6 : Level:

6

: l e v e l :



Dua minggu pasca diantar Mahesa pulang, Kintan baru bertemu lagi dengan lelaki itu.

Bermula pada saat Kintan menemui Ajeng, temannya yang kuliah di Fateta—Fakultas Teknologi Pertanian—mereka lalu memutuskan untuk makan siang bersama di kantin fakultas merah itu. Di sana, Kintan memesan bakmi. Dan kala dia mengucapkan pesanannya, ibu-ibu penjual bakmi itu justru bertanya, "Mau porsi cowok atau porsi cewek?"

Kintan bingung. Namun, penjelasan yang ingin diutarakan sang penjual sudah dijelaskan lebih dulu oleh orang di belakangnya, "Kalau porsi cowok itu lebih banyak, kalau porsi cewek itu sedang. Tapi, kalau lu mau pesan porsi cowok juga serah ae."

Ya, dan di situlah Kintan bertemu lagi dengan Mahesa.

Tidak. Mahesa bukanlah lelaki yang mau berbaik hati menjelaskan perihal porsi makanan tadi. Yang berbicara seperti itu justru seorang lelaki bertopi merah dengan kaus senada bertuliskan We Burn 'Em All. Sementara, Mahesa Silalahi berada di sebelah lelaki tadi saat Kintan menoleh.

Napas Kintan tertahan di tenggorokan. DIa terdiam, lantas menelan ludah. Bibirnya ingin bertutur, tetapi degub jantungnya terasa begitu berisik hingga dia takut suara itu terdengar oleh orang lain. Dia juga takut malah terbata-bata ketika ingin menyapa Mahesa. Akhirnya, seperti biasa, Kintan hanya mengangguk kepada Mahesa dan kepada lelaki berbaju merah tadi.

Mahesa mengangguk sekilas, lalu menyingkir untuk memberi Kintan jalan keluar. Hal itu dibalas Kintan dengan senyum kikuk.

Sambil membawa nampan berisi makanannya, Kintan menghela napas panjang. Segera dia bawa pesanannya ke meja yang sudah ditempati Ajeng. Meja itu memang agak jauh dari tempatnya tadi memesan bakmi. Di meja itu, hanya ada seorang lelaki berkacamata yang duduk semeja dengan mereka, tetapi menempati bangku agak berjauhan dengan yang diduduki Ajeng. Ajeng sendiri sudah mendapatkan pesanannya.

Kintan meletakkan mangkok berisi bakminya di meja, kemudian duduk berhadapan dengan Ajeng. "Je, kantin lo emang selalu seramai ini, ya?" tanya Kintan. Dia memang sengaja memenggal panggilan Ajeng menjadi 'Je'. Sebab kalau dipenggal menjadi 'Jeng', rasanya geli saja mengucapkannya.

"Loh, emangnya kantin lo nggak ramai, Kin?" tanya Ajeng balik. "Yang namanya kantin mah, wajar aja ramai."

"Yeh, fakultas gue mah, nggak ada kantin yang segede ini. Kalau mau makan ya, langsung ke Jalan Bara aja. Di situ kan, banyak makanan."

"Oh iya, ya. Fakultas lo kan, dekat Jalan Bara." Ajeng menyebut jalan yang banyak berisi beraneka macam warung makan yang murah.

Kedua gadis itu lalu mulai makan bersama. Baru beberapa suap, lelaki berkacamata yang duduk di sebelah mereka pun berseru, "WOY, WOY, DI SINI, WOY!"

Seruan dari lelaki itu mencuri perhatian beberapa orang di sekitarnya—termasuk Kintan dan Ajeng. Kintan memerhatikan lelaki berkemeja lapang warna hitam tersebut. Begitu lelaki itu balik badan, barulah Kintan bisa tahu jurusan lelaki itu. Marine Science and Technology—atau, Ilmu dan Teknologi Kelautan. Anak fakultas jauh. Lelaki itu melambaikan tangan ke suatu arah dan berseru lagi, "MAHESA! DIRGA! NENGOK SINI ATUH! GUE UDAH NGE-TAP MEJA SIAH."

Kintan seketika membeliak. Mahesa, katanya? Mahesa yang itu? Yang tadi? Yang anak Fahutan? Mahesa Silalahi, maksudnya?

Dan ternyata, benar praduganya. Benar Mahesa Silalahi-lah yang akhirnya duduk bersama lelaki berkacamata itu di meja yang juga ditempati oleh dirinya dan Ajeng.

Jantung Kintan seketika meliar lagi. Berdentum-dentum seolah ingin keluar dari balik rusuknya. Dan, semakin berisik lagi tatkala Mahesa melihatnya, lalu duduk tepat di sebelah Kintan, berseberangan dengan si lelaki berkacamata. Mahesa menoleh ke arah Kintan, lantas tersenyum dan mengangguk. "Kintan," sapanya.

Ya Tuhan. Rasanya Kintan ingin ditelan bumi saja.

Dan, sungguh. Apakah dentuman di dadanya ini bisa tenang barang sejenak? "I-iya, Kak," balas Kintan dengan gugup. Dia menelan ludah, merasa wajahnya memanas karena duduk bersebelahan dengan Mahesa. Ingin kembali makan pun, rasanya kikuk. Degub liar jantungnya juga tak kunjung berhenti.

Kintan berusaha mengalihkan perasaannya dengan melihat Ajeng di masih tenang menyantap sotonya. Kintan pun menarik napas, berharap bisa lebih tenang seperti Ajeng.

Ah, andai saja yang di sebelahnya bukan Mahesa. Kintan pasti bisa dengan mudah makan dengan tenang.

Lelaki bertopi merah—yang kemudian Kintan ketahui bernama Dirga—duduk di antara Nolan dan Ajeng, namun masih memberi jarak di antara dirinya dan perempuan di sebelahnya. Dirga memukul pelan kepala si lelaki berkacamata dengan topinya. "Mulut lu bacot, anjir."

"Kayak mulut lu kagak bacot aja siah," balas si lelaki berkacamata itu—yang kemudian juga akan Kintan ketahui bernama Nolan. Lelaki itu menengadahkan tangan ke arah Mahesa. "Bang. Bakmi aing mana, dah?"

Mahesa memberikan semangkuk bakmi kepada lelaki itu. Di saat semua sibuk dengan makanan masing-masing, Kintan dan Ajeng hanya makan dalam diam. Kintan sendiri tidak berani bicara, takut memancing perhatian. Mahesa ataupun teman-teman lelaki itu terlihat seperti orang-orang yang memang memiliki kuasa untuk menggerakkan massa. Dan, jelas saja, Kintan yang cuma mahasiswa cupu kalah jauh dibanding mereka yang bukan hanya pintar, tetapi juga pandai bersosialisasi dan menggerakkan orang lain.

"Eh, Mahesa," panggil Dirga. Suaranya terdengar berhubung lelaki itu dan Kintan makan semeja—walau sedikit terpisah oleh jarak. "Lo jadi nyalon BEM?"

Mahesa melirik Dirga sekilas, kemudian mengangguk.

"Mantap punya," Dirga mendecak kagum. "Tapi, hati-hati aja, Sa. Capek gila kalau organisasi begitu."

"Beuh, bukan main," sahut Nolan sambil geleng-geleng. "Yang namanya manusia ya, mau itu petinggi kampus, mahasiswa, atau yang nggak dari kampus kita aja ngomong itu enak banget. Tinggal ngomong, tinggal kritik sana-sini, tinggal sok-sokan bilang peduli tapi usahanya nol besar. Capek hati, man, dikritik mulu sama orang yang bahkan nggak mau berusaha buat berkontribusi. Heran gue. Masyarakat menuntut perubahan, tapi kebanyakan dari mereka nggak mau kontribusi. Cuma peduli sama pengembangan diri mereka sendiri aja."

"Nah!" seru Dirga. "Tuh, Sa. Capek gile dituntut ini-itu, tapi mereka yang nuntut cuma ngomong doang kerjaannya."

"Memang iya." Mahesa terkekeh. "Tapi, mungkin memang seperti itu ujiannya, Dir. Dalam bekerja untuk kepentingan orang banyak, menurutku, kita harus sadar bahwa tak semua hal yang kita perjuangkan akan diberi apresiasi. Walau kita sudah keluar keringat, uang, memangkas jam tidur, mengorbankan waktu, akademik, dan semuanya itu untuk kepentingan orang banyak, barangkali apresiasinya hanya sekadar tepuk tangan. Dan kita dituntut untuk tidak boleh protes." Mahesa pun menarik napas. Dan, saat itulah Kintan benar-benar melihat. Dia bisa menangkap gurat lelah dari wajah Mahesa.

Kintan pun ikut mendesah. Bagaimana tidak lelah? Memangnya, menggerakkan massa itu perkara mudah? Menggerakkan massa untuk mencari hiburan memang mudah. Tetapi, menggerakan massa untuk ikut kerja yang di luar akademik? Panas-panasan menggalang dana bakti sosial untuk daerah Indonesia yang tertimpa musibah? Mengorbankan waktu main untuk pemberdayaan orang-orang di sekitarnya? Mengorbankan jam tidur untuk mengerjakan laporan dan belajar karena kewajiban? Siapa yang bilang itu perkara mudah?

Lagi, Kintan mengembuskan napasnya yang tertahan. Sungguh, dia bisa paham mengapa Mahesa tetap melewati itu semua. Sedari awal, Mahesa sadar bahwa ini adalah ujian. Bahwa dunia ini hanya senda-gurau belaka. Mahesa tidak masalah mengorbankan waktu dan segalanya untuk jadi bermanfaat untuk orang lain, dan terlebih, untuk pandangan yang lebih baik di mata Tuhan.

Iya, Kintan sadar betapa mulia Mahesa itu. Mahesa adalah tipe manusia yang bisa membuat Kintan yakin bahwa Indonesia bisa berubah jadi lebih baik lagi karena eksistensi manusia seperti Mahesa. Mahesa membuatnya kembali berharap dan kembali percaya bahwa dunia bisa jadi lebih baik. Mahesa begitu... hebat.

Namun, hingga ketika makanannya kandas dan dia kembali ke fakultasnya, Kintan memang hampir melupakan satu hal.

Sudah sampai mana level dirinya di mata Tuhan, jika dia berani mengharapkan sosok sehebat Mahesa untuk bersanding dengannya?

[ ].


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top