[1] Gitar itu Bicara

Melodi, alunan senar yang tak pernah usai. Sejak lima tahun lalu, gitar yang kini di samping Alan sudah mengikutinya kemanapun ia pergi. Bagi Alan, bukan karena alasan khusus, hanya penasaran. Sebuah lagu yang Ayahnya mainkan sejak lima tahun lalu, ia tahu itu bukan sepenuhnya sebuah lagu. Lagu itu belum usai.

Setiap dimainkan, di beberapa saat kemudian petikan-petikan mengalun itu berhenti tanpa sebab. Ayah lalu akan menyuruhnya tidur, sedikit memaksa.

Ketika Ayah pergi, mungkin untuk selamanya, gitar itu diserahkan padanya. Juga lagu yang masih mengalun di kepala. Sampai saat ini, Alan berusaha menyelesaikannya. Hanya, tanpa naskah, semua nada yang dimainkan selalu berakhir sumbang. Selalu aneh, hingga ia menyerah.

Ia lebih memilih memainkan lagu-lagu populer, mem-post-nya di Inspirhagram, berharap ada yang melihat dan memberikan sedikit tanda hati. Tidak terlalu berhasil. Ada lebih banyak orang dengan viewers yang lebih beringas dan antusias. Sementara Alan? Ia bersyukur sudah ditonton oleh ibunya sendiri.

"Berhenti membisikiku, dasar ... arrghh!"

Hari biasa lainnya, cuma dengan sedikit bumbu keanehan yang tak biasa. Alan menutupi telinganya seperti idiot, membiarkan dirinya jadi bahan lelucon.

"Kamu harus memainkanku, Alan! Ini bukan candaan!"

"Dasar gitar bodoh! Siapa yang bisa bermain kalau sudah masuk kelas, hah?!" Alan membanting benda itu, "Jangan memaksaku bermain gitar! Apa hubungannya dengan pertanyaanku?!"

"Bahkan di rumah, kamu juga tidak mau. Kamu butuh aku atau tidak sih?!" Gerutu sang gitar

Menjadi remaja, Alan baru menyadarinya. Ia sudah meninggalkan masa kanak-kanak, tidak lagi berimajinasi. Ia jadi lebih dewasa dan mulai melakukan kebiasaan orang dewasa. Tapi ketika semua itu mulai terlupakan, hal ini malah terjadi. Gitar pemberian ayahnya ini suatu hari tiba-tiba berbicara dan tidak mau diam sampai sekarang.

"Berhenti bicara!" geram Alan.

"Baik, terserah kamu! Bukan masalah kalau tidak butuh aku lagi!"

Alan memalingkan muka, tak acuh dengan omelan sang gitar.

Tapi ia malah salah tingkah ketika pandangannya bertemu dengan seseorang. Hidup jadi menyenangkan bagi anak puber yang baru tumbuh jerawat seperti Alan. Semua terasa sempurna ketika mereka menemukan pusat dunia; diri mereka sendiri dan wanita.

"Kamu seperti itu lagi. Siapa kali ini, eh?"

Alan tidak mendengar. Ia masih sibuk mencari fokus baru demi tidak lama-lama menatapnya.

"Oi. Dasar anak muda."

Alan memutar bola mata. Jika gitar punya mulut, rasanya ingin sekali Alan membungkamnya. Benda itu selalu cerewet, padahal tidak bisa memenuhi satu saja tugasnya; membuat Alan kelihatan keren. Kalian berpikir, tentu saja, gadis-gadis suka dengan laki-laki bergitar, kan? Salah!

Anak keren tidak sebeharga dulu. Alan tidak bisa protes, tapi dunia berubah. Di dunia kali ini, anak yang membawa gitar dianggap berandalan tak tahu tempat. Tapi Gitar ini masih memaksakan kepercayaan bahwa anak gitar itu keren, dan ketika ditunjukkan fakta, malah nge-les.

"Kamu tahu, mudah bagiku mendekati seorang perempuan. Kau tinggal bertanya, dan memohon saran. Selanjutnya, akan lebih mudah."

"Aku tidak mendengar saran dari sebuah gitar." Desis Alan, "Dan Aku tidak mau dianggap gila, jadi diamlah!"

"Daan, kau hanya harus memainkan sebuah lagu—"

"Diam!" Alan hampir berdiri ketika sebuah tangan terayun cepat.

Brak!

Gebrakan meja yang tiba-tiba membuat Alan menarik perhatian. Beberapa anak menoleh ke arahnya. Tetapi yang membuat Alan harus peduli adalah Pak Guru. Alan perlahan duduk.

"Alan, nanti ke ruangan Bapak."

Kalimat itu berhasil meredam panas di kepalanya. Beberapa anak terkikik, sementara sisa lainnya tertawa tanpa ditahan. Pak Guru sampai harus menenangkan mereka, dan kelas kembali tenang. Alan cuma bisa menunduk.

Dengan ini, rasanya hampir hancur harapan Alan untuk mendekati gadis itu. Dia pasti menganggapnya aneh.

Bah, siapapula ia?! Berani berharap gadis itu akan peduli? Lupakan itu, ia akan berhadapan dengan pak Guru, lagi!

Alan mengacak-acak kepala. Tangan Alan menggenggam lengan gitar, menatapi setiap serat di permukaannya. Apakah lagu sederhana bisa menarik perhatian?

Hal-hal populer, novel, bahkan matematika, nampak tidak berkesan ketika jadi bahan pembicaraan. Semua orang yang Alan lihat sudah mencoba berbagai topik, tidak ada yang berhasil. Apa dia tidak suka laki-laki? Tidak, tidak boleh ambil kesimpulan begitu. Lalu, apa sebenarnya kesukaan gadis itu?

Di tengah semua spekulasi, Alan tersentak. Bel istirahat berbunyi, membuyarkan pikirannya.

"Ini saatnya, bicara lagi dengan gadis itu! Coba dengan lagu!"

Alan mendesisi gitar tak tahu diri ini.

Sayang, bel istirahat tidak bisa menyelamatkannya dari panggilan pak Guru. Pak Guru memberikan isyarat ke Alan untuk mengikuti beliau ke kantor. Alan berdiri, melangkah pasrah mengekori pak Guru. Ruang guru terasa besar dan ia sangat kecil. Begitu masuk, Alan disapa oleh wajah-wajah yang menyalahkan.

"Dia lagi."

Setiap guru yang memanggil, pasti akan menceramahi. Kalau ia diam, maka semua berlalu lebih cepat. Dan Alan bersyukur, hal itu berlaku juga untuk kali ini.

#

"Hey, anak muda." Sapa sang gitar begitu Alan kembali, "Maaf karena terlalu menganggumu."

Alan mengangguk.

"Aku mainkan kamu, nanti." 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top