Chapter 33

Bodoh.

Aku akan menjadi Noxis pertama yang mati.

Tubuhku jatuh dan menghantam tanah. Ketika aku hendak menyerah sepenuhnya pada gelap, sebuah suara terdengar nyaring.

"ILLA!!!"

"Illa!"

Pria yang dipanggil itu nyaris tidak mendengar suara teriakan. Darahnya sudah sampai ke ubun-ubun, melampiaskan rasa frustrasi dengan menyeret buku-buku dan perkamen dari atas meja kayu, membiarkan mereka jatuh berdebum di lantai. Masih belum puas, dia berteriak lantang sebelum menggebrak meja hingga barang-barang yang tersisa di sana bergetar.

"SIAL!!!" umpatnya kasar, sambil terengah. Bukannya mendapatkan ketenangan, dadanya terasa makin sesak.

"Illa," panggil seseorang lagi, sebuah sentuhan lembut menyapa indranya.

Illa menoleh dan mendapati iris berwarna hijau menatap teduh, mengembalikan akal sehat dan membuatnya sadar bahwa saat ini dia berada di ruang rahasia milik Eibie,  dikelilingi oleh lemari berisi berbagai macam benda. Amarahnya mereda, namun kerutan di dahinya makin dalam.

"Eibie," balasnya lemah, menyentuh pipi gadis itu yang mengurus. "Teoriku gagal. Aku tidak bisa mempertahankan segelku tanpa memakai jiwamu." Illa terdiam sejenak. "Satu-satunya yang belum kucoba adalah menggunakan jiwa orang lain un--"

"Jangan, Illa." Gadis itu memegang tangan Illa penuh kesungguhan, menatap suaminya dengan rasa takut. "Apapun yang terjadi, jangan pernah tergoda untuk memakai jiwa manusia untuk sihir. Akibat yang harus kamu tanggung terlalu besar. Aku tidak ingin melihatmu dikutuk oleh semesta."

Illa terdiam, balas menggenggam sebelum menutup matanya pedih. "Sekarang aku tahu apa yang membuat James begitu putus asa hingga dia ingin menghidupkan istrinya," ucapnya memandang ke dalam mata Eibie. "Saat ini aku sedang memikirkan hal yang sama agar dirimu tetap hidup. Aku tidak keberatan jika harus lenyap selamanya. Bukankah itu yang kamu lakukan untukku ketika memasang segel padaku?"

Gadis itu diam. Mata hijaunya berkaca-kaca dan menyandarkan kepalanya pada dada Illa, menekan segala emosi yang berkecamuk dalam dada, membendung air mata.

Illa ingin berkata-kata tapi lidahnya kelu. Rasa pedih membuncah dalam dirinya, membuat matanya kabur oleh cairan. Tangannya merengkuh sang kekasih dalam pelukan erat, bertanya-tanya dalam hati, sampai kapan dia masih bisa mendekap pinggang ramping itu dan menyesap wangi familiar yang menemani hari-harinya. Saat ini dia merasa seperti memeluk benda rapuh yang sewaktu-waktu lenyap.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanya pemuda itu putus asa, suaranya bergetar menahan emosi. "Kamu sudah melepas segelku dan waktu terus berjalan. Aku bisa menjadi Noxis kapan saja dan membunuhmu."

Eibie melepas pelukan untuk menatap wajah pria yang telah menemani hidupnya selama ratusan tahun. Ada senyum di sana, walau pedih.

"Kita menikmati waktu-waktu yang tersisa, Illa," ucapnya tegar.

Illa mendengus dan tersenyum sinis. "Dan membiarmu menjemput ajal di tanganku? Aku lebih baik menjadi Soul Eater daripada membunuhmu." Dia menarik kepala Eibie dan menyandarkannya ke dada. "Jangan memintaku melakukan hal mengerikan itu." Suaranya tercekat, menahan emosi yang kembali naik.

Gadis itu membiarkan sunyi turun, memberi waktu bagi Illa untuk mengendalikan diri dan menikmati detik yang berjalan pelan di antara mereka. Illa sendiri tetap diam, merasakan hembusan napas Eibie dan menghitung waktu. Seandainya saja dia bisa menghentikan masa, dia akan membiarkan dunia terhenti agar mereka bisa saling memiliki lebih lama. Bayangan perpisahan yang menggantung, mengganggunya. Apakah keinginan sederhananya itu terlalu berlebihan bagi Takdir?

"Illa," panggil Eibie pelan, membuyarkan hening. "Aku tidak keberatan bila itu dirimu."

Illa terdiam, berusaha mencerna.

"Apa maksudmu?"

"Selama ribuan tahun, aku menunggu siapa yang bisa membuatku beristirahat." Dia mengangkat kepala, menatap ke arah Illa. "Dan aku bersyukur aku bertemu denganmu. Waktu itu kamu masih setinggi ini." Eibie tersenyum manis menatap Illa dan meletakkan tangan sedikit di bawah bahunya.

Wajah Illa melembut, mengingat kenangan lama itu. Dia mengambil tangan istrinya dan dikecup pelan. "Kurasa aku sudah jatuh cinta padamu saat pertama kali menggenggam tangan ini."

Eibie memperlebar senyumnya dengan rona merah muda menjalar di pipi. Dia terdiam sejenak sebelum senyumnya memudar dan melanjutkan, "Sejak awal aku tahu bahwa aku akan meletakkan beban yang berat di pundakmu. Karena itu, aku menginginkanmu hidup seperti manusia normal sebelum kamu tahu tanggung jawabmu." Dia menghela napas. "Dan semakin berat mengatakannya padamu ketika aku tahu, aku telah jatuh cinta." Suaranya bergetar. "Bertahun-tahun aku berusaha menahan diri, sambil berharap kamu menyerah, mendesakmu perlahan agar tidak mengambil keputusan menjadi Noxis."

"Tapi aku terlalu keras kepala," sambung Illa, tersenyum lemah.

Diam kembali hadir di antara mereka. Hanya lewat pandangan mereka bertukar rasa, membagi kata yang tak terucap.

Sunyi, hingga sebuah hembusan napas terdengar.

"Illa, bila saat itu aku mengatakan tugas pertamamu sebagai Noxis adalah membunuhku, apakah kamu tetap memilih menjadi salah satunya?"

Pemuda itu terdiam lama, menatap ke arah Eibie dan menimbang. Jika dia memilih menjadi manusia, Illa membayangkan detil demi detil kehidupannya. Dia bisa memilih wanita lain untuk dicintai, menjadi tua dan meninggalkan keturunan, tapi ada sesuatu yang salah ketika dia harus berpasangan dengan orang lain. Pelukannya, genggaman tangan, kecupan selamat malam, semuanya itu akan berbeda. Illa yakin tidak akan terasa pas seperti saat ini, ketika dia memeluk Eibie.

Pemuda itu tersenyum pedih. Bahkan jika dia memilih untuk tetap bersama dengan gadis itu pun, waktu-waktunya tidak akan sepanjang ini. Dia akan menjadi tua dalam sekejap dan meninggalkan gadis itu sendirian. Rasa pedih lain menusuk dadanya tajam. Ratusan tahun yang dia habiskan dengan istrinya, tidak akan pernah ada.

Sebuah senyum pahit muncul di wajahnya, memberikan sebuah jawaban pasti, "Aku akan tetap mengambil pilihan yang sama ...."

Dia kembali memeluk gadis itu erat, menyembunyikan air mata yang mengalir di pipinya, mengambil napas dalam-dalam untuk menahan diri. "Aku tetap memilih menjadi Noxis, karena aku tidak pernah menyesal melewati ratusan tahun bersamamu, Eibie," ucapnya bergetar. Butiran air mata terus menetes. "Aku akan mengambil pilihan untuk bersamamu, tidak peduli berapa kali pun aku ditawarkan untuk mengubah masa lalu. Aku akan tetap memilihmu."

Illa menggigit bibir, menahan getaran mulutnya, menghirup napas dan terisak. Seluruh sarafnya merasakan keberadaan Eibie dengan lekat. Dia tidak akan mengganti pilihannya, walaupun semuanya akan mengarah ke saat ini, di mana dia harus membunuh kekasihnya.

"Aku juga. Aku tidak pernah menyesali waktu-waktu yang sudah kita lalui. Kenangan bersamamu adalah hal terbaik yang bisa aku dapatkan selama hidupku yang panjang dan kosong. Aku bahagia, Illa."

Sebuah hentakan seakan menghantam dadanya. Tiba-tiba Illa mengerti apa maksud perkataan Diyn ketika berada di kompendium. Alasan utama mengapa Diyn memilihnya menjadi Pemusnah. Anak itu memberi mereka kesempatan bertemu dan saling mencintai, melebihi waktu yang dimiliki oleh manusia normal. Sebuah hadiah yang diberikan oleh Takdir, sebagai ganti kepedihan.

Illa tersenyum getir, mengingat ucapan yang pernah dikatakan oleh Eibie, Takdir selalu memiliki cara mendapatkan apa yang dia mau dengan cara yang terbaik.

"Illa," panggil gadis itu lirih. "Aku tidak keberatan bila aku harus mati sebagai benda sihir, asal aku bisa lebih lama bersamamu--"

"Aku akan melakukannya," potong Illa melepas pelukan mereka, memandang ke arah wajah kekasihnya dengan penuh tekad, sambil tersenyum sedih. "Aku akan membantu mendapatkan istirahatmu."

"Illa?" tanya gadis itu terkejut.

Dadanya kembali berdenyut nyeri, berusaha menyimpan baik-baik ekspresi manis istrinya dalam benak. Suatu ketika, dia akan mengingat semuanya itu ketika gadis itu pergi.

"Aku akan ...." Dia berusaha mencari kata ganti yang tepat, karena membunuh terlalu kejam. "Aku akan melepaskanmu."

Lawan bicaranya tertegun.

"Bukankah itu keinginanmu?"

Eibie tersenyum pedih. "Ya, walaupun aku tidak keberatan bersamamu lebih lama." Dia memperlebar senyumnya. "Aku mau menghabiskan keabadian bersamamu, Illa."

"Aku akan memberikanmu istirahat, Eibie." Illa mengecup kelopak mata istrinya. "Kamu berhak untuk itu, setelah ribuan tahun tanpa memejamkan mata. Setelah ini, tidak akan ada malam-malam panjang lagi. Jiwamu akan beristirahat."

"Tapi kamu yang akan sendirian, Illa." Ada kekhawatiran dan kesedihan di matanya. "Tidak ada yang menemanimu menghabiskan waktu."

"Aku punya ratusan tahun penuh kenangan bersamamu. Kurasa itu cukup ...." Illa meragu di akhir kalimat.

"Maaf," ucapnya tercekat. "Aku berharap aku bisa meminta orang lain yang melakukannya ...."

"Jangan meminta maaf." Illa menyentuh dagu gadis itu, mengarahkan pandangan mereka agar bertemu.

Eibie tersenyum lemah. "Terima kasih, Illa."

Illa membalas sebelum mengecup bibirnya pelan. "Aku akan sangat merindukanmu."

"Aku juga."

Senyum pria itu melebar. Dia membelai rambut coklat lembut itu sebelum mengambil napas putus asa. "Tapi aku tetap tidak bisa membayangkan diriku melukaimu. Aku takut, saat hal itu terjadi, aku tidak bisa melakukannya .... Jangan minta maaf!" potongnya ketika Eibie hendak membuka mulut. "Kamu tahu, aku akan melakukan apapun untukmu."

Ucapan itu berhasil membuat senyum lebar muncul di wajah Eibie. Illa berusaha untuk mengingat detil ekspresi milik istrinya. Dia pasti merindukan saat-saat ini, saat-saat di mana dia dapat menyentuh pipi lembut itu.

"Aku mencintaimu, Illa," bisik Eibie.

"Aku lebih mencintaimu."

Illa membulatkan tekad. Jika dia harus melakukan ini, dia akan melakukan dengan caranya. Dirinya akan bertemu Diyn dan mengajukan syarat agar dia mau melakukan tugasnya, sama seperti yang dilakukan Eibie ribuan tahun silam.

_____________________________________

Halo!!! Maaf terlambat!!! Aku baru saja bergulat dengan deadline dan jujur, mengetik chapter ini cukup menguras emosi //nangis gegulingan

Cerita ini akan sudah masuk bagian-bagian akhir. Mungkin 3 chapter lagi dan cerita ini akan selesai :'D

Apa yang akan terjadi untuk mereka berdua? Apa Illa berhasil mencurangi Takdir? Ufufufufufu

Sekali lagi maafkan untuk chapter yg pendek hahahaha //ketawa garing semoga chapter depan bisa lebih panjang! See you next week!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top