Chapter 16
Illa memandangi wanita itu tanpa berkedip sebelum kembali menatap sang guru, menyadari bahwa gadis itu sudah memegang sebuah kotak di tangannya. Kotak yang tidak akan pernah dia lupakan karena nyaris merenggut nyawanya enam tahun silam di kota Radcott. Illa memandangi gurunya, alisnya berkerut.
Untuk apa?
Pemuda itu menelan ludah ketika melihat kotak itu lagi. Dia nyaris melupakan benda terkutuk itu, benda yang nyaris merenggut nyawanya. Dengan penuh tanda tanya, dia memandang ke arah gurunya lalu ke arah wanita asing tersebut, berusaha mencari koneksi di antara mereka dan benda itu. Gurunya menyadarinya dan tersenyum. Dia berdiri sambil mengarahkan telapak tangannya ke arah wanita asing tersebut.
"Illa, perkenalkan, dia adalah Wayern. Sang Penuntun," ucapnya membuat Illa kembali memandang wanita raksasa itu. "Salah satu bangsa Noxis. Bangsa yang bertugas menggerakkan dan menjaga dunia. Maut yang pernah kamu temui juga salah satu dari mereka."
Mata Illa bertemu dengannya dan mau tak mau dia mengakui bahwa Wayern adalah wanita yang cantik, hidungnya mancung dan bentuk wajahnya seperti patung marmer dengan pahatan sempurna. Tulang pipinya tinggi dan tirus, bibirnya berwarna gelap dan penuh, sementara matanya dalam dengan alis tebal menaunginya.
Illa tidak tahu tentang bangsa Noxis, membuat catatan di kepala untuk bertanya tentang hal itu setelah tamu mereka pergi.
"Selamat datang, Wayern." Gurunya memandang ke arah makhluk yang kini berjalan ke arah mereka atau lebih tepatnya melayang mendekati mereka. "Senang akhirnya kamu dapat berkunjung."
Wayern tidak menjawab. Dia hanya mengangguk pelan.
"Aku yang memintanya datang untuk membantu menenangkan jiwa yang murka." Sang guru meletakkan kotak itu di meja dan memberi kode agar Illa mundur beberapa langkah. "Mohon bantuannya, Wayern."
Illa menurut, pengalaman sudah mengajarkan untuk mengikuti perintah gadis itu atau hal buruk akan terjadi. Wanita mengayunkan tangan, anggun dan lembut. Sebuah lentera dari besi dan berukiran rumit mendarat mulus dalam genggamannya. Cahaya kuning menyala pelan dari balik kaca bening dan pendaran-pendaran kecil berbentuk lingkaran ikut muncul, melayang rendah di sekitar Wayern, seperti kunang-kunang. Ruangan itu terkesan meredup, keadaan menjadi sunyi secara ganjil, bahkan dia tidak dapat mendengar hembusan angin atau gemerisik dedaunan. Illa menatap kejadian di hadapannya dalam diam sambil menahan napas, menanti apa yang akan terjadi berikutnya.
Wayern menggoyangkan lenteranya pelan, terdengar denting lonceng lembut yang berasal dari ujung gagang besi yang dipegangnya. Wanita itu melakukan beberapa kali lalu gurunya perlahan membuka kotak berukiran indah tersebut. Illa kembali bergidik. Namun alih-alih tangan hitam yang menyeruak liar, lingkaran-lingkaran cahaya kecil sewarna dengan lampu lentera melayang keluar dan bergabung dengan kunang-kunang yang sudah mengelilingi Wayern. Dia menggoyangkan lenteranya beberapa kali lagi dan pendaran yang muncul makin banyak. Ketika cahaya terakhir keluar, gurunya kembali menutup benda itu dan perlahan, ruangan berdinding batu melingkar tersebut kembali ke keadaan semula. Suara-suara alam kembali terdengar. Baru pada saat itu Illa menghembuskan napas, sambil bertanya-tanya bagaimana Wayern melakukan itu semua.
"Terima kasih," ucap sang guru tersenyum. "Dengan begini, jiwa mereka dapat kembali ke tempat yang seharusnya."
Wayern tidak langsung menjawab, mata sendunya memandang ke arah lantai. Hening turun terasa begitu pekat.
"Airlann." Wayern mengeluarkan suaranya. Sebuah suara yang menenangkan namun terkesan dalam, seperti samudra.
Illa langsung menoleh ke arah gurunya, rasanya sedikit aneh mendengar ada yang memanggil nama depan gadis itu. Dia sendiri masih tidak diperbolehkan memanggilnya dengan nama, tidak sebelum dia berhasil mengalahkan gurunya dalam adu pedang.
"Kamu tahu siapa pelakunya?" tanya Wayern dengan suara yang sama. Nadanya datar, tidak ada tuduhan, atau emosi lainnya. "Orang yang telah menciptakan benda itu?"
Gurunya tidak menjawab. Dia hanya balas memandangi Wayern dengan tatapan yang kompleks. Illa mengenal tatapan itu, tatapan yang hanya muncul ketika gurunya mengetahui sesuatu yang buruk namun harus dia simpan sendiri. Tatapan yang selalu membuat hati Illa ngilu.
"Kamu mendengar bisikan jiwa mereka?" tanya gadis itu dengan sebuah senyum kecil yang dipaksa.
Wayern tidak menjawab seakan sang guru melontarkan pertanyaan retoris. Mata gelapnya bertemu dengan iris hijau yang memantulkan cahaya kuning. "Ada seseorang yang membunuhi para non-magus dan melakukan Necromancy." Dia terdiam sejenak, menatap lawan bicaranya lebih tajam. "Jeritan mereka terdengar hingga ke langit."
Kali ini giliran gurunya terdiam.
"Jangan ragu, Penjaga Keseimbangan." Sosok Wayern perlahan memudar, suaranya terdengar menggema di ruangan. "Ingatlah perjanjian yang telah kau buat dengan kami."
Illa memperhatikan sosok Wayern sampai menghilang sempurna dan di ruangan itu kembali hanya tinggal dia dan gurunya. Gadis itu tetap berdiri dalam geming. Matanya meredup dan lagi-lagi Illa merasakan hatinya dibelit sedih. Sebelum dia sadar, Illa mendapati bahwa kakinya telah melangkah mendekati sang guru. Tanpa banyak kata-kata, dia meraih tangan gadis itu. Tangan yang dulu besar kini terasa begitu kecil dalam genggamannya. Mata Illa mengamati sang guru yang kini beberapa senti lebih pendek darinya dan baru sadar betapa kecilnya pundak gadis itu.
Dia mendengar gurunya menghela napas. "Terima kasih," ucapnya pelan, memandangi Illa sambil tersenyum. "Kurasa hari ini kita tidak bisa mengobrol banyak. Ada hal yang harus aku kerjakan."
Gadis itu melepas genggaman tangan Illa dan berjalan ke arah lemari pakaian, mengeluarkan jubah bepergian yang sudah lama tak terpakai. Illa segera mengejarnya dan ikut mengeluarkan jubah serupa.
"Aku ikut," ucapnya membuat mata hijau itu memandangnya terkejut. Entah mengapa Illa merasa, bila saat ini dia membiarkan gurunya pergi sendiri, gadis itu tidak akan kembali.
"Jangan." Dia berkata pelan, sambil tersenyum, ada kesedihan di sana. "Yang akan kamu lihat adalah sesuatu yang mengerikan. Sebisa mungkin aku ingin menjagamu dari melihat sisi tergelap manusia."
Alis Illa berkerut. "Aku bukan anak kecil lagi, Guru," ucapnya tenang, dalam, dan yakin. Illa tidak akan merengek, dia hanya akan menegaskan posisinya sekarang. Dia sudah besar dan dia tidak akan membiarkan sang guru menghadapi bahaya sendirian. "Lagipula, aku muridmu, bukan? Aku melakukan apa yang Guru lakukan," tambahnya menyunggingkan senyum percaya diri.
Gadis itu mendengus menahan tawa menghadapi kekeraskepalaan muridnya. Murid yang kini lebih besar dan tinggi darinya, membuatnya bertanya-tanya kapan dirinya harus melepas Illa. Dia terdiam sejenak, menimbang, sebelum akhirnya berkata, "Baiklah, jika kamu memaksa." Sang guru memunculkan sebuah pedang angin di tangan dan menyodorkannya pada pemuda itu membuat Illa terdiam memandang takjub ke arah gagang pedang yang di arahkan kepadanya.
"Untukku?" tanya Illa tidak yakin seraya mengambil pedang itu. Genggamannya terasa mantap memegang angin yang seharusnya tak berbentuk, seakan pedang itu ditempa untuknya.
"Kita mungkin akan bertemu Soul Eater dan aku yakin kamu bisa melindungi dirimu sendiri, dengan senjata yang tepat," balas gurunya sambil memakai jubahnya.
Ada rasa bangga yang menggelembung di dada Illa, membuat senyum lebar mengembang di wajahnya. Gurunya mengakui kemampuannya, kemampuan yang dia asah siang dan malam. Lewat buku dan pelajaran, lewat latihan bahkan hingga larut malam. Di antara kebahagiaan yang muncul, hanya satu hal yang menganggu dirinya.
"Lalu Guru sendiri memakai apa?" Illa memandang khawatir.
Senyum gurunya melebar, dia tampak senang melihat reaksi Illa yang polos. Sebuah pedang angin yang serupa mendarat di tangannya membuat mata pemuda itu terbelalak. "Soul Wind bukan senjata yang terbatas pada bentuk fisik. Seperti namanya, inti dari Soul Wind terletak di dalam jiwa." Dia menunjuk ke arah jantungnya. "Selama dia mendapatkan tenaga dari jiwaku, dia bisa muncul dalam berbagai macam bentuk dan jumlah. Aku memilih bentuk pedang karena aku paling familiar dengan bentuk itu."
Illa terdiam memandangi pedang di tangannya. Dia sedang memegang bagian bagian dari jiwa gurunya. Pikiran itu membuat wajahnya terasa panas.
"Illa?" panggil sang guru membuat lamunannya buyar. "Ayo."
"Ba-baik." Illa segera memakai jubahnya, menepis pikiran-pikiran tidak jelas yang menguasai kepalanya. Dia harus fokus, Illa mengingatkan dirinya, dan tidak menjadi beban bagi gurunya.
"Kapan pun kamu ingin mundur, katakan saja."
Illa menggeleng. "Tidak akan, Guru."
Gadis itu tersenyum penuh kasih kepada Illa membuat jantung pemuda itu berdetak lebih cepat.
"Siap?"
Illa mengangguk lalu merasakan dirinya melayang beberapa senti dari tanah dan ketika dia merasakan kakinya kembali berpijak, dia mengangkat kepala dan melihat sebuah pemandangan yang membuatnya tercekat. Matanya terbelalak sementara keringat dingin mulai keluar. Dia menoleh ke arah sang guru.
"G-guru ...."
Gadis itu menghela napas, terus memandang hal di hadapannya. Illa menelan ludah dan mengikuti pandangan gurunya, sekali lagi. Mereka teleportasi tepat di batas sebuah kota kecil. Namun alih-alih keramaian dan rumah-rumah kayu berdiri tegak, yang Illa lihat adalah sebuah kota mati, seluruh tanah kota itu berwarna hitam dan bangunannya seperti es meleleh terkena sesuatu yang panas. Bau busuk tercium kental di udara dan rumput atau hewan apapun tidak ada yang hidup di sana. Pohon-pohon meranggas dan sehitam arang. Tidak ada bunyi-bunyian, seakan alam pun takut. Hanya kematian yang terasa begitu pekat. Illa memandang ke langit dan mendapati hanya ada kelabu kelam menggantung rendah, menghalangi sinar matahari yang masih tinggi di langit. Seluruh warna telah hilang.
"Tidak ada yang menyalahkanmu jika kamu memilih tinggal di sini, Illa." Gurunya memandangnya sambil tersenyum. Namun Illa dapat menangkap bahwa gurunya sedang berkata bahwa ini adalah masalahnya, bukan Illa. Dia tidak ingin anak didiknya melihat hal yang mengerikan lebih dari ini.
Pemuda itu terdiam dan merasakan sesuatu kembali membelit hatinya hingga terasa sakit. Tidak ada rasa terkejut di wajah gadis itu, membuat Illa bertanya apakah ini adalah pemandangan yang sering dilihatnya? Illa tercekat. Gurunya menghadapi hal-hal seperti ini sendirian dan menanggung beban tugasnya di atas punggungnya yang kecil.
Illa menelan ludah untuk menguatkan hati lalu berkata, "Aku akan menemani Guru."
Gadis itu tersenyum menatap Illa namun ada kepedihan di matanya, merasa bahwa keputusan Illa hanya membawa muridnya menghadapi sesuatu yang lebih menyakitkan.
"Baiklah. Kita akan berjalan menuju pusat kota. Udara di sini tidak stabil untuk melakukan sihir teleportasi terlalu jauh. Di sana kita pasti akan menemukan seseorang yang bertanggung jawab atas semua ini." Sang guru menghela napas, kembali memandang ke arah kota. "Dia sedang tahap akhir untuk menyelesaikan sihirnya. Sebuah sihir yang jahat dan mengerikan, yang akan menganggu aliran kehidupan." Gadis itu terdiam sejanak. "Kita mungkin akan bertemu dengan Soul Eater sebagai akibat Necromancy, berhati-hatilah."
Illa mengangguk sebelum mengikuti langkah kaki gurunya. Tangan kanannya menggenggam erat pedang angin, siap untuk diayunkan.
________________________________________
Halo! Akhirnya ga jadi hiatus hahahahah~ //lempar konfeti
Aku memutuskan untuk tetep up minggu ini heheheh~ Toh aku pingin ceritaku segera dibaca oleh kalian hehehehe~
Oh ya, yang di multimedia adalah Wayern :D maaf cuma bisa kasih dalam bentuk sketsa heheeh~ Dia adalah Noxis pertama yang aku ciptakan. Yup, lebih dulu daripada si Takuto hahahaha~ Yang kepo sama konsep awalnya bisa cek gambar dibawah ini LOLOLOL ini kugambar bertahun-tahun silam, iya zaman aku masih pake pensil warna. Dia kurus banget ya LOL yg di MM itu redrawnya :'D
Ok gitu aja, sampai jumpa rabu depan ^^ sekali lagi, jangan sungkan buat drop krisar ^^ aku selalu menunggu komen2 kalian XD
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top