengeluarkan aura hitam serupa tangan, berusaha meraihnya. Illa mundur. Dia hanya ingin sejauh mungkin dari sana.
"Itu adalah benda terkutuk," ucap gadis itu setelah memastikan tidak ada luka pada Illa. Dia tetap memegang pedang, sambil sesekali menghalau serangan. "Terlalu lama dipakai penyihir hitam untuk menampung jiwa manusia yang dia bunuh." Gurunya tampak serius, senyumnya menghilang, alisnya berkerut.
Illa tidak dapat menangkap penjelasan yang dilontarkan, dia memandang gadis itu seakan gurunya sudah gila. Sang guru mengacak rambut Illa untuk membuatnya lebih tenang. "Istirahatlah sebentar. Aku membutuhkanmu untuk menenangkan jiwa-jiwa yang murka karena hidup mereka diambil paksa."
Gadis itu menggumamkan sesuatu sambil mengayunkan ujung jarinya yang berpendar putih ke udara, membentuk tulisan-tulisan tak terbaca. Dia hanya tahu bagitu gurunya selesai, ada sebuah pelindung berwarna putih transparan menyelubungi mereka seperti bola. Setiap 'tangan' yang berusaha menjangkau mereka lenyap terkena barrier.
Perlahan-lahan darah kembali mengalir ke wajah Illa, mengembalikan warna yang pernah ada. Napasnya mulai teratur dan pikirannya mulai jernih.
"Lebih baik?"
Illa mengangguk. Dia melihat ke arah kumpulan tangan hitam yang bergerak-gerak liar, bulu kuduknya meremang. Anak itu kembali menatap Sang Guru.
"Apa Guru selalu menghadapi hal-hal seperti ini?"
Gadis itu mengangguk. "Kadang-kadang lebih parah. Selalu saja ada orang yang berusaha melanggar tabu, bermain dengan jiwa manusia. Tugas kita adalah memastikan hal-hal tersebut tetap terkendali." Dia menatap Illa lekat. "Aku mengerti kalau kamu memilih tetap tinggal di balik pelindung."
"Nggak!" Illa menjawab cepat. "Aku akan membantu."
Anak itu menelan ludah, mengumpulkan keberanian dan menatap gadis itu tanpa berkedip, walau kakinya masih terasa lemas. Dia ingin berguna bagi orang yang telah menolongnya. Gurunya membalas dengan senyum.
"Ok." Gadis itu mengambil empat kristal sebesar genggaman tangan dan berwarna jernih dari tas di punggungnya. "Tolong letakkan ini di setiap sudut ruangan sementara aku mengalihkan perhatiannya. Bisa?"
Sekali lagi Illa mengangguk dan menerima benda yang berpendar redup itu dari sang guru, menggenggamnya seakan itu adalah berlian. Gadis itu sendiri merapal mantra singkat, membuat tubuhnya mengeluarkan cahaya biru. Illa memandanginya dengan takjub.
"Sebentar lagi aku akan menghilangkan pelindung, kamu harus sembunyi di belakangku. Setelah benda itu menyerang, larilah. Ingat, satu disetiap sudut."
"Ok."
Illa menahan napas dan berjalan ke belakang gurunya. Gadis itu mengayunkan tangan dan selubung putih itu lenyap seperti gelembung sabun yang tertusuk. Segera saja tangan-tangan hitam langsung menyeruak, berusaha menggapai mangsa. Illa berjengit dan tanpa sadar mundur selangkah. Sang guru sigap, dia segera mengayunkan pedang untuk menebas setiap bayangan yang mendekati mereka.
"Illa!"
Tanpa perlu dikomando dua kali, anak itu langsung melesat dari balik gurunya dan melangkahkan kakinya secepat yang dia bisa. Terdengar jeritan-jeritan keluar dari kotak itu, tumpang tindih. Dia tidak berani menoleh, dia hanya tahu kalau gurunya pasti bisa mengatasi setiap serangan.
Illa meletakkan kristal pertama. Jantungnya berdetak keras dalam rongga dada. Bagaimana kalau dia salah? Bagaimana kalau kristalnya meleset? Pikiran-pikiran buruk menyabotase kepalanya.
Anak itu menoleh sekilas ke arah gurunya, berharap mendapat konfirmasi. Dia melihat gadis itu menebas setiap tangan hitam yang berusaha meraihnya. Gurunya ahli, tapi kutukan itu tak berhenti menyerang. Cepat atau lambat, gadis itu akan kalah tapi tak sedetik pun terlihat keraguan di matanya. Dia fokus kepada setiap serangan yang datang, percaya pada Illa sanggup melakukan tugas. Illa dapat merasakan dadanya terasa hangat. Tidak ada orang yang mempercayai seorang anak jalanan sebelumnya. Illa menelan ludah, itu berarti dia tidak boleh gagal.
Dia menggelengkan kepala, membuang semua suara yang bersahutan di kepala lalu memandang ke arah sudut berikutnya dan kembali berlari sambil bersyukur kemampuannya telah terasah di jalanan untuk kabur dari para pengejar. Anak itu tiba di sudut kedua dan meletakkan kristal, begitu pula di sudut ketiga dan keempat. Lima menit terlama dalam hidupnya terlewati. Dia kembali ke belakang sang guru.
"Kerja bagus," puji gadis itu tersenyum tanpa memalingkan wajah.
Sebuah balon berisi kebahagiaan terpompa di dada Illa. Dia membalas dengan senyum bangga.
"Sekarang mundur sampai ke pintu."
Illa menurut. Dia kembali mendengar suara jeritan dan berani bersumpah dapat melihat wajah orang di antara aura hitam pekat. Pandangannya beralih ke gurunya yang kini merapal mantra lagi. Kristal di ujung-ujung ruangan berpendar makin terang lalu muncul garis-garis berwarna putih membentuk semacam perisai tepat di atas kotak itu, menjadi penjara cahaya. Kotak itu bergetar keras namun perlahan-lahan menutup. Illa menahan napas melihat satu per satu tangan hitam kembali masuk ke dalam kotak.
Selesai. Benda itu tertutup sempurna. Illa menghembuskan napas lega sambil tersenyum ke arah sang guru tapi sebelum dia sempat mendekati gurunya, gadis itu terpental mundur.
"Guru!" panggil Illa menghampiri gadis yang meringis kesakitan. Gurunya terbaring dan merintih, berusaha meredam rasa ngilu yang menjalar di seluruh tubuh.
Bulu kuduk Illa kembali merinding. Ketika dia menoleh, kotak terkutuk itu kembali terbuka dengan aura hitam yang menyebar lebih luas. Beberapa tangan hitam menjalar melewati lengkungan batu dan meraih kaki bersepatu bot milik sang guru.
"Lepaskan!" Illa mengambil sebatang kayu lapuk yang teronggok di lorong dan memukul tangan hitam yang kini membelit lutut gurunya.
Tangan hitam itu bergeming, batang kayunya menembus benda itu tanpa melukainya sedikit pun. Illa panik. Dia tidak bisa menolong gurunya. Untuk pertama kalinya dia berharap memiliki keahlian seperti sang guru.
"Ternyata bukan benda kuno," bisik gadis itu seraya bangkit dan menebas tangan yang mulai menariknya.
Rasa lega mengguyur Illa, untunglah gadis itu baik-baik saja, namun senyumnya memudar ketika melihat ekspresi asing di wajah gurunya. Ada sebuah bayangan hitam menaungi sang guru. Senyum ramah di sana tergantikan oleh seraut wajah yang menahan rasa pilu.
Hati anak itu terasa diremas tangan tak terlihat. Rasa sakit menusuk tanpa dia ketahui mengapa. Tanpa sadar dia menggenggam baju hingga kusut, sambil melihat gurunya berjalan maju tanpa sekalipun menoleh ke arahnya.
"Guru ...," ucap Illa tercekat melihat gurunya mendekati sumber kegelapan.
Teriakan demi teriakan terdengar makin keras, bergema di ruang bawah tanah. Gurunya terus berjalan, menebas setiap tangan yang mendekatinya hingga dia tiba di bawah lengkungan batu yang memisahkan lorong dengan ruang penyimpanan. Dia mengangkat pedangnya tinggi lalu menebaskan secara vertikal ke arah kotak emas. Hempasan anginnya membuat seluruh aura hitam yang mengelilingi ikut terbelah. Tanpa membuang kesempatan, gadis itu melompat maju dan menutup kotak itu lalu merapal mantra. Dia menuliskan huruf-huruf kuno dengan jarinya di udara sekitar kotak tersebut, meninggalkan jejak cahaya berpendar merah yang mengikuti gerakannya. Kotak itu bergetar hebat, gurunya mati-matian menahannya dengan mantra. Setelah seluruh tulisan itu selesai, perlahan-lahan gerakannya berkurang hingga akhirnya berhenti. Suasana tempat itu terasa sedikit terang, kutukan itu telah terangkat.
Sang guru terdiam sejenak, memandangi kotak yang kini tampak tenang. Di bawah cahaya obor, Illa yang perlahan mendekatinya dapat melihat bahwa gurunya menutup matanya erat, menahan berbagai emosi yang berkecamuk dalam senyap. Hatinya kembali terasa sakit.
"Guru?" panggilnya tanpa sadar, seakan gadis itu akan pergi jauh bila dia tidak memanggilnya.
Gurunya menoleh ke arah Illa, seakan baru menyadari keberadaan anak itu. Bayangan hitam dari wajahnya terangkat, senyum yang dinantikan Illa kembali muncul.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil mengangkat kotak itu dan memasukkannya ke dalam tas bepergiannya. Illa bertanya-tanya, bagaimana tas berukuran sedang itu dapat menampung dari buku, pakaian sampai benda-benda kuno yang dibawa gurunya untuk dijual.
Illa mengangguk. "Apa yang akan Guru lakukan selanjutnya?"
Gadis itu mengambil napas berat dan menghembuskannya. "Kotak ini baru saja dibuat. Ada seseorang yang membunuh ribuan jiwa manusia dalam waktu singkat hingga menghasilkan benda ini." Dia terdiam sejenak, pandangannya menerawang jauh. "Orang itu merencanakan sesuatu yang sangat jahat ...."
Mata hijaunya kembali meredup, membuat Illa merasa takut. Anak itu meraih tangan gurunya.
"Aku lapar," ucapnya membuat wajah gadis itu menoleh dan memandangi dengan mulut ternganga melongo.
Sang guru mendengus menahan tawa dan mengacak rambut Illa. Rasa hangat kembali muncul di dada anak itu, membuatnya tersenyum. Dia senang bisa mengembalikan lengkungan manis di wajah gadis itu.
"Setelah aku membereskan ruangan ini." Gadis itu mengangkat tangan, seketika ada pusaran angin lembut mengangkat semua debu. Satu ayunan tangan lagi dan benda-benda melayang di antara mereka. Gurunya berada di tengah ruangan dan satu per satu benda mengantri di depannya untuk dinilai.
Illa melihat hal yang terjadi di depannya dengan kagum. Tanpa banyak bicara, gadis itu memilah dan memilih barang-barang yang sekiranya dia anggap berharga. Setelah sepuluh menit, gurunya telah memegang sebuah buku dan sebilah pedang. Illa mengerutkan alis, di antara semua benda di ruangan itu, gurunya memilih benda yang sepertinya tidak laku dijual. Gadis itu berjalan menuju obor dan mengangkatnya lalu kembali menaiki tangga. Illa mengekor di belakangnya.
"Guru, mengapa tidak mengambil perhiasan emas?" tanya Illa penasaran. "Walau kusam, aku berani bertaruh harganya mahal."
Gurunya tertawa kecil. "Buku ini ditulis oleh seorang penyihir yang hidup seratus tahun silam, memiliki sisa-sisa sihir yang berbahaya bila ditemukan oleh manusia biasa dan pedang ini sebenarnya adalah buatan seorang pandai besi yang bisa memasukkan elemen alam ke dalam bilahnya." Gadis itu memasukkan kedua benda itu ke dalam tas bepergiannya. "Dengan sedikit perbaikan, dia akan kembali bersinar di tangan yang mampu."
Illa mendengarkan penjelasan itu dalam diam sambil memandangi wajah gurunya yang diterangi api. Dia ingin tahu lebih banyak tentang dunia gurunya, mengenal gadis itu, dan menjadi lebih kuat. Kilasan saat gurunya nyaris ditarik oleh tangan hitam itu kembali terputar di benaknya. Saat itu, dia tidak bisa melakukan apapun untuk membantu.
"Aku ingin belajar sihir," ucapnya ketika mereka mendekati pintu. Gurunya berhenti berjalan, menoleh dan memandangnya. Illa tidak dapat membaca arti pandangan itu. Ada senyum, ada pula kesedihan di sana, ada kelegaan namun juga rasa takut. Jantung anak itu berdentam-dentam ketika membalas tatapan itu.
"Itu pasti, Illa. Aku akan mengajarimu semua hal yang aku tahu," gadis itu menepuk kepala Illa lembut, "dan suatu ketika, kamu akan lebih hebat dariku ...."
Kalimat itu menggantung di udara. Sang guru membuka mulut hendak berbicara namun ditahan dan menggantinya dengan senyum lalu membalikkan badan.
Illa mengikuti langkah gurunya, bertanya-tanya dalam hati apa lanjutan dari perkataan itu namun mengurungkan niatnya untuk bertanya. Entah mengapa, dia takut mengetahuinya.
Anak itu kembali menatap wajah sang guru, mendapati bahwa pikiran gurunya telah melayang entah ke mana. Tanpa berkata lebih jauh, Illa meraih tangan gurunya yang tidak memegang obor dan menggenggamnya erat, seakan tangan itu dapat terlepas kapanpun, pergi ke tempat yang tidak dapat dijangkau.
______________________________________
Aku menyerah untuk membuat cerita ini lebih pendek //ketawa garing
Di sini mulai kelihatan sisi lain dari si guru yang kelihatan perfect di chapter-chapter sebelum ini huehehehe she is one of my fave character :3 dan aku ga sabar buat eksplor karakternya dia :D
Oh ya, aku akan ngadain Giveaway begitu view cerita ini menembus 1000 huehhehe stay tune yaaaa :D
Btw, gambar dibawah ini menggambarkan hubungan illa dan gurunya wahahahhahaahha imut ya? //dibuang
Sampai jumpa minggu depan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top