Chapter 22

Aku ingat, aku pernah mendengar seseorang mengatakan hal itu. Jauh di masa lalu dengan suara yang sama yang berbicara kepadaku beberapa hari silam. Suara wanita itu.

Lagi-lagi hatiku berdenyut sakit karena rindu.

Sabar, kataku pada suara itu. Aku akan segera menemukan Nael Walker dan dia akan membawaku pada Eibie yang memiliki kunci akan ingatanku. Kubulatkan tekad, ini mungkin misi bunuh diri tapi kurasa ini layak untuk dicoba, sebelum semuanya terlambat ....

Sebuah bangunan pencakar langit dengan desain avant-garde modern berdiri di depanku. Rangka besi berbentuk wajik tersusun rapi dihiasi oleh bentukan geometris kotak dengan dua kaki yang menopang dan dilapisi kaca, memantulkan cahaya matahari siang yang terik. Tinggi menjulang di antara gedung pencakar langit lainnya, setidaknya terdiri dari seratus lantai. Di pintu utama yang terbuat dari kaca putar, ada papan nama yang menggunakan huruf ramping bertuliskan, "Walker Enterprise." Aku berada di depan gedung pusat dari sebuah perusahaan internasional dengan berbagai anak perusahaan bahkan cucu perusahaan yang menguasai lebih dari setengah perekonomian dunia, membuatku bertanya-tanya siapa orang gila yang membangun kerajaan bisnis seperti itu.

Cukup mudah untuk menemukan Nathanael Walker atau biasa dipanggil Nael. Petinggi dari Walker Enterprise yang berulang kali masuk majalah Forbes sebagai salah satu deretan orang terkaya di dunia, jelas lebih terlihat daripada nama yang bahkan tidak tercatat dalam sejarah manusia. Begitu aku mengetik namanya di mesin pencari, sederet biografi yang menyebutkan kehebatannya langsung muncul beserta dengan foto. Aku menghembuskan napas, bertanya-tanya apa hubungan antara seorang pria setengah baya beruban dengan Anomali terkuat yang pernah ada. Apapun itu, aku tidak akan mendapat jawaban hanya dengan berdiri di sini.

Dalam pikiranku, aku menimbang, apakah akan masuk lewat pintu depan, mengaku sebagai kenalan bisnis dari pak tua itu atau memakai teleportasi langsung ke ruangannya. Aku melihat beberapa orang memakai jas dan headset berkeliaran di lobby dari balik kaca. Aku yakin mereka adalah security yang akan menendangku keluar bila aku terlihat mencurigakan. Jadi, aku memilih pilihan yang kedua dan menutup mata, berusaha memfokuskan pikiranku pada raut wajah Nael yang kuingat. Bagaimana pun juga, menggunakan sihir tetap lebih mudah.

"Halo." Sebuah suara perempuan terdengar mendesah di telinga kanan.

Sontak, aku membuka mata dan melompat mundur, menjaga jarak. Bulu kudukku merinding. Suara itu familiar tapi juga terasa membekukan tulang. Di hadapanku, ada seorang wanita berdiri. Dia tampak mencolok di antara manusia yang lalu lalang dan mobil yang memadati jalanan. Dari atas sampai bawah, hanya ada satu warna yang lekat padanya, hitam. Mata, rambut dan gaun berbelahan rendah, bahkan bibirnya berwarna sama. Kulit pucatnya sewarna mayat memberikan kontras yang membuatku tidak nyaman. Sesuatu dalam diriku berkata bahwa aku mengenalnya tapi yang jelas, bukan dengan kenangan baik.

Orang-orang di sekeliling kami terus berjalan tidak peduli, seakan dirinya tidak tampak bagi mereka. Firasat buruk berbunyi di kepalaku bagaikan alarm. Mana ada orang tidak mengamati seorang wanita, yang kuakui cukup cantik, dengan tubuh bagus dan baju yang seperti hendak ke pesta di siang bolong. Dia berbahaya dan lebih parah, ada kemungkinan dia bukan manusia. Soul Wind kusiagakan di tangan kanan, dia hanya memandangku sambil tertawa kecil.

"Siapa dirimu?"

Wanita itu melebarkan senyumnya. "Wah, ternyata benar rumor yang kudengar." Dia melangkah mendekatiku, gaun hitam semata kaki dengan belahan sampai ke paha mengayun seiring gerakan. Sepatu heels setinggi dua belas senti menopang kaki jenjangnya, sewarna dengan rambutnya yang bergelombang anggun. "Sang Pemusnah kehilangan ingatannya."

Aku tidak menjawab, menatapnya tajam. Dia sepertinya tahu siapa diriku.

"Kamu benar-benar lupa?" tanyanya sekali lagi, mendekati dan mengusapkan jari-jari lentik berkuku hitam ke pipiku, menyisakan rasa beku di setiap sentuhannya. "Padahal kita berbagi jiwa."

"Eibie?" tanyaku membuat wanita aneh itu memamerkan sebaris giginya yang putih dan terkekeh. Dia hendak mengarahkan jarinya ke bibirku ketika aku melompat mundur, menolak godaannya.

Sial. Dia sedang mempermainkanku. Aku sedang mempertimbangkan untuk mengancamnya menggunakan kekerasan. Harus melindungi wanita, entah bagaimana prinsip itu tertanam tapi kuenyahkan dengan sebuah pemikiran, bahwa yang dihadapanku mungkin bukan manusia. Jadi, aku mengarahkan pedangku ke depan, tepat ke lehernya.

"Apakah kamu Eibie?" tanyaku mengancam.

Wanita itu tidak langsung menjawab, sebagai gantinya, dia melengkungkan bibir sensualnya.

"Jika ya, apa yang akan kamu lakukan padaku?" Suaranya halus, dalam, dan berirama. Nada bicaranya terkesan mengundang.

Tanpa takut, dia menyentuh ujung dari Soul Wind, mendorongnya menjauh, kulit pucatnya tergores. Namun tidak ada darah yang keluar. Mungkin ini maksud Takuto mengirimku ke sini? Bertemu dengan makhluk yang aku yakin adalah Soul Eater, walau berbeda dengan yang selama ini kulawan. Tadi dia berkata bahwa kami berbagi jiwa? Dugaanku mendapatkan bukti. Bukan tidak mungkin dia yang memegang ingatanku. Apapun itu, aku harus melakukan sesuatu dengan makhluk ini.

Aku menarik pedangku dan mencekik lehernya dengan tangan kiri. Dia terkejut, tapi dengan segera senyum kembali muncul, seakan dia tidak merasa sakit.

"Kamu suka bermain kasar rupanya."

"Aku hanya perlu membunuhmu untuk mendapatkan jawabannya. Jika kamu benar-benar Eibie, aku akan mendapat apa yang aku mau."

Kutekan jari-jariku untuk mematahkan lehernya yang kurus tapi tiba-tiba saja dia menghilang dan muncul di belakangku. Aku merasakan pergerakan angin dan langsung bersiaga dengan Soul Wind, menebaskan tepat ke arah dia muncul. Pedangku hanya menggores gaunnya karena dia segera berteleportasi lagi. Menyebalkan. Dia berbeda dengan musuh-musuh yang selama ini kuhadapi. Soul Eater yang bisa melakukan sihir, ini akan menjadi pertarungan yang cukup berat.

"Kurasa aku harus kembali ke rencana awalku," ucapnya ketika muncul kembali, sekitar sepuluh meter di depanku. Dia lupa, aku juga bisa teleportasi.

Tanpa membuang waktu, aku menebaskan pedangku tepat di lehernya, senyum di wajahnya menghilang ketika dia menghindar. Dia melemparkan bola api ke arahku, membuatku terpaksa melompat ke samping. Waktu beberapa detik itu digunakannya untuk kembali menjaga jarak. Sial. Dia juga bisa sihir elemen, membuatku semakin yakin bahwa dia adalah Eibie yang kucari. Aku tinggal menunggu dia menggunakan artifak sihirnya atau sihir dimensi atau dia bisa kuhabisi sebelum berkesempatan menggunakan keduanya. Pilihan terakhir terdengar lebih masuk akal. Itu berarti aku harus cepat. Kumunculkan dua pedang sekaligus yang kulemparkan ke arahnya, sementara kupegang pedang ketiga. Dia berusaha menghindar dari lemparanku, ke kiri lalu ke kanan. Gerakannya halus, kakinya tidak menjejak tanah. Selincah apapun dia, makhluk itu menari dalam tanganku. Aku sudah menunggu di tempatnya muncul, mengangkat pedangku, siap menebaskan Soul Wind dan--

"Argh!!!"

Sebuah sulur hitam menancap di punggungku. Rasa sakit menjalar cepat ke seluruh kesadaran, membuat pikiran mati rasa. Aku menoleh dan mendapati bahwa sebuah bayangan hitam melayang rendah di belakangku.

SIAL! SIAL! SIAL!!! Aku lengah!

"Kamu pikir aku kemari tanpa persiapan?" Suara wanita itu kembali terdengar ketika sulur yang lain menembus tangan dan kaki, menahanku melayang di udara. Aku menggigit lidah, tidak akan kuhibur dia dengan jeritanku. Gigiku bergemeletuk ketika energi berwarna hitam menyayat-nyayat pergelangan tangan, mengeratkan cengkramannya. Aku berusaha memutar otak mencari cara agar bisa terlepas, tapi kontrasiku kabur. Bahkan untuk memfokuskan diriku untuk berteleportasi pun aku kewalahan. Satu lagi sulur menusuk punggungku, rasa sakit memenuhi indra perasaku, membuatnya tumpul.

"Kali ini aku akan menghabiskan jiwamu seutuhnya dan akan menjadi Soul Eater pertama yang memiliki jiwa seorang Noxis." Dia menyeringai, gigi-gigi tajam yang selama ini tersembunyi di balik bibir tebal tampak jelas. Jarinya kembali membelai pipiku. Rasa mual bertindihan dengan rasa sakit dalam ulu hati, bertabrakan dengan sumpah serapah yang muncul di pikiranku. Bodoh sekali aku bisa terjebak seperti ini, bertanya-tanya apakah akan ada pertolongan bagiku ....

"Wah, sayang sekali, aku tidak bisa membiarkanmu menghabisinya."

Sebuah suara terdengar lalu tiba-tiba saja sabit raksasa menembus tubuh wanita di hadapanku. Dia terkejut dan meneleportasi dirinya pergi. Mengalahkan rasa sakit, aku segera memunculkan lima pedang angin di atasku dan menghujamkannya ke arah punggung. Seketika, sulur-sulur yang menahanku menjadi serpihan. Seranganku tepat sasaran, Soul Eater yang menahanku lenyap. Aku jatuh terduduk di lantai, mengambil napas selama beberapa detik, menyadari sebuah jubah hitam berkelebatan di sampingku.

Sebuah helaan napas. "Sudah kubilang untuk tidak sembarangan, 'kan?" Suaranya familiar.

"Takuto?" Aku berdiri dan berhadapan dengan Maut yang memanggul sabit raksasa. Wajahnya terlihat kesal.

"Apa jadinya kalau aku terlambat? Kamu mungkin akan menjadi Noxis pertama yang harus kujemput," gerutunya dengan tatapan yang tidak lepas dari lawan.

Aku melihat wanita itu tidak terluka walau tubuhnya baru saja ditebas. Dia sendiri tampak terkejut sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak. Sikap anggunnya lenyap tak bersisa, kurasa dia lebih cocok seperti ini.

"Kedatanganmu ke sini hanya menambah jatah makanku, Maut," ucapnya di sela-sela tawa. "Senjatamu hanya bisa membunuh jiwa manusia, bukan kami!"

Dia melambaikan tangan dan seketika suhu udara turun dengan drastis. Aku menelan ludah. Tiba-tiba saja muncul Soul Eater dengan jumlah yang tak terhitung di sekeliling kami. Bayangan-bayangan hitam itu melayang rendah, mengepung. Aku melihat beberapa dari mereka melahap manusia yang tidak menyadari apa yang terjadi. Jeritan-jeritan mulai terdengar karena mereka melihat satu per satu orang di sekitar mereka tumbang tanpa alasan, pucat dan tak bernyawa. Seketika keadaan menjadi kacau, orang-orang berlari ke sembarang arah, termasuk menembusku dan Takuto. Beberapa petugas keamanan berusaha menolong yang sudah tewas, mendekati Soul Eater yang tak terlihat, menyerahkan jiwa mereka dengan sukarela. Sepertinya akan ada headline baru di surat kabar besok pagi.

Aku menampar diriku secara mental, bisa-bisanya aku berpikiran seperti itu sementara masih ada keadaan yang lebih buruk yang harus kuhadapi. Aku melihat Takuto tetap santai berdiri walaupun manusia diserang dan jumlah Soul Eater yang mengepung makin banyak.

"Hei, kamu tidak melakukan sesuatu?" tanyaku heran sementara aku memunculkan beberapa pedang angin untuk kulempar pada Soul Eater yang hendak memangsa, sambil terus menenangkan diriku dari rasa sakit yang masih berdenyut. Lukaku perlahan-lahan menutup, menyisakan sobekan di kemeja dan jas yang kupakai.

"Tidak, dia benar, senjataku tidak bisa membunuh Soul Eater, itu tugasmu," jawab Takuto santai, membuatku melemparkan tatapan, "Lalu buat apa kamu kemari?"

Dia tersenyum miring, rasa percaya dirinya tetap ada. "Aku hanya menunggu seseorang yang bisa membuatku membunuh mereka dan sepertinya dia sudah datang."

Hembusan angin membuatku memandang ke langit. Sepanjang mata memandang hanya ada awan kelam menggantungi rendah, suasana menjadi gelap. Aku dapat melihat salju mulai turun. Salju? Di New York pada pertengahan bulan Mei? Efek dari Soul Eater yang berkumpul di sini semakin buruk.

"Lama sekali," gerutu Takuto membuatku sadar bahwa sudah ada orang lain selain kami berdua di sana.

"Nael menolak dievakuasi dan ingin ikut dalam pertempuran. Kamu tahu sendiri betapa keras kepalanya dia."

Aku terhenyak. Suara itu kukenali. Ralat, bukan sekedar kukenali, suara itulah yang membuatku bergerak mencari Eibie dan yang menuntunku untuk menemukan pemiliknya. Aku menoleh dan melihat seorang gadis memakai kaos putih polos longgar dengan celana tiga per empat dari jeans. Rambutnya berwarna coklat sepunggung diikat tunggal, dibiarkan berkibar tertiup angin, matanya hijau memandang tajam ke arah musuh. Usianya tak lebih dari enam belas tahun dan dia hanya setinggi bahu Takuto. Wajahnya familiar.

Jantungku berdetak lebih cepat tanpa diminta, sesuatu tentang dirinya aku ketahui tapi tertimbun dalam lapisan-lapisan debu. Ada perasaan yang mengetuk tapi tidak kukenali. Semuanya terkunci rapat. Aku hanya tahu, dialah alasanku melakukan ini semua.

"Dasar! Lakukan sesuatu pada monster itu sebelum dia berulah dan mempersulit pekerjaanku," gerutu Takuto lagi, membuatku sadar.

"Ya, ya." Dia memunculkan sebuah kristal berwarna hijau yang melayang di atas telapak tangannya sebelum dia menyadari keberadaanku.

"Halo," ucapnya seraya tersenyum.

Aku kehilangan napasku.

_____________________________________

Maaf telat update :'( aku sedang bepergian ke tempat di mana sinyal adalah barang langka bahkan punah.

Aku segera up begitu tiba di rumah tercinta hahahahha

By the way, AKHIRNYA MEREKA BERTIGA MUNCUL DALAM SATU ADEGAN!!!

Hahahahha aku sudah menantikan saat ini XD lololol Nantikan perkembangan ceritanya hahahah

Sebagai bonus dan permintaan maaf, di bawah ini adalah penampakan Takuto :3 biar yang kangen bisa terobati huahahahaha

Oh ya, QnA buat karakter masih berlanjut yah :3

Kalo mau tanya bisa langsung ketik nama karakter: pertanyaan

Contoh:
Pemusnah: Kamu kalo nganggur ngapain?

Nanti mereka akan menjawabnya pada chapter yang terpisah hehehehe

Sampai jumpa minggu depan ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top