Epilog

Kutukan, begitu orang-orang dahulu membicarakannya. Pada awalnya, kupikir mereka hanya iri akan bakatku. Kemampuan dari anak miskin yang tak pantang menyerah. Aku bangga dengan usahaku, hingga saat itu.

Bisa tampil di balai kota, di panggung yang dikhususkan bagiku seorang, dan bermain di depan orang-orang yang sangat kubenci, para pengantung tebal. Melihat mereka terpesona dengan menyedihkan.

Sampai saatnya kujatuh cinta.

Mereka merebut kisahku begitu saja, seperti tuan tanah pada babunya. Mereka mengatakan aku tidak tahu diri, dan kampungan. Tidak berhak merasakan cinta. Dan kutukan itu dilakukan karena mereka lelah dengan kegigihanku.

Sejak saat itu, aku bersumpah. Mereka yang sama sombongnya, akan merasakan karma.

"Ah, Alan? Tumben pulang terlambat?" seseorang membuka pintu, terlihat terkejut. Ibu Alan.

"Iya, bu." Kali ini, tersenyum, "Tadi Alan harus latihan sebentar."

"Hmm, anak ibu sudah besar. Sekarang, masuk, cuci kaki dan tanganmu. Kita makan malam."

Ia masuk terlebih dahulu. Aroma bumbu menguar dari belakang. Perasaan yang lama tidak kunikmati.

"Terima kasih, Alan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top