file 7 - 1305022-3

13.04

"Kak, ini ada sedikit rezeki dari saya untuk Kakak. Dihabiskan, ya ...."

Kantung plastik hitam menggembung ditawarkan. Ekspresi maklumi rendah hati dengan posisi badan tidak sombong dan tangan yang menggenggam sopan. Menyungguhkan bahwa itu barang yang berhak diterima. Namun, dia ragu saat menyadari sesuatu, karena memang tidak percaya diri. Meremas-remas pipi kanan, pipi kiri, usap dahi seketika tahu.

"Ulang, ah. Jelek. Wajahku gepeng."

Dia membenarkan wajah. Tangannya menganjurkan kantung plastik hitam yang ada isinya. Dengan tutur kata santun dan polah yang beradab dia berucap.

"Pak, ini ada rezeki untuk Bapak, dihabiskan, oke?"

Tangan menepuk paha kiri yang berimpit, tetapi kemudian tangan menepuk alis yang berkerut.

"Sebentar, kok 'dihabiskan'? Kan bukan makanan?"

Punggungnya membungkuk lagi, kepala menjulur. Dengan tatapan mata berbinar-binar dia memberikan.

"Bu, ini ada sedikit rezeki untuk saya bagikan ke Ibu. Disimpan baik-baik, ya ...."

Sesudah itu, dilengkapi dengan panduan, doa-doa, dan semoga bermanfaat. Ditambah ucapan sama-sama, senang sudah membantu.

Tindakan tersebut tuntas ditandai seruan 'nah', 'oke sip' setelah diam di tempat tangannya. Padahal tidak ada yang memutar ulang video.

Merasa sudah siap, dia tepuk-tepuk celana, berdiri tegak lalu ambil plastik sekalian gawai.

Manakala ada yang keluar dari kamar paling pojok dekat balkon yang terdengar ayam berkotek, dia masih tidak enak dan belum siap. Jadi dia pura-pura lihat ke arah lain, sibuk memandang bukan apa-apa.

Orang yang keluar itu menyapa. Teman indekosnya yang paling bagus dilihat, katanya.

"Oh, iya," balasnya.

Teman indekos itu mengacir. Dia masih mematung.

"Kapan-kapan saja deh." Plastik hitam yang dipegangnya ditaruh di sembarang area tepi teras atap.

Lalu dia ikut menuju tangga turun. Mumpung sudah sedia dan lengkap setelan baju dan mental. Sambil melangkah dia siapkan masker kain yang bagian depannya biru langit sedangkan tali serta belakangnya putih.

14.04

Sekembalinya, dia menenteng plastik menggembung--kali ini yakin zat cair. Setelah naik dan melalui lorong, dia keluarkan isinya, ternyata plastik kiloan. Menebak apa yang di dalamnya, dari luar tampak mengilap, hangat, menguar uap dan berembun. Cukup menggoda.

Mi yang dicampur kaldu dan dihidangkan dengan potongan ayam kecap, daun bawang, serta tak lupa daun sawi hijau, yang sayangnya dicampur satu dalam plastik. Namun, menurutnya tidak apa-apa, yang penting adalah rasanya.

Masuk kamar dan lepas sandal, di meja lipat ditaruhlah mi ayam dalam plastik itu. Diambil mangkuk biru laut besar, sendok, garpu, gunting, dan pisau. Semua diletakkan di atas.

Kemudian tangannya diam di meja, jemari mengetuk lama di situ.

"Aha!" Pose jarinya menunjuk ke atas.

Dia pun merebut gunting, dan plastik tas ungu yang ditemukan di kolong, meninggalkan kamar terbuka.

Gelagatnya sok-sokan jadi pembawa acara masak-masakan. Dibenarkan posisi sesuatu yang di kepala yang tidak ada, dipasang dan tepuk usap-usap seusatu di depan perut sampai ke bawah paha yang tidak ada, diikat sesuatu di belakang yang tidak ada.

"Gaiiis ... ! Ikut aku masak-masak, yuk!"

Dengan suara cempreng dia balas sendiri, 'Apa itu? Apa itu? Mau tau!'

"Aku baru tahu kalau ternyata mi bisa dimasak seenak ini!" Tidak disadari pot-pot sukulen di tepi pagar bergeser.

Dia pun berangkat ke kebun sukulen--tepatnya area di depan bak penampungan air di pojok. Ternyata selain sukulen dia juga menanam sayur-sayuran. Di antaranya ada sawi dan daun bawang.

Sawi daun lebar hijau nan segar besar sekali sampai penuh polybag ukuran diameter dua puluh senti, akarnya seakan tumpah, apalagi bonggol batangnya.

"Pertama-tama, potong beberapa helai daun sawi di kebun dan bawang daun atau dibalik gnawab nuad eh daun bawang. Ini aku menanam sendiri ya, jadi endak perlu izin tetangga."

Pada batang itu dipotong dengan gunting, agak susah pakai tangan satu, tetapi bisa. Selanjutnya gawai ditaruh di atas semen yang dicetak dari ember dan dibolongi tengahnya. Seterusnya dengan kekuatan dua tangan dia potong sawi lain. Semua itu dikumpulkan di dalam tas plastik ungu. Tak lupa daun bawang juga dia ambil beberapa helai.

"Cuci bersih sayur hijaunya dan cek seluruh permukaan. Takutnya, ada badaknya!"

Baskom diseret, dijungkit sedikit untuk lihat kebersihan. Setelah aman, digeser ke bawah keran. Air turun cukup pelan. Karena tidak sabar, dia matikan cerat paksa, membanting baskom. Namun, mengingat masih sayang, dia ambil lagi lalu ke lorong dan sampai di tangga. Dia pun turun. Lumayan gelap pergantian pencahayaan, di dekat ada keran air.

Air leding itu mengalir begitu deras hingga sekian detik saja baskom sudah penuh. Namun, karena kekecilan, dia buang isi baskom tersebut, dia seret ember hitam diameter empat puluh senti di dekatnya, diisi penuh. Tas plastik dituang, sayur-sayur hijau berenang semua. Dikuceklah mereka. Tak lupa permukaan daun digosok supaya debu yang menempel bisa dibersihkan.

Beres mencuci, dia angkat dan tiriskan semua sayur lalu dimasukkan ke plastik lagi, tetapi karena kotor akhirnya dibawa pakai tangan kosong.

Masak makanan di siang hari amat meriah walau sendiri diadakan pada kamar yang pintu terbuka. Dia melangkah memasuki lorong lagi dan berakhir pada kamar di pojok.

"Selanjutnya, kita potong sawi sesuai selera lalu masukkan ke wadah."

Dari bawah meja diangkat dedaunan yang tampak macam daun, lebar hijau dan kinclong. Diletakkanlah daun di atas meja, tidak dialasi talenan. Lalu diambil pisau dapur tajam berukuran lumayan besar, diayunkan ke atas, setelahnya dihunjamkan cepat dan keras.

Yang terjadi adalah, mata pisau menancap pada tangkai daun sawi yang tampaknya amat keras. Dia susah payah mencabut pisau dengan menggoyang-goyangkan terlebih dahulu.

Merasa masih harus berjuang, si tangan mengayun pisau dan menikamkannya ke kulit sawi. Kemudian, didorong punggung pisau sekuat-kuatnya, hingga akhirnya berhasil menembus kulit daun yang sangat keras, mengiris mulus dagingnya, serta menembus kulit daun di sisi bawah. Hasilnya didapatlah dua setengah kotak sawi, berair banyak dan berdaging segar—warna hijau.

Tangannya meraih sendok makan, lalu mencongkel daging daun pada salah satu helai daun bawang. Secara memutar dia mencungkil sekuat tenaga hingga walhasil meloncatlah daging daun dari kulit daun bawang.

Setelah itu, tangannya mengambil pisau dapur lagi dan mulai mengiris-iris daun sawi dan daun bawang, memotongnya menjadi bentuk dadu-dadu kecil. Dikumpulkanlah hasil potongan ke dalam mangkuk besar.

"Udah deh. Tinggal masukkan mi ayamnya."

Selepasnya, dia ambil plastik isi mi ayam, dibuka dengan mulus ikatannya, secara perlahan-lahan dituang mi ayam ke dalam mangkuk. Setelah semua masuk, dihentikan. Lalu ditambahkan air penyejuk jiwa yang menggiurkan secukupnya. Terakhir diletakkan sendok dan garpu. Jadilah menu makanan nan mengenyangkan lagi lezat yang disebut mi ayam ekstra sayur.

"Jangan lupa tambahkan bumbu kecap dan sambal sausnya, ya!"

Laki-laki itu membawa mangkuk ke teras kamar indekos, meletakkan di atas pangkuan, mempersilakan para sukulen untuk menontonnya menikmati.

"Mi ayamnya sudah siap. Selamat menikmati. Kalian wajib coba!" ucap laki-laki itu.

"Wah, nikmat sekali!"

"Iya, ya! Enak sekali!"

"Setuju!"

"̂ͬ̓͡Mi ayam ̲̰̹̲͙̯i͚͎n̢͇̞ͫ̋̽ͭi̸̳̇ͧ ̶̖̭̮̲̉ͅlͦͨ́͂̎̅̂e̵̜̲̯̿̍͊̅b̵͓̥̗̼̜̃ͩ̉̊ͬ̎i̱͓͂̂ͣ̈̅h͈̼̳̞̽ͮ̓̾̉͂̓ ̋̐̃͏̩e͉̻͇ṉ͎͙̮̱͑̏ͬ́̌̈́͢a̗̔̀k͔̞͉͉͎̟ͬͣͭͅ ̸̽̄ͤ̀ͪͮ͋dͫ̃̑i̜̳͂͆ͭ̊̏̔̀b̭ͥͧͫͧ̍̾̚aͭ̒̍̄̄̿҉̖ṉ͉͔̱̗̼͛ͦd̺̹̼̥̖͚̔̎́̍͒̍͋͟ï͎̊n̘̜̙͌ͩ̂͛̚g̭̯͚̬ͫͅ ̶̭̻̱͉͕̜͍̒̿́̋mi ayam ̦̫̃͊ͣ̃̂̉̿b̝̜ͩ͑̌̅̆ͥ͋í̤͎͎̝̦̔̏ͯ̔͒̒a̜̜͎ͅs͔͖̈́ͧ̐͢á̧̤̽̂͊͆̎̌n̝̞̓ỵ̞͐̽̊̅̓̓̿̀ạ͚̖̜ͤͣͧ̏!̴͇̬̳̝̱̿͛̔͗̓͌"͚̫̦͓̫̫̾͂͐͛̓

Uap menguar dari mangkuk berkuah lezat. Seruputan mi panjang tak kunjung putus. Potongan daun sawi dikunyah sampai berbunyi gurih. Ayam kecap kadar protein tinggi begitu menggugah selera. Kuah mi yang bercampur bumbu-bumbu diseropot. Iler bercampur saking enaknya makanan.

Satu mangkuk pun habis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top