Chapter 17
"Baiklah. Kita akan berjalan menuju pusat kota. Udara di sini tidak stabil untuk melakukan sihir teleportasi terlalu jauh. Di sana kita pasti akan menemukan seseorang yang bertanggung jawab atas semua ini." Sang guru menghela napas, kembali memandang ke arah kota. "Dia sedang tahap akhir untuk menyelesaikan sihirnya. Sebuah sihir yang jahat dan mengerikan, yang akan menganggu aliran kehidupan." Gadis itu terdiam sejanak. "Kita mungkin akan bertemu dengan Soul Eater sebagai akibat Necromancy, berhati-hatilah."
Illa mengangguk sebelum mengikuti langkah kaki gurunya. Tangan kanannya menggenggam erat pedang angin, siap untuk diayunkan.
Illa memandang sekeliling mereka dan merasakan rasa pahit menggumpal di kerongkongannya. Berkali-kali dia harus menahan diri untuk tidak mengeluarkan isi perut, udara yang berbau bangkai bercampur bau toilet yang tidak dibersihkan selama bertahun-tahun, justru memperkeruh keadaan. Biasanya, gurunya akan membuat semacam aliran udara kecil untuk memastikan mereka mendapat pasokan udara bersih tapi kali ini Illa hanya mendapat tatapan serius penuh kewaspadaan yang mengarah ke depan. Gadis itu sama sekali tidak terganggu dengan keadaan di sekitarnya, membuat Illa bungkam. Matanya ikut mengamati sekeliling, waspada, walau dia sebenarnya tidak tahan melihat kehancuran yang begitu sangat.
Dia menahan napas ketika melihat sebuah sosok tergeletak bersandar pada dinding rumah yang dinding-dindingnya telah hancur setengah. Illa ngeri melihat benda yang memiliki bentuk seperti manusia hanya saja rongga matanya kosong dan mulutnya yang berupa sisa-sisa gigi setengah terbuka. Kulitnya berwarna hitam seperti terbakar tapi Illa tahu tidak ada api yang terlibat dalam penghancuran kota kecil itu.
Gurunya menyadari hal tersebut lalu menutup matanya pelan, menelan ludah sebelum berkata, "Mereka adalah manusia, setidaknya pernah menjadi manusia."
Konfirmasi sang guru membuat pemuda itu berjengit. Illa memandang gurunya dengan mata dipenuhi ketakutan. "Apa yang terjadi dengan mereka?"
Gadis itu mengangkat pandangannya ke arah Illa. "Mereka adalah sisa yang tertinggal ketika jiwa manusia telah diambil sempurna. Rasa sakit diluar nalar membuat jiwa dan tubuh menjadi rusak. Itulah alasan jiwa-jiwa bisa sedemikian murka ...." Dia terdiam sejenak. "Mereka telah mengalami penyiksaan yang tak terkatakan."
Pemuda itu bergidik, kembali teringat saat sebagian jiwanya tertelan oleh Soul Eater. Itu adalah lima detik terlama dalam hidupnya. Sampai sekarang dia masih bisa merasakan sakit yang menyusup hingga ke tiap rongga dalam tubuhnya dan rasa putus asa ketika tahu bahwa kematian begitu dekat dengannya. Dia menelan ludah, berusaha menenangkan jantungnya yang bertalu-talu. Untung saja, bayangan hitam milik wanita itu semakin jarang muncul. Hanya, entah bagaimana ia tahu, makhluk itu sedang mengawasinya, menanti saat agar dapat menelan seluruh jiwanya. Illa menahan napas, apakah dia akan menjadi seperti mayat yang dilihat?
Dia mengalihkan pandangan, menolak membayangkan dirinya terbaring dan kering seperti itu. Dalam diam, Illa kembali melangkah dan menyadari bahwa gurunya mengikutinya. Semakin mereka berjalan, mereka semakin melihat tumpukan-tumpukan manusia tak berjiwa yang tergeletak seperti gunungan sampah. Mereka hanya selongsong kosong yang bahkan tidak bisa dibilang mayat, terbaring begitu saja setelah intisari keberadaannya dihisap. Illa tidak bisa memikirkan ada orang yang sanggup melakukan tindakan sekeji ini. Bukan hanya satu orang, tapi seluruh kota. Dia tidak berani membayangkan jeritan seperti apa yang terdengar, pantas saja Wayern bilang kalau suara mereka sampai ke langit.
"Illa," panggil sang guru membuat Illa kembali menjejak tanah. "Hati-hati."
Illa langsung menyadari adanya beberapa sosok hitam bergerak mendekati mereka. Mereka melayang rendah dengan aura hitam menggeliat liar. Rasa takut menggenggam hati Illa, kenangan-kenangan buruk kembali terputar dalam benaknya. Bagaimana kalau dia gagal? Ini pertama kalinya dia berhadapan dengan Soul Eater sejak empat tahun lalu. Bagaimana kalau jiwanya terhisap kali ini?
"Tenang saja." Suara gurunya terdengar lembut dan menenangkan. Illa melihatnya tersenyum yakin. "Aku tidak akan membawamu bila kamu tidak bisa melindungi dirimu sendiri."
Rasa lega mengalir. Kepercayaan gurunya menjadi setitik air yang menenangkan. Dia membalas senyum gadis itu, sambil menenangkan jantungnya yang berdetak lebih cepat. Bukan saatnya! Illa menegur dirinya sendiri, berusaha fokus pada Soul Eater yang mendekat cepat. Dia memasang kuda-kuda, mempersiapkan diri, ketika dia merasakan hembusan angin dari sebelah kanan. Dari ujung mata, dia melihat gurunya telah berteleportasi ke musuh dan menebaskan pedang. Cepat, tak terduga. Illa berani bertaruh kalau makhluk itu bahkan belum tahu bahwa dirinya telah lenyap. Gadis itu masih tetap sehebat yang dia ingat.
Pemuda itu menggenggam pedang anginnya dengan lebih erat, melompat maju ketika makhluk itu berada dalam jangkauan serangannya. Dia menebas pedangnya secara vertikal. Namun sulur hitam itu membendung senjatanya. Illa memberikan tekanan lebih kuat dan dia berhasil menembus pertahanan musuh. Tanpa membuang waktu, dia memperbaiki kuda-kuda dan melancarkan serangan kedua, menarik pedangnya lalu menusukkannya ke arah bagian tubuh yang menyerupai kepala. Terdengar desisan panjang ketika Soul Eater lawannya menjadi serpihan. Illa segera mencari lawan berikutnya dan menyadari bahwa hampir seluruh tempat itu sudah bersih. Pasti ulah sang guru. Pemuda itu mendesah, dia masih tidak ada apa-apanya dibandingkan gadis itu, membuat kepercayaan dirinya kembali jatuh ke titik terendah.
Tatapannya terarah pada sesosok Soul Eater yang melayang kurang lebih sepuluh meter di hadapannya. Illa langsung meneleportasi dirinya ke dekat makhluk itu dan menebasnya. Tidak secepat gurunya, lawannya masih sempat memberikan perlawanan sebelum akhirnya lenyap. Lima menit kemudian, wilayah itu benar-benar bersih. Illa hanya bisa menambah dua Soul Eater dalam prestasinya.
"Semakin dekat dengan pusat kota, akan lebih banyak Soul Eater yang berkeliaran." Sang guru muncul di sampingnya. Illa dapat melihat bulir-bulir keringat di dahinya, ingin sekali dia menghapusnya. "Tidak menutup kemungkinan ada Soul Eater tingkat kedua." Dia terdiam dan memandang sekeliling. "Bila dilihat dari jumlah jiwa yang telah diambil ...."
Illa melihat bayangan hitam kembali turun di mata hijau emerald itu, membuatnya bertanya-tanya, apakah gadis itu sedang membayangkan kesakitan yang dirasakan oleh setiap orang yang diambil jiwanya? Atau membayangkan bahwa dia harus menghadapi Soul Eater yang kuat? Pemuda itu memutuskan untuk diam dan mengangguk, lalu mengikuti gurunya berjalan.
Semakin ke dalam, udara semakin terasa berat. Bulu kuduk Illa merinding nyaris setiap waktu, dia bahkan dapat mendengar sisa-sisa teriakan, seakan pembantaian itu terekam di setiap bagian kota mati, di tembok-tembok yang runtuh dan di kayu-kayu yang membusuk. Bau anyir semakin pekat, membuat Illa nyaris kehabisan napas dan terbatuk. Baru saat itu gurunya sadar dan menggunakan sedikit sihirnya untuk mengalirkan udara segar kepadanya. Illa heran bagaimana gadis itu bisa bertahan di tengah bau campuran mayat yang membusuk dan sesuatu yang berbau amis. Beberapa Soul Eater menghalangi mereka, tapi tidak ada halangan yang berarti, hanya Illa yang menyadari betapa besar perbedaan kekuatan antara dia dan gurunya. Pemuda itu hanya bisa membunuhi seperempat dari jumlah Soul Eater yang menyerangnya, membuatnya frustrasi.
Akhirnya tujuan dari mereka terlihat, alun-alun kota yang tanahnya ditutupi oleh bebatuan hitam dengan sebuah altar dari batu di tengahnya. Terdengar suara seseorang membacakan mantra dengan suara yang menggema sementara aura gelap menggeliat liar mengintip dari punggung yang berdiri tegak terbungkus oleh jubah panjang berwarna hitam dengan hiasan emas di pinggirannya. Di sekitarnya berdiri lingkaran Soul Eater yang langsung menyadari keberadaan mereka dan menoleh. Darah Illa berdesir ketika ditatap oleh rongga-rongga hitam tak berwajah. Sebuah firasat buruk datang menggelayuti pikirannya.
"Ini buruk," desis sang guru di samping Illa. "Tidak ada Soul Eater level dua ...."
Illa memandangnya tidak mengerti. Bukankah itu berarti hal bagus? Dia tidak sempat berpikir lebih jauh, pasukan hitam itu menerjang mereka. Illa langsung menyiagakan pedangnya. Ini harusnya mudah--
"Illa, aku serahkan mereka padamu."
--seperti tadi .... Illa membatalkan ucapan yang sudah setengah jalan di kepala ketika melihat gadis itu memunculkan lima buah pedang angin di sekelilingnya dan mengarahkan benda-benda melayang itu secara beruntun ke sebuah titik. Pedang-pedang itu meluncur dan menghancurkan sedikitnya sepuluh Soul Eater untuk membuka jalan ke arah sosok di tengah yang makin cepat merapal mantra. Illa ingin menyusul tapi jalan itu segera menutup setelah gadis itu berlari di antara lautan hitam. Sial, kini dia berada di tengah kumpulan Soul Eater. Pemuda itu menelan ludah. Ini sama dengan empat tahun lalu .... Tidak! Illa tidak sama dengan anak kecil yang tidak berdaya itu. Dia menggenggam erat pedang anginnya.
"Arkheo!!!"
Pusaran angin menyelubungi dirinya dan mementalkan Soul Eater hingga tercerai berai. Langkah awal untuk membunuhi mereka satu per satu. Illa langsung melompat dan menghunuskan pedang ke sosok hitam terdekat. Terjadi perlawanan singkat tapi Illa tidak membuang waktu, satu-satunya yang ada di kepalanya adalah segera menyusul sang guru. Sesuatu yang buruk akan terjadi, demikian nalurinya berkata.
"Schild!" serunya membentuk perisai tepat waktu, menangkis sebuah sulur hitam yang nyaris merobek punggungnya. Illa segera menambahkan tenaganya ke pedang yang tergenggam untuk membelah Soul Eater di hadapannya hingga terbagi dua lalu mengarahkan fokusnya pada musuh di belakangnya.
Sial! Mereka mulai berkumpul. Illa menambah ritmenya menyerang, berusaha memecah puluhan Soul Eater yang ingin melahapnya.
"Igna!"
Cambuk api berkelebat di kanan dan kiri Illa sementara dia membunuh lawan di hadapannya. Api itu tidak bisa melukai Soul Eater, Illa tahu, tapi setidaknya cukup untuk membuat mereka menghindar. Illa berharap bisa membuat lebih banyak pedang untuk menghadapi lawan-lawannya. Pemuda itu menebaskan senjatanya secara horizontal, mengenai dua musuh sekaligus selagi menghindari sulur hitam yang mengarah ke kepalanya. Tidak sempurna, pipinya tergores, darah segar mengalir. Illa tidak peduli dan terus menebas sambil sesekali memakai sihirnya untuk menjaga jarak. Dia tidak akan selamat bila mereka mengeroyoknya sekaligus dan dia bersyukur, musuhnya hanya punya satu tujuan, melukainya, sehingga gerakan mereka lebih mudah dibaca. Dalam hati dia bersyukur sering menghadapi dua bersaudara Walker yang lebih licik.
Tiba-tiba terdengar suara menggelegar, seperti sebuah ledakan dan tanah bergoncang hebat, membuat semua perhatian mengarah ke arah pusat kota. Illa tidak membuang kesempatan itu dan segera membunuh sebanyak mungkin Soul Eater untuk membuka jalan. Dia menebas siapa pun yang menghalangi sambil terus lari. Satu sabetan pedang terakhir dan Illa akhirnya melihat apa yang menjadi penyebab guncangan tadi.
Di hadapannya, sang guru berlutut dengan rambut terurai kusut, seakan telah melalui sebuah pertempuran hebat, menusuk tanah dengan Soul Wind dan menghancurkan lingkaran yang dipenuhi huruf-huruf kuno dan berpendar merah darah, membuat aliran sihir terganggu. Tanah di sekitarnya retak dengan kasar, menyisakan garis-garis selebar semeter yang mengarah ke arah altar di tengah. Sebuah dinding yang tak terlihat menjadi buram dan kemudian lenyap menjadi butiran-butiran berwarna ungu tua. Orang berjubah hitam itu berhenti merapal mantra dan menoleh ke arah sang guru. Illa hanya dapat melihat sisi samping wajahnya yang tertutup tudung jubah. Namun Illa berani bersumpah dia mengenal sosok itu.
"Akhirnya aku mendapatkan perhatianmu," ucap gadis itu tersenyum tipis sambil berdiri.
"Sudah kuduga kamu akan kemari, Lady Bedelzve."
Illa tercekat, tidak mempercayai pendengarannya. Suara bariton rendah itu begitu familiar di telinga. Suara yang memberinya nasehat ketika dia menjahili ketiga bersaudara Walker, suara milik orang yang menjadi panutannya.
Orang itu membuka tudung dan Illa mendapati dirinya menahan napas, mengenali wajah yang muncul di baliknya, Marquess James Mattheus Walker. Pria itu tersenyum lebar, gigi-giginya menjadi runcing sementara seluruh matanya berwarna hitam dengan urat-urat berwarna kelabu terlihat jelas merayapi wajahnya. Yang membuat jantung Illa terasa merosot dari tempatnya semula adalah adanya jahitan yang kentara melintang dari satu telinga ke telinga lain. Pemuda itu akhirnya paham apa maksud gurunya dengan kabar buruk.
Pria yang dianggap sebagai pengganti ayahnya telah menjadi Soul Eater level dua.
_______________________________________
Yuhuuu ketemu lagi dengan Reminiscentiam di hari rabu hahahaha
Aku bingung mau ngomong apa hahahaha
Makasih ya udah setia membaca cerita ini sampai sekarang ehheehe akhir bulan ini aku berencana untuk plotting ceritaku berikutnya bersama dengan kegiatan di NPC2301, grup kepenulisan yang aku ikuti ahahahah
Daaaan coba tebak apa genre ceritaku berikutnya? Ahhahaha psst! Temen2 dari W_Undercover ga boleh kasih tau hahahahaha
Oh ya, bagi yang penasaran Reminiscentiam itu berarti ingatan :D berasal dr bahasa latin (kalau ga salah //plak) kalo dalam bahasa inggris lbh dikenal dengan kata Reminescence :3
Gitu aja deh cuap2 ku :3 see you next wednesday!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top