Chapter 32
Tatapan Takuto mengarah ke belakangku sambil tersenyum miring. Leherku seketika terasa kaku, tahu ke siapa dia memandang.
"Eibie adalah dia. Kamu yang memberinya panggilan itu."
Aku menoleh perlahan, sementara jantungku bertalu-talu. Apakah itu berarti aku harus--
Gadis itu tersenyum penuh arti.
"Halo, Pemusnah."
Tawa parau keluar dari mulutku, lelucon macam apa ini?
"Tidak mungkin," ucapku dengan dengusan. "Aku harus membunuh orang yang menjadi alasanku untuk mencari ingatan?"
Takuto hanya mengedikkan bahu. "Terserah, aku sudah melakukan tugasku untuk mengantarmu padanya."
Pemuda itu berjalan menjauh tanpa peduli, meninggalkan diriku yang gamang. Sekali lagi aku memandang ke arah gadis yang masih tersenyum, berusaha mencari arti dari segala kejadian ini.
"Mengapa?" tanyaku pada akhirnya, masih dipenuhi teka-teki. "Bukankah suaramu yang menuntunku?"
Senyumnya memudar sebelum akhirnya dia memutus tatapan. Tiba-tiba aku merasa kosong, sesuatu seperti terambil dari dalam jiwa, membuatku memandangnya putus asa, masih berharap bahwa semua ini adalah mimpi.
"Takuto, apakah dimensi ini sudah stabil?" tanyanya seraya menuliskan mantra-mantra di sekeliling dirinya. Jejak jarinya meninggalkan tulisan dengan pendaran warna perak mengelilingi gadis itu, membuatku menahan napas. Itu adalah mantra pelepas segel. Dilihat dari berlapisnya penghalang, itu adalah segel yang sangat kuat.
Aku menelan ludah. Dia benar-benar harus kuhadapi. Seharusnya aku menyerangnya sekarang, sebelum kekuatannya sempurna, tapi seluruh tubuhku kaku. Diriku bimbang, antara mengikuti kata hati untuk tidak membunuhnya atau mengikuti kata pikiran yang meneriakkan tugasku.
"Aman," balas Maut memandang ke kejauhan. "Apapun yang terjadi di sini, tidak akan sampai ke luar."
Eibie mengangguk sambil menyelesaikan sihirnya.
Entah sejak kapan salju biru telah berhenti dan langit berubah menjadi ungu gelap. Bulan merah menggantung rendah dan terlihat begitu besar, seakan hendak menabrak bumi. Gedung-gedung pencakar langit kini berubah menjadi bentukan sureal yang tak bisa lagi kudefinisikan, meliuk dan terdistorsi menjadi lebih organik. Sudut-sudut kakunya berganti menjadi lengkungan dan jendela-jendela kotaknya berbentuk bundar tidak beraturan. Tiang lampu bengkok dan cahaya suramnya mengarah ke atas. Suasana menjadi lebih teduh dan mencekam. Hanya ada kesunyian dan kami bertiga di sana, tapi mengapa aku masih enggan memunculkan Soul Wind dan menyerangnya?
"Bunuh aku, maka kamu akan mendapatkan kebenarannya, Pemusnah." Dia memberikan titik terakhir pada rangkaian tulisan, nada suaranya datar. "Jangan biarkan bayangan-bayangan menghantuimu. Itu hanya gaung buram. Jauh, dan tidak nyata. Orang yang kamu cari, berada di ingatanmu. Dia menunggumu menyelamatkannya."
Ucapannya tidak berhasil membuatku bergerak. Aku masih tetap terpaku di tempat, memandangi mantra penyegelnya lenyap, terburai menjadi jutaan cahaya kecil. Seketika ada sebuah kekuatan yang berasal dari dirinya mendesakku mundur. Dimulai dari ujung, rambut coklatnya perlahan berubah menjadi perak dan tubuhnya berpendar putih. Sambil menahan napas, aku menyadari bahwa benda-benda kecil di sekitarku bergetar lalu melayang rendah, akibat kekuatannya yang begitu dahsyat.
Ini buruk.
Alarm di kepalaku berdering nyaring menyerukan tanda bahaya, agar aku melakukan sesuatu sebelum semuanya tambah parah, tapi aku hanya bisa berdiri di sana dan menatap ke arah sosok yang kini ikut melayang beberapa senti dari tanah. Sesuatu berbau nostalgia menyeruak dalam benakku tanpa diminta. Aku seperti pernah melihat pemandangan ini sebelumnya dan kesan yang timbul adalah rasa kagum beserta sebuah perasaan lain yang asing. Jantungku berdetak keras sambil bertanya-tanya kapan dan di mana aku pernah mengalami hal ini.
"Eibie," ucapku lemah. Nama itu meluncur begitu saja. Aku pasti sudah gila ketika kakiku justru melangkah mendekatinya. Kepalaku kosong dan tidak dapat berpikir jernih, pandanganku hanya tertuju pada dia, hingga sebuah bilah pedang mengarah tepat ke dahi.
Aku menghindar tepat sebelum ujung pedangnya menembus tempurung kepala. Dia serius untuk menyerang. Sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, sebuah serangan datang dari sisi kiri. Secara reflek aku memunculkan Soul Wind untuk menahan bilah besi berukiran emas tersebut. Dia menarik pedangnya untuk mengambil momentum sebelum menusuk, membuatku melompat mundur, menjaga jarak.
Ketika aku mengangkat kepala, kulihat tangannya mengayun anggun. Tekanan angin berubah dan samar-samar aku melihat angin bertekanan tinggi berbentuk pisau mengarah ke arahku. Sepersekian detik, aku berteleportasi, menyelamatkan diri. Serangan itu menembus lantai batu, menyisakan lubang-lubang berjumlah puluhan, membuatku menelan ludah. Tidak terbayang bila aku terlambat menghindar.
Ugh! Aku kembali merasakan pergerakan udara, dia sudah berada di belakangku, mengayunkan pedang tepat ke leher. Secepat mungkin aku menyiagakan Soul Wind untuk menahan. Pedang berukiran indah itu tertahan, aku mengambil napas lega. Sepertinya aku sela--
"Argh!!!"
Aku merasakan bilah beku menembus perut. Rasa sakit bercampur dingin menjalar cepat, membuatku kembali berteleportasi menjaga jarak. Sebuah pedang es tercipta di tangan kirinya, benda itu yang merobek organku.
Sial!
Jelas level Eibie berbeda dengan Soul Eater yang pernah kuhadapi. Tanpa memberikan jeda, gadis itu muncul di dekatku, mengayunkan kedua pedangnya sekaligus. Dua bilah Soul Wind untuk menahan, memberikan kesempatan bagiku membalas, tapi gerakanku tertahan. Membayangkan dia terluka karena diriku membuat isi perutku seperti diaduk. Keraguan kembali hadir dalam benak, apakah yang kulakukan ini benar?
Kebimbanganku dipakainya untuk menghujani diriku dengan tebasan-tebasan pedang. Aku tidak memiliki pilihan selain menahan dengan pedang angin yang kugerakkan di sekelilingku. Gerakannya cepat, aku kesulitan mengikuti arah serangannya.
Lagi-lagi aku mengumpat dalam hati, mengapa diriku masih enggan melukainya walau jelas-jelas Eibie bertekad menghabisiku. Seluruh serangannya diarahkan ke titik vital, hanya reflek dan kebiasaan yang membuatku masih tidak tergores.
Kebiasaan?
Hatiku kembali berdenyut sakit. Apakah ini berarti kami sudah sering bertarung seperi ini, hingga tubuhku mengingat detil gerakannya?
Dia terus menyerangku hingga pedang esnya patah, memberikan celah bagiku untuk menjaga jarak. Tidak lama, Eibie mengayunkan tangannya dan pilar-pilar api muncul untuk mengurungku. Rasa panas langsung menyengat kulit. Untungnya, aku sigap, segera saja kubalas dengan mengendalikan api itu untuk menyebar dan mengembalikan sihir itu kepada sang empunya. Eibie menggunakan bola-bola air untuk memadamkan seranganku, membuat uap air memenuhi udara.
Aku kesulitan untuk melihatnya di antara kabut putih dan memutuskan untuk meniupkan angin agar kamuflase itu hilang. Tindakanku tepat, kutemukan dia sedang mengambil ancang-ancang untuk melesakkan pedang ke jantungku. Aku mengelak tepat waktu, menggeser badanku sehingga hanya lengan yang tergores dan mengambil kesempatan untuk menendang pedangnya hingga terlempar sekitar lima meter. Dengan sigap, kuraih tangan dan memelintirnya ke belakang, mengunci gerakan agar dirinya mau mendengarkan aku.
"Kita harus bicara," ucapku sementara dia menggeram tertahan. "Aku tidak ingin melukaimu dan aku yakin kamu adalah orang yang kucari." Aku merasa perlawanannya melemah, membuatku makin yakin untuk melanjutkan. "Dengar, kita bisa hentikan ini, aku tidak keberatan kehilangan ingatanku. Asal--" Suaraku tercekat, hatiku kembali berdenyut sakit karena rindu. "--kita bisa memulainya dari awal."
Diam. Dia tidak membalas, namun berhenti melawan sama sekali. Jantungku berdebar menunggu apa yang akan terjadi, berharap dia menerima argumenku. Sungguh, membayangkan dirinya terluka membuat napasku sesak.
Merasakan dirinya lebih tenang, aku melonggarkan cengkramanku perlahan hingga akhirnya dia terlepas. Akhirnya, kami bisa berbicara.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi tolong jelaskan. Aku yakin kamu punya alasan hingga menyegel ingatanku dan--"
Bilah pedangnya menembus dadaku hingga ke punggung. Aku tidak sempat melakukan apapun untuk meresponi serangan mendadak itu. Mataku terbelalak kaget ketika bertemu dengan iris hijau yang menatap tajam. Kelebatan pertanyaan berputar cepat dalam ingatan, sementara semuanya berjalan dalam gerakan lamban.
Eibie menarik pedangnya keluar dari diriku. Anehnya aku tidak merasakan apa-apa, sarafku masih berusaha mencerna kejadian mendadak ini. Hanya saja, secara sadar aku tahu, udara terdorong keluar dari paru-paru dan napasku tercekat. Kekuatanku menghilang begitu cepat, meninggalkan kakiku yang kini tertekuk dan menghantam tanah.
Perlahan aku merasakan sakit yang menjalar dimulai dari dada. Begitu ngilu dan menyengat. Pandanganku menggelap seiring kesadaran yang terenggut.
Hal terakhir yang aku lihat adalah dirinya yang berdiri tegak dengan pedang terhunus dan menatap dingin. Aku menutup mata, sambil bertanya-tanya apakah aku melakukan tindakan bodoh dengan bersikap lunak pada lawan yang harusnya kubunuh? Anomali terkuat yang mengancam keseimbangan.
Entah. Aku tidak bisa menemukan jawabannya, tapi kurasa tidak buruk juga. Lebih mudah bila aku yang terluka daripada melihatnya berlumuran darah ....
Bodoh.
Aku akan menjadi Noxis pertama yang mati.
Tubuhku jatuh dan menghantam tanah. Ketika aku hendak menyerah sepenuhnya pada gelap, sebuah suara terdengar nyaring.
"ILLA!!!"
__________________________________
Hyaaaaaa maafkan keterlambatanku untuk up!!! //Nangis gegulingan
Dan maafkan kalo cerita kali ini kualitasnya menurun baik jumlah kata maupun deskripsinya :,< aku tidak sempat untuk QC dengan maksimal hiks
Oh ya, masih ingat voting kemarin? Berikut ini adalah cover pemenangnya
The Darkest Ray bisa di pre order di www.andhyrama.com ^^
Heheheheh
Gitu deh
Sampai jumpa rabu depan :D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top