Chapter 13.5
Remaja itu tidak memahami kenapa tiga orang di hadapannya bersikap sangat-sangat aneh hari ini. Illa memandangi ketiga bersaudara Walker dengan tatapan heran. Harold memamerkan senyum bodoh sepanjang hari, dia bahkan menerima omelan dari Mrs. Anderson sambil bernyanyi kecil. Catharine juga. Suasana hati gadis itu bahkan cukup untuk tidak menghindari Illa selama pelajaran.
"Ada apa?" tanyanya memandangi James Jr.. Illa bersumpah dapat melihat bunga-bunga kecil bermekaran di sekitar wajah pemuda berusia empat belas tahun itu.
"OH!" serunya berlebihan, membuat Illa sedikit jengah dan bergerak mundur. "Kamu juga harus ikut besok!"
"Ikut?" Illa mengerutkan alis sambil membereskan buku yang mereka pakai dalam pelajaran aritmatika dan mengembalikannya ke lemari di ruang belajar.
"Ayah sudah pulang!" Harold berusaha membantu menjawab tapi justru membuat kerutan di dahi Illa makin tebal. Catharine menyodok tulang rusuk Harold sebagai hukuman karena tidak berguna.
James Jr. tertawa kecil sebelum membantu Illa meletakkan buku-buku di rak yang lebih tinggi. "Hari ini Ayah kami kembali dari perjalanan panjangnya. Sudah tiga bulan, sejak Ayah pergi. Kamu ingat, 'kan? Sehari setelah kamu datang kemari, kita sempat sarapan bersama."
Illa mengangguk. Dia mulai paham mengapa mereka bertingkah seperti orang gila sepanjang hari. Mungkin dia juga akan seperti itu bila dia akan bertemu dengan gurunya setelah tiga bulan. Illa tersenyum, untunglah gurunya selalu ada di menara setiap kali dia kembali.
"Bukan hanya itu," sahut Harold, berjalan ke arah Illa sambil melompat kecil. "Besok Ayah mengajak kami berpiknik bersama."
Mulut Illa membentuk huruf O sebagai tanda dia paham.
"Bukan hanya piknik, Ayah berjanji juga akan mengajakku memancing." James Jr. memandang Illa dengan mata berbinar. "Sambil menunggu ikan melahap umpan, kami bisa bercerita banyak hal."
"Aku tidak suka memancing, itu membosankan." Catharine ikut membuka suara, membuat Illa menoleh kaget. Gadis itu kembali mengerut di bawah tatapan Illa.
"Jangan dengarkan Cath, Illa." Harold mengibaskan tangannya. "Anak perempuan tidak tahu asiknya memancing!"
"Kamu harus ikut," ajak James Jr. antusias yang sayangnya tidak dibalas dengan semangat yang sama.
"Harus?" Dia lebih suka membayangkan dirinya seharian di menara, bersama dengan sang guru.
"Harus!" Harold lagi-lagi menyahut, mengabaikan gerutuan Catharine.
Illa menghela napas dan akhirnya berkata, "Aku harus minta izin pada Guru."
Itu terbukti alasan yang lemah, karena gadis itu langsung mengiyakan pertanyaan Illa dengan senyum lebar. Illa mengutuk dalam hati. Malam itu dia tidur dengan harapan bahwa sesuatu terjadi dan membatalkan acara tersebut. Harapannya benar-benar terkabul esok harinya.
"Maaf." Sebuah suara bariton bergema di ruang makan saat sarapan. Pemiliknya hanya bisa tertunduk sedih. "Ayah harus berangkat sekarang dan menemui ketua Klan Erstea di timur."
Senyum di ketiga wajah anaknya langsung hilang dan bahu mereka merosot turun, membuat Illa nyaris merasa kasihan dengan mereka. Nyaris, karena dalam hati dia tertawa, doanya dikabulkan.
"Tentang penerapan pakta?" tanya sang guru, membuat Illa menoleh ke samping. Ini adalah satu dari kesempatan langka gadis itu melangkah keluar dari menara, memenuhi undangan kepala keluarga Walker untuk sarapan bersama.
Terdengar helaan napas dalam. "Ya," jawab James Sr. sementara ketiga anaknya memainkan makanan mereka tanpa selera. "Mereka kesulitan untuk menerapkan artikel kelima puluh tiga dalam kebudayaan mereka. Kondisi di sana sedang genting, perang saudara dapat terjadi kapan pun. Wakilku di sana sudah angkat tangan. Aku harus pergi."
Untuk sesaat keadaan sunyi. Illa menunggu dengan sabar tapi optimis. Dia berusaha menahan senyum dan menampilkan muka prihatin, bagaimana pun dia tidak ingin dimusuhi oleh ketiga teman pertamanya.
"Biar aku saja." Suara sang guru memecah keheningan membuat mata Illa mendelik. Remaja itu berusaha memberi sinyal agar gadis itu menarik kata-katanya tapi yang terjadi justru sebaliknya. "Aku yang akan berbicara dengan Tyrie, tapi sepertinya aku akan perlu meminjam lambang keluarga Walker. Aku membutuhkannya agar pengawal mengizinkanku bertemu Tetua mereka."
Suasana di ruang makan itu seketika kembali gembira. Senyum muncul di wajah ketiga anak di hadapan Illa. Illa sendiri berusaha mengikuti perubahaan yang terjadi walau hatinya menggerutu. Kali ini giliran dia yang memainkan sisa pancakesnya tanpa berniat menghabiskan. Ini lebih buruk daripada yang dia harapkan, dia tidak tahu kapan sang guru akan kembali.
James Sr. langsung membuka cincinnya dan memberikan kepada pelayan untuk diteruskan kepada gadis itu. Sang guru menerimanya dan menyelipkannya di jempol. Cincin emas dengan ukiran huruf W meliuk di tengah. Illa kagum dengan keindahan cincin sederhana namun terlihat mahal tersebut. Ada beberapa goresan di badan cincin, tanda bahwa benda itu sudah berumur lebih lama dari pemiliknya.
"Terima kasih, Lady Bedelzve." James Sr. menunduk hormat yang dibalas dengan gestur yang sama.
"Kamu sudah bekerja keras, James. Tidak ada salahnya kamu menghabiskan waktu dengan anak-anakmu." Gadis itu tersenyum lebar ke arah ketiga bersaudara. "Aku hanya minta, tolong jaga Illa selama aku pergi."
"Tentu saja. Aku akan menjaganya sama seperti menjaga anakku sendiri." James Sr. segera meletakkan kain alas makannya ke atas meja, tanda bahwa dia sudah selesai sarapan. Kelihatan sekali dia tidak sabar untuk segera memulai liburan. Ketika dia berdiri, ketiga anaknya mengikuti. James Jr. dan Harold langsung meminta izin untuk mengambil perlengkapan memancingnya.
"Guru! Aku ikut!" Illa memandang gadis itu memohon.
Dia hanya menepuk-nepuk kepala Illa. "Tenang saja, lokasi tempat memancing yang dituju masih berada di dalam perlindungan yang ada di kastil ini. Tidak akan ada Soul Eater yang bisa mendekatimu. Lagipula, aku tidak bisa membawamu ke tempat di mana perang sipil bisa terjadi sewaktu-waktu. Baik-baiklah selama Guru pergi."
Sebelum Illa sempat membantah, sang guru sudah berdiri dan menganggukkan kepala, pamit, dan tiba-tiba saja udara di depannya kosong. Gadis itu sudah berteleportasi. Illa mengomel dalam hati.
Maka di sanalah dia, duduk di dalam kereta kuda yang membawa mereka ke danau tak jauh dari kompleks kastil. Dia melihat bosan ke arah luar jendela yang menampilkan pemandangan pohon berlarian. Terdengar celotehan riang dari keluarga kecil di hadapannya. Mereka bertiga berebut menceritakan pengalaman mereka selama ayahnya pergi. Illa mengalihkan pandangannya ke arah mereka. Dalam hati dia iri, dia juga ingin memiliki seorang ayah. Ingatan tentang ayahnya mulai terkikis oleh waktu. Illa hanya ingat bahwa ayahnya adalah seorang yang tinggi namun kurus dan memiliki tangan yang lembut. Dia merindukan belaian itu di kepalanya.
"Illa, ceritakan juga tentang dirimu." Suara James Sr. mengeluarkan Illa dari lamunan. Remaja itu menoleh dan tiba-tiba lidahnya menolak bekerja sama.
"E-eh? Ti-tidak ada yang menarik," jawabnya terbata.
James Sr. meminta Harold bertukar tempat duduk dengannya agar dia bisa berada di samping Illa. Pria itu menatap Illa simpatik dan entah mengapa Illa merasa aman di dekat orang itu. Gurunya memang kuat tapi gadis itu tidak memiliki badan besar dan lengan yang kokoh, terlebih lagi sebagai seorang pria, harusnya Illa yang melindungi sang guru, salah satu prinsip yang dia ingat pernah dikatakan oleh ayahnya.
"Apakah kamu betah?"
Illa mengangguk tanpa ragu. Pria itu tertawa, tawa yang lepas dan bahagia. Tanpa sadar, Illa ikut tersenyum. Mungkin tidak buruk juga dia ikut dalam perjalanan singkat ini.
"Baguslah." James Sr. kembali berbicara. "Apakah ketiga anakku mengganggumu?"
"Kami tidak nakal dan mengganggu Illa!" Harold menyahut. "Benar 'kan?"
Remaja itu tertawa. "Bohong! Aku masih ingat kemarin kamu diam-diam mengambil jatah kudapanku."
"Oh ya? Kukira kamu menyumbangkan dengan sukarela?" balas Harold tersenyum jahil, membuat Illa berpura-pura memukulnya.
Suasana kembali ramai di sana. James Jr. ikut menimpali perkataan Illa sementara Catharine, masih tidak mau berbicara langsung dengannya. Tidak apa, toh suasana riang tidak berkurang. Kereta kuda berhenti di depan sebuah danau luas berair tenang. Terlihat riak-riak air kecil berjalan terkena tiupan angin. Dari kejauhan terdengar gemericik air terjun bersahutan dengan cericit burung dan desahan pohon pinus yang mengelilinginya, membawa aroma ke hidung Illa. Matahari bersinar hangat dan hamparan rumput pendek menyempurnakan suasana. Sang kusir segera turun dan membukakan pintu, lalu membuka kain sebagai alas dan makanan di atasnya.
Harold dan Catharine berlomba keluar dari kereta dan langsung berlari ke arah danau. James Jr. menyusul lalu membantu sang kusir membawa menata makanan. Illa turun kemudian lalu James Sr.. Anak itu memandang sekeliling dengan kagum. Dari kejauhan dia dapat melihat menara tempat sang guru diam, samar-samar, nyaris menyatu dengan birunya langit. Angin berhembus membawa udara segar yang segera memenuhi paru-parunya bersama dengan wangi rumput. Senyum langsung merekah, dia ingin pergi ke sini bersama dengan sang guru.
"Ayo anak-anak, kita siapkan umpan," panggil James Sr. yang hari itu melepas semua jas berat dan hanya memakai kemeja putih yang ringan. Dia tetap terlihat berwibawa tapi lebih mudah didekati.
Harold dan James Jr. segera berlari menuju ayah mereka. Illa menyusul di belakang, menatap penuh minat ke arah peralatan yang disiapkan. James Sr. memasang potongan kayu yang terdiri dari tiga bagian menjadi sebuah tongkat yang panjang dengan kail di ujung tali. Di ujung tongkat yang untuk dipegang, berlapis lempengan besi, membuatnya lebih kokoh. Ada empat tongkat yang serupa dan James Jr. segera memasang miliknya, diikuti Harold. Illa sendiri mendapatkan tongkat yang disusun oleh James Sr., sambil menatap bingung.
"Aku akan mendapat ikan paling banyak!" Harold segera berlari ke arah kanan danau.
"Aku juga akan mencari tempatku. Sebelum tengah hari, aku akan kembali," ucap James Jr. sebelum ke arah yang berlawanan dengan Harold. "Kita akan banyak bercerita, Ayah."
James Sr. hanya tertawa menimpali tingkah anak-anaknya. Illa sendiri mengikuti pria itu seperti bayangan dan melakukan apapun yang dilakukan olehnya. Dia tidak pernah memancing sebelumnya, sang guru hanya mengajaknya berburu. Dalam waktu sepuluh menit, mereka sudah menunggu dengan sabar umpan yang belum dimakan ikan. Catharine ikut duduk di samping sang ayah, memainkan boneka yang dibawa.
"Bagaimana latihanmu dengan Lady Bedelzve?" tanya pria itu, di tengah hembusan angin yang memainkan rambut pirang sedikit bergelombangnya.
"Baik," jawab Illa. "Seperti biasa, Guru menyiksaku."
Pria itu tertawa. "Dia pasti sangat sayang padamu, ya?"
"Tentu saja." Senyum bangga terukir di wajahnya.
"Kamu pasti akan sehebat Beliau," ucap James Sr. sambil menatap Illa penuh harapan. "Sepengetahuanku, Beliau tidak pernah mengambil murid secara khusus. Memang, Beliau sesekali melatih James, tapi kamu pasti sangat spesial."
Kepala Illa nyaris melembung mendengarnya. Dia tidak bisa menyembunyikan senyum lebar. "Apakah Anda sudah lama mengenal Guru?"
Dia terdiam, tampak berpikir. "Aku mengenal Beliau seumur hidupku," jawabnya sambil memandang ke arah kejauhan. "Kami sering bekerja sama dalam tugas kami menjaga agar pakta dilakukan, seperti yang kamu lihat hari ini. Sebelum kamu datang, Beliau lebih aktif berkeliling, tapi sekarang Beliau lebih ingin fokus mengajarimu." Dia terdiam sejenak sementara Illa lagi-lagi merasa sangat diistimewakan. "Yah, walaupun kami sudah berusaha tapi, tidak semua penyihir baik. Aku sampai berpikir, apakah yang kami lakukan ini berguna. Apa lebih baik aku diam di rumah dan menghabiskan waktu dengan anak-anakku?"
Tawa kecil keluar dari mulut Illa, sebelum dia memandang kagum, menunggu pria itu bercerita. Dia ingin tahu lebih banyak tentang kehidupan gurunya.
"Untung sekali, Beliau selalu bisa diandalkan. Ketika keadaan di luar kendali, Beliaulah yang menyelesaikannya." Dia tertawa kecil, memandangi riak air yang mendekati kail mereka. "Sebenarnya Beliaulah yang lebih cocok menjadi penjaga pakta. Tidak terhitung berapa kali nyawaku diselamatkan oleh Beliau." Pria itu menoleh, mata birunya teduh memandang Illa. "Nanti, ketika James menggantikanku, aku minta, kamu juga menjaganya, juga menjaga Harold dan Catharine. Apakah kamu bisa melakukannya, Illa?"
Illa mengangguk pasti. Rasa bangga semakin mengembang di dada. Sedikit berbeda ketika sang guru memuji. Dia merasa ada ikatan lain, sebuah kepercayaan dari seorang ayah kepada anak. Kepercayaan antar pria.
James Sr. mengacak rambut anak itu lalu menghembuskan napas. "Maaf kalau aku sedikit egois, tapi aku yakin kamu sanggup melakukannya."
"Serahkan padaku!" seru Illa sebelum tepat pada saat itu kailnya bergerak.
"Tarik!"
Remaja itu langsung menyambar pancingnya dan berusaha untuk menarik tangkapannya ke darat tapi tenaganya tidak cukup kuat. James Sr. langsung bergerak di belakang Illa dan membantu anak itu memegangi tongkatnya.
"Sepertinya kamu menangkap ikan besar! Jangan terburu-buru menarik. Kita harus menunggu sampai dia lelah," ucap pria itu sambil bergerak maju lalu ketika merasakan tarikannya berkurang, langsung mundur. Begitu seterusnya, hingga akhirnya mereka berdua mengeluarkan seekor ikan yang berukuran setengah tubuh Illa dari danau.
James Sr. langsung mengambil penangkap ikan dan mengurungnya dengan jala. Ikan itu memberontak, mencipratkan air ke seluruh tubuh Illa. Namun hal itu tidak bisa menghapus senyumnya. Dia berhasil menaklukan monster danau!
"Kerja bagus!" puji pria itu sambil berusaha menyeret ikan itu lebih jauh ke darat, mencegahnya kembali ke air. Illa memandang kagum ke arah James Sr.. Ototnya yang kuat menarik ikan yang menggelepar dengan mudah. Suatu ketika dia akan menjadi sekuat orang itu.
"Kerja bagus." Catharine membeo. Illa memandanginya, gadis kecil itu membalasnya walau takut-takut, membuat senyum Illa mengembang lebih lebar.
"Terima kasih, Cath."
Wajah gadis itu memerah dan berlari ke arah ayahnya.
Tak lama kemudian Harold dan James Jr. kembali, membawa tangkapan mereka. Tidak sebesar Illa, membuat hidung remaja itu kembang kempis dengan rasa bangga. Mereka memancing sampai tengah hari sebelum makan siang menggunakan bekal yang dibawa. Setelah makan, mereka kembali menghadap danau. Hanya saja kali ini, Illa berusaha untuk bermain bersama Catharine, menemaninya bermain boneka. Sedikit terasa aneh, tapi setidaknya dia berhasil membuat anak itu tidak lagi menghindari dirinya.
Mereka kembali ke kastil ketika langit hampir merah. Illa tidak lagi merasa canggung dan untuk pertama kalinya, dia merasa memiliki keluarga.
Ketika kereta kuda berhenti dan pintu dibukakan, Illa melihat sesosok perempuan berdiri menyambut mereka. Kali ini, Illa memaksa keluar terlebih dahulu dari kereta dan langsung menghambur memeluk sosok itu.
"Selamat datang kembali, Illa," ucap sang guru membalas pelukan remaja yang kini sudah nyaris setinggi dirinya. "Bagaimana pikniknya?"
Illa menoleh ke arah keempat orang yang baru turun dari kereta, melambaikan tangan sebelum menjawab pertanyaan gadis itu.
"Guru tidak akan percaya ceritaku ...."
___________________________________
Extra part pertama untuk melengkapi cerita ini hahahaha karena banyak yg protes (dan aku sendiri) kurang puas dengan hubungan Illa dengan James Sr.
Aku tahu aku agak sedikit boros kata-kata di sini :s tapi semoga masih bisa dinikmati :D aku berusaha memakai kata-kata ringan hehehehe dan coba tebak berapa jumlah kata di part ini? Hahahahahaha
Btw, di bawah ini adalah lukisan alat pancing yang dipakai pada zaman itu. Tongkat pancing dipotong menjadi tiga bagian agar mudah dibawa dan masing2 bagian terbuat dari kayu yang berbeda sesuai dengan fungsi mereka.
Laluuuu, aku baru saja menemukan foto yang menyerupai Cath hahahaha manis ya dia ^^ aku suka
Sampai jumpa minggu depan :3
Jangan lupa ikuti Giveaway yang ada di post sebelum ini :D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top