3. Sebuah Aja Bikin Kesal Apalagi Satu Pasukan

-

-

"Ini, Mbak."

Suara lembut seorang wanita samar-samar terdengar. Magda menurunkan earphone dari telinganya, tersenyum sopan, seraya menerima tiga buah buku di atas meja.

"Mau balikin atau diperpanjang?"

"Balikin aja, Mbak."

Usai menyerahkan kartu anggotanya, mata wanita itu berputar mengeliling ruangan perpustakaan yang terlihat lengang.

"Tambah sepi aja kayaknya, Mbak," celetuk wanita itu terdengar miris.

"Kalau berisik pasar dong namanya," jawab Magda cuek seraya membenahi kacamata di hidungnya.

Wanita tadi tersenyum kecut, merasa serba salah untuk menjawab.

Tanpa ambil pusing, Magda kembali fokus memindai barcode kartu anggota, dilanjutkan dengan barcode buku-buku tadi.

Yah, mau bagaimana lagi, memang sudah seperti itu kan nasib perpustakaan belakangan ini. Orang lebih memilih mencari informasi di internet bermodal kata kunci, ketimbang harus susah-susah mencari dari tumpukan kata dalam buku yang barang tentu memakan waktu lama.

"Terima kasih," kata Magda menyerahkan kartu perpustakaan milik wanita tadi.

Wanita itu pun pamit, kembali meninggalkan Magda seorang diri. Setelah membawa tiga buah buku tadi ke pelukannya, Magda bangkit dari duduk. Sayup-sayup terdengar lagu Koes Plus dari arah earphone, ketika dia campakkan benda itu dan kacamatanya ke atas meja begitu saja.

Selesai meletakkan buku-buku tadi ke troli, Magda lanjut melangkah dan berhenti di tengah-tengah perpustakaan.

Perempuan berambut keriting sebahu, dengan rok pensil di bawah lutut serta blouse turtle neck berwarna hijau pastel itu, lantas menerawang ke depan. Pupil Magda berpindah ke kanan dan kiri, mengawasi tiap jengkal area perpustakaan.

Samar-samar aroma khas perpustakaan ditambah udara sejuk dari pendingin ruangan terhirup banyak melalui hidung lantas menyesaki paru-paru Magda, menciptakan kesan damai yang selalu dia rindukan.

Perlahan kelopak mata Magda ikut menutup, seakan-akan sangat menikmati.

Sedari dulu Magda memang suka suasana seperti ini. Tenang, tanpa gangguan, sejuk, ditambah bau kertas usang dari buku-buku di rak perpustakaan yang bagi perempuan itu menyimpan rahasianya tersendiri. Rahasia yang bahkan sampai kapanpun akan sulit untuk dikuak.

Seperti halnya perpustakaan tempat dia bekerja sekarang ini.

Selama di sini, Magda dapat merasakan kentalnya pemikiran para filsuf dari dunia filosofi pada rak-rak buku di belokan kanan pertama.

Sementara, bila kita terus lurus dan berkelok ke kiri, maka dunia novel picisan dengan segala intrik romansanya telah siap membawa hati semakin berbunga-bunga, bak Shakespeare yang tengah jatuh cinta.

Atau ada pula derak dan dengungan suara mesin-mesin pembangkit sejarah peradaban, dari buku berbau teknologi di sudut paling kiri. Semuanya tinggal pilih, baca, dan resapi buku mana yang dia suka tanpa perlu keluar modal.

Selain soal hal-hal tadi, Magda selalu suka suara gema dari roda troli yang dia gerakkan saat berkeliling merapikan koleksi perpustakaan. Yang baginya bagai musik jadul yang dia gemari. Menggelitik, menenangkan, dan tak pernah termakan oleh jaman.

Bisa jadi itulah mengapa Magda dengan senang hati mengambil jurusan ilmu perpustakaan, lantas tanpa berpikir dua kali menerima pekerjaan sebagai pustakawan. Walaupun banyak yang bilang itu kuno dan berpenghasilan rendah.

Selama itu cukup serta sesuai dengan minatnya, kenapa tidak? Terkadang Magda bingung dengan persepsi cukup menurut manusia-manusia kebanyakan.

Padahal jika boleh sombong, pustakawan itu pekerjaan terpenting di dalam dunia ilmu pengetahuan. Catat itu.

Apalah artinya ilmu tanpa buku-buku di sana. Lalu apa jadinya ratusan buku yang berhimpitan itu tanpa perpustakaan, tanpa pustakawan berhati malaikat seperti dirinya. Yang rela merapikan, membersihkan debu, dan menyortir susunannya berdasarkan nomor panggil. Harusnya pahlawan tanpa tanda jasa juga disisipkan kepadanya.

"Mag!"

Seruan seorang pria muncul dari arah belakang tubuh Magda. Akan tetapi, perempuan yang sekarang malah meregangkan kedua tangannya bak adegan film Titanic -- minus Jack dibelakangnya -- tetap bergeming. Seolah-olah lupa dengan definisi kata malu.

"Magdalena!"

Terperanjat, kedua mata Magda terbuka lebar-lebar. Kemudian, tanpa dosa kepala perempuan itu menoleh ke belakang. Tentu dengan kedua tangan yang sudah terlipat rapi di depan tubuhnya.

Alih-alih takut, Magda malah tersenyum tipis kepada atasan alias koordinator bagian pelayanan umum dan sirkulasi yang berdiri tegak di belakangnya, Hans.

Sedangkan, kedua alis Hans sudah menukik tajam ke arah Magda. Bahkan lamat-lamat perempuan itu dapat mennyaksikan kumis gondrong pria itu bergetar seirama bibirnya yang bergerak-gerak menahan jengkel.

"Buku-buku dari bagian pengadaan udah sampai di ruang depan. Mau kamu inventarisasi kapan?" tanya Hans sarkastik seraya melipat kedua tangan kurusnya ke dada. "Terus bukannya buku-buku dari program donor kemarin juga belum kamu rapihin?"

"Ini baru mau aku kerjain," potong Magda cepat.

Selanjutnya, sebelum pria itu kembali mengeluarkan suara, Magda sudah melenggang pergi. Di satu sisi, Hans hanya dapat geleng-geleng kepala dengan tangan kanan menyentuh pelipisnya yang pening.

***

Magda terpaku sesaat melihat sekotak besar kardus teronggok di samping meja. Sementara beberapa kantung karton dan kardus berukuran lebih kecil melambai genit kepada Magda dari pojok ruangan, seolah-olah menuntut untuk segera dipindahkan.

Melihat besarnya kardus, lantas dibandingkan dengan rata-rata panjang dan lebar buku, mungkin ada tiga puluh hingga empat puluh buku di dalam sana. Lantas bila digabungkan dengan kantung dan kardus yang menumpuk, jumlahnya bisa jadi hampir menyentuh angka seratus.

Magda meringis. Bila dihitung-hitung lagi dengan jumlah menit eksekusi per bukunya, mungkin baru dua minggu lagi semua buku bisa disusun dalam rak perpustakaan. Sepertinya dia harus mengerahkan semua karyawan yang ada bila ingin semua buku di sini selesai diolah.

Jujur, dari segudang pekerjaan di perpustakaan, mengolah buku baru bisa dibilang hal yang menguras tenaga sekaligus menantang. Lantaran banyak langkah yang harus dia lakukan, seperti mengklasifikasikan, mengatalogisasi, dan selanjutnya mendandani buku hingga siap berderet di dalam rak.

Apalagi untuk mengklasifikasikan sebuah buku dan memberi nomor panggil tidak bisa sembarangan. Sebab memberi nomor panggil, tidak semudah memberi nama kucing.

Harus sesuai dengan aturan, bila dijabarkan mirip seperti pengklasifikasian makhluk hidup. Atau bagi Magda seperti tengah memberikan nama kepada bayi yang baru lahir di perpustakaannya.

Saking cintanya, tidak aneh jika Magda paling benci dengan orang yang tidak menghargai buku, lebih-lebih yang memandang sebelah mata dengan pekerjaannya.

Lelah merenung. Tatapan Magda kembali berkonsentrasi pada kardus berukuran besar tadi. Dengan susah payah sampai hampir terjengkang, Magda berhasil mengangkut kardus berat itu ke atas meja. Sampai-sampai keringat sebesar biji jagung meluncur dari samping pelipis dia hiraukan.

Sambil bersenandung pelan, Magda berkeliling mencari cutter untuk membuka perekat dari mulut kardus. Aroma buku baru menguar ketika Magda berhasil membuka lebar mulut kardus. Sunggingan senyum pun nampak dari bibir merah muda milik Magda. Dengan cekatan dia mengeluarkan satu per satu buku-buku dari sana ke atas meja.

"Wih, buku baru lagi nih?"

Magda mengangguk. Seplastik camilan tersaji di depan meja, ketika Gea karyawan perpustakaan yang lain kembali dari makan siang.

"Apaan nih?"

"Lumayan buat cemilan, buat nemenin kita kerja," kata Gea membantu Magda mengeluarkan buku di dalam kardus.

"Raihan, Vinny sama Dame mana? Kok dari tadi pagi aku belum lihat mereka?"

"Mereka ikut Rakor di Perpusnas sama anak atas. Kenapa?" tanya Gea mencomot cemilan di dalam plastik.

Magda menggeleng. Itu berarti selama tiga hari ke depan dia hanya akan bertiga mengurus buku-buku ini. Itu juga bila Hans mau bermurah hati membantu mereka berdua.

"Nanti kamu bantu aku katalogisasiin juga ya."

Gea tersenyum lebar sambil meletakkan tangan kanannya ke pelipis. "Siap, Magdaku sayang!"

"Geli," ketus Magda sembari mencebik.

Ada jeda di antara keduanya kala Magda teringat akan sesuatu. "Ngomong-ngomong, cowok yang kata kamu temennya Damar itu dua hari yang lalu ke sini."

"Yang bener? Ngapain? Kok enggak bilang-bilang," gerutu Gea menarik sebuah kursi dan duduk anteng di sisi Magda.

"Kamu kan cuti," potong Magda melirik Gea datar. "Lagian cuma kasih buku dari Brian kok. Bule yang sering nongkrong di sini kalau makan siang."

Gea mengangguk. Dia ingat bila CEO tempat sahabatnya bekerja itu memang pernah berjanji ingin memberikan koleksi bukunya ke sini.

"Terus-terus, Namanya siapa? Orangnya gimana? Keren kan?"

Mata Magda berubah segaris dengan raut wajah malas kepada Gea. "Namanya Pange," jawab perempuan itu masih sibuk mengelompokkan buku berdasarkan jenisnya di atas meja.

"Tapi jangan deh. Tipikal cowok gamer banget. Brainless," tambah Magda.

"Maksudnya? Tahu dari mana?" tanya Gea makin penasaran. "Setahu aku karyawan di sana keren-keren kok. Kebanyakan lulusan luar lagi, kecuali Damar."

Magda berdecak. "Percuma kalau attitude-nya nol besar," celetuk dia lagi penuh aura skeptis. "Bayangin aja, masa bukunya Carl Sagan yang Cosmos robek gara-gara dia. Udah tahu itu buku kan langka. Kalaupun ada, bajakan semua." Magda terlihat geram sambil menunjuk buku yang tergeletak pasrah di dalam rak.

"Beneran? Kok bisa?" celetuk Gea lantas mendekati rak untuk tahu seberapa parah rusaknya. "Enggak sengaja kali."

"Bisalah! Orang dia tidurin, dia pikir gampang apa bikin buku. Main nemplok aja lagi." Bibir Magda terlihat maju-mundur saking jengkelnya.

"Emang parah sih ini." Gea tergelak sambil menggoyang-goyangkan bagian buku yang robek ke udara. "Tapi keliatannya dia lumayan manis ah. Aku sempet lihat dia kasih tempat duduk sama ibu-ibu, waktu balik naik KRL bareng Damar minggu kemarin," tuturnya lagi, kembali mendekati Magda.

"Banyak kali yang ngelakuin gitu, emang dia doang," potong Magda menarik setumpuk buku sejenis untuk mulai melakukan inventarisasi atau simpelnya memasukkan data buku ke dalam databese perpustakaan.

Kepala Gea menggeleng cepat, sambil ikut membuka software database dari laptopnya. "Kata siapa? Jarang kali. Kebanyakan mereka malah pura-pura tidur."

"Dan satu lagi," kata Gea bersemangat. "Kamu harus lihat waktu dia tidur sambil berdiri. Lucu banget."

Magda meringis. "Kamu pasti ilfeel kalau liat dia tidur kemarin," gumam perempuan itu pada dirinya sendiri.

Dua jam berlalu tanpa terasa, beberapa buku yang selesai didata dipindahkan ke meja yang lain, untuk selanjutnya mulai diberikan nomor panggil dan diklasifikasikan.

"Udah ada balasan, Mag?" tanya Gea tiba-tiba. Magda yang masih serius mengisi database pada laptop menatap Gea bingung.

"Dari?"

Gea melirik sebuah benda di atas meja Magda.

Magda menggeleng pelan.

"Semangat ya, Mag," ucap Gea sambil menuliskan keterangan buku ke dalam database perpustakaan.

Magda tersenyum tipis sebagai jawaban.

"Oh iya, kamu ikut ke acara olahraga nya NCVision mau enggak? Setahu aku setiap Jumat mereka adain olahraga bareng di balkon dan dibuka untuk umum juga loh."

Cepat-cepat Magda menggeleng. "Kamu kan tahu aku paling enggak bisa olahraga."

"Cuma stretching kali, lumayan loh buat lemesin badan," kata Gea berapi-api. "Siapa tahu ada yang nyantol."

Magda mengedik. "Enggak deh, aku males sama cowok-cowok model begitu. Sebuah aja bikin kesel apalagi satu pasukan."

"Ya udah deh, kalau gitu temenin aku aja gimana? Jumat ini aku diajak sama Damar. Enggak enak loh kalau nolak," pinta Gea dengan wajah memelas.

"Damar yang ajak, atau kamu yang kekeuh minta ikut?" Ekor mata Magda melirik Gea yang malah terkikik geli di tempatnya.

"Terserah," kata Magda singkat, setidaknya agar Gea tidak terus-terusan merengek memintanya untuk ikut. Kadang-kadang dia bingung, sebenarnya siapa yang lebih tua di sini.

***

Sorenya, seperti biasa hanya Magda yang tertinggal di perpustakaan. Bukan karena pekerjaan yang menumpuk, tetapi Magda selalu suka saat-saat tenang di dalam ruang perpustakaan yang sepi. Lantaran dia bisa dengan bebas membaca dan berkeliling sampai tempat itu tutup.

Saat tengah mendorong troli dan memasukkan buku-buku ke dalam raknya. Mata Magda menyipit ke arah lampu yang mati di tengah ruangan. Dia berdecak sebal.

Padahal sudah berkali-kali Magda meminta Hans memanggil orang untuk mengganti lampu yang mati. Namun, hanya kata nanti yang selalu keluar dari mulut pria itu. Padahal lampu pengganti sudah tersedia sejak kemarin.

Magda terdiam. Mata perempuan itu bergerak memperhatikan lampu mati di atasnya. Sebuah ide muncul. Sempat ragu beberapa menit, dia memutuskan untuk mengeksekusi hal itu seorang diri.

Tangan Magda bergerak menarik kursi untuk mendekati area bawah lampu. Setelah dirasa pas, dia pun mematikan saklar lampu bagian tengah hingga ujung ruangan, dilanjutkan dengan mengambil lampu pengganti dari laci di meja depan.

Setelah itu, dia kembali berjalan ke arah kursi dan menaiki benda itu berencana mengganti lampu sendiri. Namun, karena tinggi badannya di bawah rata-rata, jangankan dapat memutar bola lampu, ujung jarinya pun tidak dapat menyentuh lampu itu sedikitpun. Kadang-kadang dia kesal dengan tubuhnya yang terlalu mini.

Sepuluh menit berlalu. Magda yang belum menyerah masih berdiri di atas kursi sambil melipat kedua tangannya untuk mencari ide lain. Tiba-tiba dia teringat meja di area membaca buku di samping rak. Mungkin bila kursi ini diletakkan di atas meja, tingginya bisa jadi bertambah. Pikir Magda.

Magda pun segera turun dari kursi. Namun, belum sempat dia turun dari atas kursi terdengar pintu perpustakaan dibuka dari depan.

"Permisi."

Kepala Magda melongok dari balik rak. Bibirnya mengerucut ketika sosok kemarin muncul lagi di depannya.

"Dia lagi," gumam Magda berdecak malas.

***

TBC

Acuy's Note :

Ciyeee... yang besok long weekend. Adakah yang besok ikutan lomba 17-an? Ayo ngacung! Ikut lomba apa aja nih kalian? Balap karung? Makan kerupuk atau Panjat pinang? Asal jangan lomba Makan Hati dan lomba Lari dari Kenyataan aja ya... #Hiks

Anyway, setelah part 3 ini. Kalian pilih Mika atau Magda nih buat nemenin si bujang lapuk kita biar enggak galau lagi?

Tapi, inget semua hal bisa terjadi di cerita Acuy. Jadi, buat yang pilih Mika, tenang aja masih banyak part lain yang pastinya sayang kalau kamu lewatin. Apalagi part depan! Karena ada info baru yang mungkin bakal buat kalian sedikit WOW sama perpustakaan. :)

Terakhir, jangan lupa baca cerita dari #JobSeries lainnya ya! (^_^)v

See u next part!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top