Chapter 15
Siapa dirimu?
Dia memutuskan untuk menahan diri, merasa pertanyaan itu akan memutarbalikkan semua hal yang dia tahu dan dia tidak akan bisa memandang gurunya dengan cara yang sama. Maka, malam itu Illa diam, merasakan tangan gadis itu memeluk bahunya, berharap saat-saat ini berlangsung selamanya.
"Istirahatlah lagi."
Gumaman itu menjadi semacam mantra yang membuat kantuknya kembali datang. Illa menutup mata dan perlahan kembali terlelap, meninggalkan pertanyaan demi pertanyaan mengambang di sudut pikiran.
Terdengar kelotak kayu beradu, disertai dengan teriakan mantra. Dua lawan satu. Seorang pemuda berambut pirang menebaskan pedang kayu dalam genggamanya secara horizontal, mengincar tengkuk lawannya, sementara seorang pemuda lain yang lebih kecil merapal kata-kata dari bahasa kuno. Lawan mereka, menunduk di saat yang tepat, membuat pedang kayu yang mengarah kepadanya menebas udara. Tanpa membuang waktu, dia mendorong dirinya maju, sengaja menjegal pemuda yang sedang mengucapkan mantra, membuat konsentrasinya buyar, lalu segera membalikkan badan dan menebaskan pedang ke leher pemuda berambut pirang yang lima senti lebih tinggi darinya. Gerakannya terhenti tepat di atas kulit pucat pemuda itu, mencegah pedang kayunya menghantam nadi utama.
"Kalian kalah," ucap pemuda berambut hitam dengan senyum kemenangan walau napasnya terengah. "Perburuan berikutnya aku akan menaiki kuda tercepat."
"Belum tentu," balas pemuda berambut pirang, mata birunya berkilat licik.
"Schild!"
Semburan api yang mengarah kepada pemuda berambut hitam sebahu mengenai dinding tak terlihat lalu menguap ke udara.
"Kamu curang, Illa!" gerutu pemuda yang lebih muda, membaringkan diri di atas rumput dengan napasnya tidak beraturan, menatap langit musim panas yang mulai memerah. "Kamu bisa melepaskan sihir hanya dengan satu kata!"
"Kerja keras dan bakat, Harold," Illa menarik pedang kayunya dan memanggulnya sambil tersenyum sombong, "ditambah aku punya guru yang paling hebat."
"Bakatmu tidak masuk akal, Illa," sela pemuda berambut pirang satunya. "Kamu bisa menguasai empat elemen sekaligus. EMPAT! Tidak ada manusia yang bisa menguasai empat elemen, Illa. Jangan-jangan kamu makhluk jejadian."
"Bilang saja kamu iri, James." Illa mengangkat bahu lalu tertawa ringan.
"Tentu saja," sambung Harold sambil mendudukkan diri, matanya memincing menatap Illa. "Aku belajar sihir lebih dulu dari dirimu tapi aku masih harus mengucapkan mantra yang panjang agar bisa mengeluarkannya."
"Mau melawanku sekali lagi?" tantang Illa percaya diri. "Kalau kalian menang, aku akan menjadi pelayan kalian selama seminggu."
Harold bertukar pandang dengan kakaknya, seringai muncul di wajah mereka.
"Kamu akan menyesal telah mengatakannya." James mengangkat kembali pedang kayunya, sementara Harold mengangkat tangan dan mulai merapal mantra.
"Tapi kalau aku menang, kalian yang akan menjadi pelayanku selama seminggu."
IIla memasang kuda-kuda yang telah dia latih ribuan kali, di bawah mata awas sang guru. Dia menekan kakinya ke tanah, bersiap untuk melompat dan menyerang ketika tiba-tiba sebuah suara melengking menyebut namanya.
"ILLA!!!"
Ketiga pemuda belasan tahun tersebut langsung berhenti dari kegiatan mereka dan menoleh ke arah sumber suara. Seorang gadis berusia empat belas tahun berlari ke arah mereka. Rambut sepunggungnya yang sewarna dengan madu berkibar tertiup angin. Dia tersandung namun dengan sigap Illa menteleportasi dirinya di depan gadis itu dan menahan lengannya.
"Cath?" tanya Illa heran sementara Harold dan James berlari ke arah mereka. "Ada apa?"
"Eh, itu--" Catharine terbata sambil berusaha menyeimbangkan dirinya di atas kedua kaki, meremas gaun berwarna biru dengan gugup. Wajahnya memerah, menyadari bahwa kulit mereka bersentuhan. Illa tersenyum sebelum melepas pegangannya, membuat Catharine makin salah tingkah.
Harold mendengus. "Dua kakakmu di sini tidak dianggap, malah memanggil Illa lebih dulu."
"Bukan begitu!" Catherine berpura-pura memukul Harold, untuk menyembunyikan rasa malunya.
"Sudahlah, kalian." Illa berusaha melerai mereka dan hanya dibalas oleh cengiran oleh kedua pemuda di hadapannya. James Jr. dan Harold dengan kompak bertukar pandang. "Ada apa, Cath?"
"Ehm." Dia memilin rambutnya yang bergelombang, gugup. "A--aku hanya mau mengingatkan kalau latihan dansa untuk pesta ulang tahunku su-sudah mau dimulai. Kamu memintaku untuk mengajarimu ...."
Harold dan James kembali saling bertukar cengiran melihat adik bungsu mereka malu-malu seperti itu.
"Ah!" Illa menepuk kepalanya, mengingat sesuatu. "Aku tidak bisa, Guru memintaku untuk kembali ke menara lebih awal."
Catharine mengerucutkan bibirnya yang berwarna merah muda, tidak senang. "Tapi kamu sudah berjanji, Illa."
Pemuda itu tersenyum manis. "Maaf. Apa yang bisa aku lakukan untuk menebusnya?"
"Dia ingin kamu menjadi pasangan dansa di pesta lusa," celoteh Harold sambil terkikik membuat Catharine melempar tatapan kesal sementara wajahnya merah padam.
"Uh, um, bu-bukan seperti itu!" Gadis itu makin gugup, memukul Harold dan mencuri pandang ke arah Illa sambil memainkan rambutnya. "Uh-uhm, ka-kamu ti-tidak perlu melakukan apapun. Sa-sampai jumpa." Dia kembali menatap kakak keduanya. "Dan aku benci padamu, Harold!"
Gaun gadis itu berkibar ketika dia kembali berlari ke arah kastil. Harold segera berlari menyusul sambil meminta maaf sementara James Jr. memandang situasi di depannya sambil mengulum senyum.
"Kukira kamu akan pergi dengan Lady Bedelzve," tebak James Jr., menyelipkan pedang kayu di sabuk kain.
Illa terdiam sejenak sebelum menghela napas lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Aku ... belum berani mengajaknya .... Kamu tahu, yah ...."
Dia tidak menyelesaikan perkataannya tapi James Jr. mengerti. Pemuda itu membalas dengan senyum maklum.
"Kamu pasti bisa," ucapnya sambil menepuk bahu Illa. "Jika ada yang bisa membawa Lady Bedelzve keluar dari menara, kamu orangnya. Lagipula, kamu berlatih dansa dengan Cath untuk itu, bukan?"
Illa berjengit terkejut tapi hanya mendesah, entah kenapa tidak heran James Jr. bisa menebak tindakannya. Selama empat tahun tinggal di kediaman Walker dan menghabiskan nyaris setiap hari bersama, membuat mereka berdua dekat.
"Akhir-akhir ini guru semakin muram, tapi dia tidak memberitahuku alasannya." Illa membuang tatapannya ke tanah.
"Itu bisa jadi alasan untuk mengajak Beliau ke pesta." James Jr. menaikkan alisnya membuat Illa akhirnya tersenyum.
"Baiklah." Dia setidaknya mendapat sedikit keberanian. "Bagaimana dengan persiapan pestanya? Ada yang bisa kubantu?
"Lancar. Aku akan membuat Ayah bangga ketika dia tiba di pesta ulang tahun Cath."
"Aku juga tidak sabar bertemu dengan Tuan James setelah enam bulan," balas Illa, tersenyum. Dia senang mendapatkan figur ayah dari pria tersebut. Ada sosok seorang pria yang bisa dia contoh dan kagumi. "Dia semakin sering bepergian akhir-akhir ini. Tugas Beliau pasti sangat banyak."
"Ya. Aku dengar akhir-akhir ini ada yang melakukan Necromancy dan membunuhi non-magus. Ayah sedang sibuk menenangkan klan penyihir yang tersisa."James Jr. terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Kadang aku takut aku akan mengecewakan Beliau. Aku tidak yakin bisa menggantikan Beliau." James Jr. menelan ludah. "Apalagi sebentar lagi aku akan resmi menjadi seorang Marquess ...."
Illa tersenyum menenangkan, menaruh hormat pada pemuda yang terpaut dua tahun darinya. "Aku yakin kamu bisa, lagipula aku siap membantumu. Aku akan menjadi partnermu seperti Guru menjadi partner dari Tuan James."
Pemuda berambut pirang itu melebarkan senyumnya dan menatap Illa dengan penuh terima kasih.
Mereka berdua berjalan melewati padang rumput di belakang kastil. Matahari nyaris hilang ketika mereka berpisah di jalan menuju menara astronomi. James berjalan masuk ke kastil mewah melalui pintu belakang sedangkan Illa langsung menteleportasi dirinya untuk segera tiba di depan pintu kamar, mengabaikan ratusan anak tangga yang membentang, tidak sabar untuk bertemu dengan gurunya. Dia membiasakan diri untuk mengetuk sejak gadis itu menegur dirinya bahwa tidak sopan menerobos masuk.
"Masuk."
Mendengar suaranya saja sanggup membuat senyum pemuda itu mengembang. Illa segera membuka pintu dan mendapati bahwa gurunya sedang duduk di kursi kayu sambil memegang buku tebal bersampul coklat, sebuah kristal berwarna biru berpendar pelan tertanam di sampulnya. Dia masih memakai kemeja longgar berwarna putih yang nyaman dan rambut panjangnya terikat tunggal di dekat tengkuk. Penampilannya tidak banyak berubah sejak empat tahun lalu. Illa bahkan merasa bahwa penampilan gurunya tidak berubah sama sekali.
"Apa yang guru baca?" tanyanya seraya mengintip dari punggung gadis itu, sengaja menunduk sambil menopang tubuhnya pada meja agar wajah mereka sejajar dan dapat melihat lebih jelas wajah gadis itu dari samping. Jujur, dia tidak terlalu tertarik dengan apa yang sedang dibaca, itu hanya basa-basi.
"Kamu sudah datang?" tanyanya tanpa menoleh.
Pertanyaan retoris, Illa tidak perlu menjawab dan terus memandang ke arah wajah gadis itu dengan sudut matanya sambil terus tersenyum. Mata gurunya bulat dengan alis yang membingkai rapi, memberikan kesan tegas namun menyenangkan, sementara bentuk wajahnya sedikit bulat membuat dia terlihat tetap muda walaupun harusnya dia sudah berumur lebih dari dua puluh tahun. Illa paling menyukai bulu mata gadis itu, panjang dan lentik, sewarna dengan rambut coklatnya, ditambah dengan hidung yang mungil. Illa dapat memandangi wajah itu berlama-lama tanpa pernah bosan.
"Illa?" tanya gadis itu sekali lagi, membuyarkan lamunan.
"Ya?" balas Illa berusaha terdengar wajar lalu berdehem. "Ada apa guru memintaku kembali lebih awal?"
"Hmm? Apakah aku tidak boleh meminta waktu muridku?" Dia menutup buku dan menoleh memandang pemuda itu.
Illa seketika melangkah mundur. Wajah mereka terlalu dekat, jantungnya berdentam-dentam dalam rongga dada. Sekali lagi Illa berdehem, mengalihkan pandangannya ke arah buku yang dipegang sang guru. Apapun untuk menenangkan diri. Illa dapat membaca tulisan di sampulnya, "Menyekap Sihir", membuat pemuda itu bertanya-tanya untuk apa gurunya membaca buku seperti itu.
"Akhir-akhir ini kamu lebih sering menghabiskan waktu dengan Walker bersaudara di luar jam-jam belajar." Gadis itu berdiri dan mengembalikan buku di tangannya ke lemari. "Jadi aku pikir, tidak ada salahnya hari ini kita berbicara lebih banyak."
"Baiklah." Illa berusaha terdengar santai untuk menyembunyikan kegugupan sambil memandang gurunya yang kini berjalan ke kursi. Gadis itu tersenyum menatapnya dan jantungnya kembali berulah. Sial! Itulah alasan menghindar dari gurunya, walaupun waktu-waktu bersama dengan gadis itu selalu terasa cepat berlalu. Lagipula, tambah Illa dalam hati, gurunya sendiri yang semakin diam dan menatap kosong ke arah luar menara, memberikan jarak yang asing di antara mereka. Dia benci mengingatnya.
"Jadi, bagaimana kabarmu akhir-akhir ini?" tanya Bedelzve sambil mempersilakan Illa duduk di kursi sebelum dia sendiri melakukannya.
"Tidak ada yang menarik," jawab Illa sekenanya sambil mengikuti gurunya duduk, berusaha menikmati waktu-waktu yang tersedia.
"Oh ya?" Mata hijaunya membulat.
Illa terdiam, menyadari bahwa warna hijau itu begitu indah tertempa sinar senja. Sejak kapan gestur sederhana itu membuatnya sulit bernapas?
Gadis itu menghela napas namun tetap tersenyum. "Baiklah." Dia terdiam sejenak, matanya memandang ke sudut kosong di samping kirinya. "Aku ingin bertanya lebih banyak, tapi sepertinya kita kedatangan seorang tamu."
Illa langsung menoleh ke arah pandangan sang guru. Di bawah pendaran bola cahaya hasil sihir gurunya--satu-satunya penerangan di sana--dia melihat seseosok manusia perlahan memadat dari udara kosong dan ternganga. Di hadapannya berdiri seorang wanita raksasa, nyaris menyentuh langit-langit menara. Tingginya dua kali tubuh pemuda itu, memakai gaun biru tua dan berjubah hitam, bukan hitam seperti kain, tapi lebih seperti langit malam dengan taburan jutaan kerlip cahaya. Illa tercengang, dia seperti melihat gugusan bintang berkilau di sana.
Dia menaikkan pandangannya dan mendapati wajah seorang wanita berusia akhir dua puluhan sedang menatapnya dengan mata yang sewarna dengan gaunnya. Tatapan sendu dari mata yang nyaris tertutup. Rambutnya yang kelam menjuntai melewati wajah, kontras dengan kulit pucat dengan warna biru tipis.
Untuk sesaat, Illa terdiam. Dia tidak pernah melihat tamu sang guru sebelumnya dan dia berani bertaruh kalau wanita itu bukan manusia. Ada kesan kuno dari dirinya, seakan dia sudah hidup sejak awal dunia diciptakan.
Illa memandangi wanita itu tanpa berkedip sebelum kembali menatap sang guru, menyadari bahwa gadis itu sudah memegang sebuah kotak di tangannya. Kotak yang tidak akan pernah dia lupakan karena nyaris merenggut nyawanya enam tahun silam di kota Radcott. Illa memandangi gurunya, alisnya berkerut.
Untuk apa?
_________________________________
Yay! Muncul Noxis ketiga di cerita ini selain Maut dan Pemusnah, Sang Penuntun. Tunggu aksinya minggu depan (kalau aku berhasil update //dibuang)
Btw, yg di multimedia itu bayanganku tentang Illa waktu dia umur 16 tahun hehhehehe, cakep ya XD jangan tanya siapa castnya, aku nemu fotonya random di internet lol
Akhir2 ini aku merasa jenuh untuk menulis ini :'( aku merasa pacenya turun dan ceritanya menjadi membosankan :'< semoga ini cuma perasaanku aja ....
Well, jujur aku berencana untuk hiatus minggu depan, tapi yah, aku akan lihat-lihat lagi :'D doakan saja tidak jadi :'D
Sedikit survey, sampai saat ini adegan apa yang menurut kalian paling berkesan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top