Chapter 24

Pandangan Illa mengabur. Kenangan demi kenangan bercampur jadi satu. Karena itukah jiwanya diinginkan oleh Soul Eater? Karena itukah sang guru menemukan dan merawatnya? Apa yang harus dia lakukan sekarang? Beban apa yang harus dia tanggung? Dia menatap gadis itu dengan tatapan bingung bercampur takut, membuat gurunya tersenyum menenangkan. Tangannya terulur menepuk rambut hitamnya pelan, membuat perasaan yang berkecamuk perlahan mereda.

"Jangan takut, aku disini untuk memberimu pilihan." 

"Pilihan?" tanya Illa pada akhirnya.

Gadis itu tersenyum lemah. "Ya, kamu bisa memilih untuk tetap menjadi manusia atau memilih menjadi seorang Noxis, makhluk yang abadi." Pandangan matanya jatuh ke arah karpet berwarna merah tua di lantai. "Jika kamu memutuskan menjadi manusia, aku akan mengambil seluruh kekuatanmu, Illa."

Illa melihatnya mencabut kristal berwarna hitam dari sampul buku dan membuatnya melayang di atas telapak tangan kiri. Dia tidak terlalu mengerti, tapi raut wajah sang guru membuatnya terganggu. Sang guru tersenyum tipis, hanya saja Illa sudah tahu kalau itu adalah wajah yang dia pasang kalau sedang menyembunyikan sesuatu. Pemuda itu meraih tangan kanan gadis itu dan menggenggamnya erat, kali ini dia tidak akan membiarkannya menanggung semuanya sendirian. 

"Bila aku memilih menjadi Noxis, apakah itu berarti aku bisa bersama guru lebih lama?" tanyanya memandang mata hijau itu lekat. Dia tahu apa yang paling penting dalam hidupnya dan akan mendasarkan pilihannya pada hal itu. Peduli setan dengan keabadian. 

Gurunya tidak menjawab, hanya seulas senyum lembut penuh terima kasih yang membuat debaran di dada Illa tidak terkendali. Ingin sekali pria itu menariknya dalam pelukan.

"Sudah kuduga kamu akan menjawab seperti itu." Gadis itu tertawa kecil. Illa dapat melihat rasa senang di matanya yang dinodai oleh setitik kesedihan di sana, membuat Illa menahan napas. "Tapi aku tidak ingin kamu menyesal. Keabadian tidak seindah yang kamu bayangkan."

Illa dapat merasakan tangannya diremas oleh sang guru.

"Setiap orang yang kamu kenal akan meninggalkanmu, Illa. Waktumu terhenti sementara dunia terus berputar dan menjadi tua. Pada akhirnya, hanya ada dirimu sendiri dan kesepian." Mata gadis itu meredup. Illa merasakan dadanya dibelit rasa sakit, berusaha menahan dirinya dari membelai pipi berwarna gading tersebut.

"Tapi Guru memiliki aku, bukan?" balas Illa berusaha melunakkan suasana. "Bila aku memilih menjadi Noxis, aku akan menemani Guru."

Lawan bicaranya terdiam, sekali lagi menyunggingkan senyum itu dan menatap Illa lekat. Dia dapat merasakan pikiran-pikiran berkelebat di balik iris berwarna hijau itu. Pikiran-pikiran yang tidak bisa dia baca dan lagi-lagi ada setitik kesedihan di sana, rasa tidak nyaman menggelayuti benak. Namun berusaha dia singkirkan. Hanya ada satu hal yang pasti di sini, dia akan menemani gurunya. Illa tersenyum dalam hati, keputusan yang akan mempengaruhi hidupnya dapat dia ambil dalam sekejap. Dia kagum pada dirinya sendiri.

"Terima kasih, Illa," ucap gadis itu, mengakhiri kesunyian yang menggantung, sambil meletakkan kembali kristal hitam itu ke dalam sampul buku. "Aku akan tetap menyimpannya, jika sewaktu-waktu kamu berubah pikiran. Masih ada waktu sampai perubahanmu sempurna. Aku telah memasang beberapa mantra untuk melambatkan perubahanmu." Dia menghela napas.

Illa tidak langsung menjawab. Dalam hati, dia sedang menilai butuh waktu berapa lama untuk dirinya mengalahkan sang guru. Seulas senyum muncul di wajahnya ketika dia mengingat janji ketika mereka pertama kali bertemu, dia boleh memanggil gurunya dengan nama bila sudah berhasil mengalahkannya dalam adu pedang. Illa bertanya-tanya, apakah itu sebuah kesempatan untuk memberitahu sang guru bahwa dirinya bukan lagi seorang anak kecil lemah yang dia temukan dulu?

Apapun, suasana hati Illa membaik, dia memiliki waktu lebih lama bersama dengan gadis itu. Bukan hanya lebih lama, dia memiliki segala waktu di bumi.

Senyumnya melebar. Dia tidak menyangka dia akan menerima berita ini dengan mudah.  Hidup dalam keabadian tidak semenakutkan yang dia bayangkan, terutama karena dia tahu dengan siapa dia akan menghabiskan keabadian itu. Hanya satu yang masih mengganggunya, ekspresi sang guru yang masih terlihat banyak pikiran, seakan-akan keputusannya tidak sesuai dengan keinginan gadis itu.

"Sebisa mungkin kamu segera mengalahkan Soul Eater yang telah mengambil jiwamu," gumam sang guru mengerutkan alis. "Dengan demikian, proses perubahanmu akan berjalan normal." Dia menghela napas dalam. "Seandainya saja aku bisa membunuhnya, dia tidak akan merepotkanmu."

Gadis itu lagi-lagi mengenggam tangan kirinya hingga buku-bukunya memutih. Illa kini tahu bahwa perasaan sesallah yang memenuhi pikiran gadis itu, membuat pria itu tersenyum lembut.

"Aku tidak apa-apa, Guru," ucap Illa menenangkan, menarik kedua tangan guru dalam genggaman lalu membelai lembut jari-jarinya. "Aku akan menjadi kuat dan mengalahkannya lalu kedamaian akan kembali ke muka bumi, seperti pahlawan."

Sang guru tertawa, membuat dada Illa berdesir, oh betapa dia ingin membuat gadis itu tertawa lepas seperti itu di setiap waktu. "Aku tahu. Aku akan melatihmu menjadi orang terkuat hingga tidak ada seorang pun di seluruh dunia yang bisa mengalahkanmu."

"Dan aku akan melindungimu, Guru," balasnya, menatap lawan bicaranya penuh kesungguhan. Illa berjanji, dia tidak akan membiarkan gurunya terluka lagi. 

Gadis itu membalas tatapan Illa dengan sebuah senyum dan keadaan kembali hening. Samar-samar terdengar suara dari luar, orang berceloteh dan derit roda kereta yang membawa penumpang, sementara sinar matahari makin lemah, menyisakan sisa-sisa redup yang mulai digantikan oleh lampu-lampu minyak. 

Baru saja Illa ingin melerai kesunyian, sebuah ketukan pintu membuat perhatian mereka teralihkan. Dengan enggan, pria itu melepas genggamannya pada sang guru dan berjalan untuk membukanya, James Jr. muncul dari balik kayu berukiran rumit sambil tersenyum.

"Sudah selesai berbelanja?" tanya Illa basa-basi, bergeser dari pintu, mempersilakan pria itu masuk.

"Aku sudah membelikan oleh-oleh untuk Timmy dan Maria, mewakili kalian juga," tambahnya membuat Illa mengulum senyum. Jubah hitamnya bergerak seiring langkah.

"Katakan saja, kamu memang ingin membeli hadiah lebih banyak." Illa menutup pintu lalu berbalik, mendapati sahabatnya sedang menghormat singkat kepada sang guru. Sosok James Jr. tidak banyak berubah selain garis wajahnya yang makin tegas. Rambut pirangnya yang bergelombang dibiarkan tumbuh melebihi telinga dan kini dia menumbuhkan jenggot tebal memenuhi pipi dan dagunya, membuat dia terlihat lebih tua sepuluh tahun daripada Illa. Katanya, supaya dia terlihat lebih berwibawa.

"Illa, apa kamu sudah mengundang Lady Bedelzve untuk datang ke pesta dansa yang diadakan Tuan Durand?"

Pernyataan itu membuat alis kedua orang itu mengerut. Illa mendengus. Dia lupa mengatakannya pada sang guru, akibat percakapan yang baru saja dia lalui. Gadis itu sendiri hanya mengangkat alis sebelum menggeleng pelan.

"Aku tidak suka pesta."

Illa langsung menghampiri dan duduk di sampingnya. "Guru harus datang," pintanya sungguh-sungguh. "Aku sudah bercerita tentang adikku yang ikut berkunjung ke Paris. Akan sangat menyinggung bila Guru menolak datang. Aku khawatir dia akan membatalkan perjanjian dagangnya denganku."

James Jr. menatap Illa dengan heran. Namun sahabatnya itu melemparkan tatapan yang memintanya bungkam. Illa yakin, apapun yang terjadi Tuan Durand tidak akan membatalkan perjanjian mereka, tapi dia juga harus membuat sang guru ikut bersamanya.

Gadis itu menghela napas. "Tapi aku tidak membawa pakaian pesta yang layak, lagipula butuh seorang perias, kecuali bila aku datang memakai pakaian pria."

"Tidak, Guru. Aku sudah bilang kalau adikku seorang perempuan." Illa tersenyum lebar, rencananya berhasil. "Dan untuk yang lain, aku sudah meminta James menyiapkannya."

Sahabatnya itu mengangguk, walau sedikit protes karena perannya lebih seperti seorang asisten pribadi. Illa masih melihat keberatan di wajah sang guru. Dia sangat tahu bahwa gadis itu tidak menyukai keramaian dan memilih menghabiskan waktu dengan mengurung diri di menara atau di kamar penginapan. Illa masih mengingat di pesta ulang tahun Catharine dua tahun lalu, sebelum gadis itu menikah dengan Duke of Wellington, gurunya hanya memberikan pertunjukan sihir api yang disamarkan menjadi sulap tanpa muncul ke publik. Illa kehilangan momen untuk mengajaknya berdansa, tapi tidak kali ini.

Terdengar ketukan di pintu sekali lagi. James Jr. sigap membukanya dan empat orang wanita berjalan masuk, rata-rata berusia tiga puluhan. Dua di antaranya membawa bak mandi kosong sementara dua lainnya membawa gaun berwarna biru muda beserta korset dan kerangka kayu berbentuk mangkok untuk membuat rok menggembung. Illa mendengar gurunya menghela napas, lagi.

*

Illa mengetuk-ngetuk kakinya tidak sabar di lantai. Dia baru tahu kalau menunggu seorang perempuan berdandan bisa sangat membosankan dan bersyukur bahwa gurunya tidak menyukai ritual merepotkan itu, sehingga dia tidak perlu menunggu seperti ini terlalu sering. Dia memandang ke arah James Jr. yang tampak tenang.

"Percayalah, Maria bisa dua kali lipat lebih lama dari ini," ucapnya membaca pikiran Illa sambil merapikan lipatan jubahnya.

Illa memutar bola mata. Di depan pintu penginapan sudah menunggu sebuah kereta kuda yang akan membawa mereka ke kediaman Tuan Durand yang berada sedikit di luar kota. Matahari sudah menghilang sepenuhnya di balik cakrawala, menyisakan semburat merah di antara langit yang dipenuhi bintang. Hawa dingin mulai menerobos di sela-sela jendela, pertanda bahwa musim gugur mulai tiba, membuat pria itu merapatkan jubahnya. Selagi menunggu dia menyapukan pandangannya ke ruang umum penginapan mewah di jantung kota Paris. Dia hanya menyediakan semua yang terbaik untuk sang guru, tidak kurang. Dua buah tangga melingkar berwarna kuning dan berkarpet merah, bertemu di puncak lantai dua di mana seorang putri bergaun biru berdiri di sana.

Putri? Illa terkesiap. Itu gurunya.

Gadis itu mengangkat sedikit gaunnya dan melangkah turun dengan keanggunan seorang bangsawan. Rambutnya dibiarkan tergerai melewati bahu, dihiasi oleh kain beludru berwarna hijau dan bermanik emas. Gaun berkerah kotak rendah mempertontonkan leher jenjangnya, tempat sebuah kalung mutiara melingkar manis, sedikit tertutup oleh mantel bulu. Illa menahan napas ketika akhirnya gadis itu berdiri di sampingnya.

"Sepertinya saya harus lebih sering mengajak Anda ke pesta, Lady Bedelzve." Suara James Jr. membuat Illa kembali ke dunia nyata. Airlann mengulurkan tangannya dan disambut oleh James Jr., untuk dikecup sopan sebagai tanda hormat.

Illa segera menyadarkan dirinya dan menawarkan lengannya kepada gadis itu. Airlann meletakkan tangannya di lengan itu sebelum pelayan membuka pintu.

"Guru cantik sekali," bisiknya tidak bisa menahan diri.

"Terima kasih, Illa."

Illa berani bertaruh melihat sedikit semburat merah pada pipinya. Senyumnya mengembang tanpa bisa dikendalikan.

Sepanjang perjalanan, Illa mendapati dirinya memandangi gadis yang duduk di sampingnya, tidak bisa melepas genggaman tangan yang dia tautkan dan memaksa dirinya berbicara agar pikirannya tidak kosong. Perjalanan tiga puluh menit itu terasa lama tapi juga singkat, mengabaikan James Jr. yang berulang kali mengulum senyum sambil berusaha mengajak bicara sang kusir agar dirinya tidak merasa seperti pengganggu. Tiba-tiba saja, dia kangen dengan Maria.

Pintu kereta terbuka, James Jr. keluar terlebih dahulu, disusul oleh Illa yang membantu Airlann turun. Beberapa pelayan menyambut mereka di depan pintu dan seorang yang lain menyebutkan nama mereka keras-keras ketika mereka berjalan memasuki sebuah ballroom megah. Ratusan lilin menyala di kandelier sepanjang ruangan dan puluhan orang sudah berdansa diiringi alat musik gesek dan tiup. Illa menoleh ke arah sang guru, menyadari bahwa gadis itu merasa tidak nyaman, ada rasa sesal muncul dalam benaknya. Mungkin seharusnya dia tidak memaksa.

Seorang pria beruban menghampiri mereka dengan sebuah senyum bisnis yang palsu, jubah merah tuanya melambai ketika dia berjalan. James Jr. segera memasang senyum bisnis yang sama.

"Selamat datang di pesta untuk merayakan kerjasama kita." Durand mengangguk kecil memberi hormat sekadarnya. "Senang kalian dapat hadir."

Tatapannya beralih kepada gadis yang berdiri di samping Illa dan melebarkan senyumnya. "Anda pasti adik dari Tuan Walker."

Airlann melepas pelukannya dari lengan Illa dan menekuk lutut hormat sambil mengangkat sedikit gaunnya. "Nama saya Airlann, senang bertemu dengan Anda, Tuan Durand."

Pria itu mengulurkan tangannya dan mengecup punggung tangan gadis itu. "Semoga Anda menikmati pesta. Apakah saya mendapatkan kehormatan untuk dansa pertama Anda?"

Illa mengutuk dalam hati. Dia tidak ingin melepas gurunya tapi demi tata krama, dia hanya bisa mendongkol ketika Durand menuntun gadis itu ke lantai dansa. Pemuda itu menunggu-nunggu sampai satu putaran lagu sebelum dia turun mengikuti mereka, mengabaikan kode yang diberikan oleh beberapa gadis lain untuk mengajaknya berdansa, dan meminta Airlann dengan sopan dari pria tua itu. Durand tidak keberatan dan segera menuju pintu untuk menyambut tamu lainnya.

Illa mengulurkan tangan kanan yang disambut oleh tangan kiri milik Airlann. Musik mulai mengalun dan mengikuti keramaian, mereka berdansa Allamande. Sang guru membiarkan tubuhnya berputar dibawah lengan Illa, sebelum mereka berdua berputar bersamaan mengikuti tempo sedang. Ketika tempo musik makin cepat, mereka mengikuti iramanya. Beberapa kali Illa mengangkat pinggang Airlann sebelum menurunkannya dan kembali memegang punggung ramping itu, tepat saat musik berhenti.

"Aku tidak tahu kamu pandai berdansa, Illa." Dia tertawa lepas, sisa-sisa rasa tidak nyamannya lenyap di bawah tatapan mata hitam Illa. "Aku tidak pernah ingat mengajarimu."

Pria itu mengulum senyum. "Aku bukan anak kecil yang tidak mengerti apa-apa," balasnya. "Aku juga tidak menyangka kalau Guru bisa berdansa, mengingat Guru tidak pernah datang ke pesta manapun."

"Aku rasa itu karena perkembangan tata cara hidup masyarakat kita tidak secepat yang diduga."

Musik mulai mengalun, kali ini irama lembut membuat mereka merapatkan tubuhnya. Illa menyentuh tangan kiri Airlann dengan sopan sementara tangannya yang lain menyentuh pinggang yang terbalut oleh gaun sutra. Langkah mereka mengikuti ketukan, mengayun ke kiri, lalu ke kanan sebelum Illa melepaskan pegangannya untuk memutar Airlann. Senyum tidak lepas dari bibirnya. Illa sendiri merasa di ruangan seluas itu hanya ada mereka berdua, tidak sekali pun dia melepaskan tatapannya dari gadis yang sedang menari seanggun putri para raja, menikmati dari dekat wajah tercantik yang membayangi siang dan malamnya dan merasakan perasaan meluap-luap dalam benak. Sesuatu membuatnya ingin membuka bibirnya dan berkata bahwa dia mencintai gadis itu dengan segenap hidupnya.

Tunggu.

Illa menahan lidahnya berkata-kata sementara kakinya terus mengikuti musik. Dia akan menunggu sampai dia cukup pantas untuk mengatakannya, karena dia punya keabadian untuk mewujudkannya.

Illa mengeratkan dekapannya pada gadis itu, merasakan napas hangat Airlann menyapu lehernya, membiarkan wangi hutan setelah hujan memenuhi kepala, menyimpannya dalam kenangan. Malam ini cukup baginya.

____________________________________

HAHAHAHHAHAHA AKU SENANG!!!

Akhirnya bisa nulis adegan yang tertunda karena ulah James Sr.

Nantikan lebih banyak adegan romansa antara mereka berdua //iklan karena akhirnya Illa punya kesempatan buat lebih berani menunjukkan sikapnya ///v///

Doakan saja aku bisa menulis feel yang ada dengan baik :'D ini udah 2000an kata hahahahaha

Kalau ada ide untuk menulis romens dgn lebih baik, plisss share sama aku //gelindingan di lantai

Yg penasaran Allamande kaya gimana bisa liat gambar di bawah ini :3 hehehehe itu adalah dance yang populer di Paris, Prancis pada abad itu. Dansa ini sendiri bertahan sekitar 100 tahun sebelum akhirnya digantikan oleh gaya yang lebih modern. Tarian Waltz belum ada hahahahahaha //lap keringat karena riset

Sampai jumpa rabu depan :3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top