15 : Bahagia : [END + GA NTdTK]

gils ini panjang bet. semoga qalean tidak maboq.

-;-;-;-


15

: b a h a g i a :


2009


"Nilai UTS si Bejo bagus banget, anjir! Kesel gue! Padahal gue udah belajar mati-matian tahu, Kin!"

Seruan Novi membuat Kintan terperanjat dari bukunya. Kintan menatap sekeliling. Kelas memang sudah sepi karena kuliah sudah selesai dari sepuluh menit yang lalu. Para mahasiswa yang sekelas Kintan sudah banyak yang pergi untuk cari makan siang.

Sudah lewat satu setengah tahun dari hari Kintan menyadari kekeliruannya dalam menanggapi the heartbreak cycle. Sudah tak ada lagi perasaan 'khusus' di hati Kintan kepada Mahesa kecuali kagum dan respek. Hari ini pun, Mahesa resmi menyandang gelar Sarjana Kehutanan di gedung wisuda. Sekarang sudah jam sepuluh. Kintan ingin bertemu Mahesa di gedung wisuda, barangkali untuk kali terakhir.

Kintan menutup bukunya sebentar. Sebenarnya, itu buku mengenai multiple intelligences karangan Howard Gardner. Kintan mulai tertarik untuk mencari tahu perihal tipe-tipe kecerdasan semenjak Novi sempat menyinggungnya. Beruntung, ternyata perpustakaan kampusnya memiliki buku itu untuk dipinjamkan.

Berdeham, Kintan menyahut ucapan Novi, "Ya udah, Nop. Mungkin, lo kurang beruntung."

"Ih, sakit hati gue...." Novi melihat lagi nilai di kertas lembar jawaban ujiannya, kemudian melipat kertas itu jadi dua. Hari ini, lembar jawaban salah satu mata kuliah dibagikan kepada mahasiswa untuk diperiksa ulang apakah ada kesalahan. Novi mendesah. "Si Bejo padahal nggak belajar apa-apa. Tapi, dia malah dapet nilai lebih bagus."

Kintan menarik napas. "Nop, dia nyontek."

"Justru itu!" seru Novi. "Justru karena dia nyontek, gue sakit hati. Kalau nilai dia bagus dan dia emang belajar rajin, sih, gue nggak akan begini."

Lagi, Kintan menghela napas. Nilainya sendiri juga tak sebagus nilai Bejo, teman sekelasnya yang mendapat nilai tertinggi. Tetapi, mungkin karena sudah dinasihati Novi, Kintan kini merasa biasa saja jika mendapat nilai jelek. Jika merasa kecewa, iya. Namun, dia tidak lagi frustrasi dan menyalah-nyalahkan diri sendiri seperti dulu. "Belajar dari kesalahan aja sih, Nop. Biar ke depannya lo lebih paham materi. Lo salah di mana emang?"

"Ini, Kin...." Novi memberikan kertas hasil ujiannya. Kintan melihatnya sebentar, lalu paham dan mengembalikannya kepada Novi. Novi masih terlihat jengkel. "Lo nggak kesel, ya, Kin? Padahal, lo belajar mati-matian juga, kan? Tapi, lihat dah, nilai yang nyontek malah lebih bagus daripada lo."

"Emang biasanya gitu, kan?" Kintan justru tertawa. "Kalau dulu gue ngalamin nasib itu, gue bakal kesel, sih. Tapi, gue sadar. Mengeluh bahwa dunia nggak adil karena nilai orang yang nyontek lebih bagus daripada kita itu nggak ada gunanya." Kintan beranjak, lalu berjalan kaki menuju gedung wisuda bersama Novi. Dia sudah memberi tahu rencananya hari ini untuk menemui Mahesa, dan Novi setuju untuk menemani temannya itu.

"Cuma, capek aja, Kin," ujar Novi di tengah jalan. "Iya, sih, ngeluh emang nggak akan menyelesaikan masalah. Tapi, gondok aja kalau yang nyontek ternyata nilainya lebih bagus dari kita. Usaha nggak pernah mengkhianati hasil itu bullshit parah."

"Hmm.... itu tergantung dari sisi mana lo mau ngelihatnya aja, menurut gue." Kintan menunda lanjutan ucapannya untuk menyeberang jalan sejenak.

"Sisi gimana maksud lo?" tanya Novi segera setelah mereka menyeberang.

"Kalau kita mau lihat dari sisi nilai, kita akan selamanya merasa dunia nggak adil. Karena kejadian kayak gini sangat mungkin untuk terjadi juga ke depannya. Tapi, kalau mau dilihat dari sisi kita dapat ilmu atau enggak, kayaknya kita nggak bakal ngerasa dunia nggak adil. Soalnya, orientasi saat kita kuliah itu ya, buat belajar dan menguji diri, bukan buat cari nilai."

Novi terdiam sejenak. "Tapi, gimanapun juga kan, kita emang butuh nilai akademik yang baik."

"Iya, tapi bakal balik lagi ke orientasi kita," ujar Kintan. "Kita kuliah buat cari ilmu, atau buat cari nilai?"

Novi tertegun. Dia berhenti sejenak sebelum lanjut berjalan lagi.

"Kalau gue, dulu emang kuliah dan mikir yang pinter itu nilainya bagus-bagus," lanjut Kintan. "Tapi, setelah lo nasihatin gue dulu, gue jadi sadar tentang kecerdasan manusia. Kayak yang lo bilang, Nop. Manusia itu punya sembilan tipe kecerdasan dan ada beberapa yang menonjol. Nggak semua orang punya tipe kecerdasan menonjol yang sama kayak gue. Nilai bagus atau jelek nggak bisa menentukan kecerdasan seseorang secara akurat. Kita biasanya diuji sama soal-soal yang sebenarnya cuma menguji tipe kecerdasan logika-matematis kita, bukan menguji seluruh tipe kecerdasan manusia. Jadi, ya, orang-orang pada mikir kalau nilai ujian jelek, berarti orang yang ngerjain soal itu bego, dan sebaliknya."

Novi membuka mulut. Matanya mengerjap. "Kok, lo jadi mendadak bijak gitu?"

Kintan terbahak. "Habisnya, lo dulu nasihatin gue. Gara-gara lo ngomongin soal tipe kecerdasan gitu-gitu, gue jadi tertarik buat cari tahu lebih lanjut. Asyik juga ternyata."

Tersenyum, Novi lanjut berjalan bersama Kintan. Puncak gedung wisuda sudah terlihat dari titik mereka berjalan. Novi pun bersuara lagi, "Jadi berasa wasting time kalau ngejar nilai gitu ya, Kin?"

Kintan tersenyum paksa. "Mungkin, sih. Cuma, gimana ya. Gue nggak menampik bahwa kalau kita ngelamar kerja, IPK kita juga bakal dilihat sama orang perusahaan. Jadi, ngejar nilai itu nggak ada salahnya. Cuma, kalau terlalu terbutakan sama nilai dan lupa apa esensi kita kuliah dan sekolah, baru itu menurut gue buang-buang waktu."

Novi manggut-manggut. "Bener juga, sih."

"Makanya, sekarang gue juga udah nggak terlalu mikirin kalau gue dapat nilai jelek." Kintan tertawa lepas. "Bukan berarti gue membenarkan dapat nilai jelek. Tapi, ngubah orientasi gue aja. Seandainya dapat nilai bagus, yaudah syukuri. Kalau dapat nilai jelek, yaudah pelajari apa yang salah. Namanya juga lagi belajar. Kalau kata kakak-kakak tingkat dan dosen, dalam proses belajar itu wajar kalau kita melakukan kesalahan. Tapi kalau bisa, kesalahannya diminimalisir saat ujian."

Kini, Novi-lah yang tertawa. Dia mengacak rambut Kintan, membuat rambut keritingnya terlihat makin mengembang. Kintan pun terpekik. "Nopi!"

"Lucu banget sih lo kalau lagi berlagak bijak gitu!" Novi tertawa, kemudian segera lari untuk menghindar dari Kintan yang ingin menggelitikinya.

Beberapa menit kemudian, Kintan terengah, lelah mengejar Novi. Menyerah, Kintan lalu mengabaikan Novi dan segera berjalan ke pelataran parkir gedung wisuda. Acara wisuda sudah selesai. Orang-orang di luar saling berbincang, berfoto, atau membeli jajanan dan suvenir yang dijajakan di sekitar sana.

Bersama Novi di belakangnya, Kintan berjalan ke arah pelataran depan gedung wisuda tempat berkumpulnya sarjana Fakultas Kehutanan. Di sana, para mahasiswa asyik berbincang dan berfoto. Senyum dan tawa mewarnai hari itu. Dan setelah beberapa saat, Kintan akhirnya menemukan lelaki berkepala nyaris botak yang dia cari.

Kintan tersenyum, menghela napas. Benar, ternyata. Yang dibutuhkan oleh Kintan hanya waktu, serta menjauhkan diri untuk sementara dari Mahesa untuk menyembuhkan patah hatinya. Mungkin, patah hati Kintan memang hanya patah hati kelas remeh. Tapi, Kintan pikir, seremeh apa pun patah hatinya, tetap saja itu bikin sesak.

"Kin, gue jajan aja, ya. Ntar kalau lo udah kelar ketemu Kak Mahesa, cari gue di sekitaran situ aja," ujar Novi sambil menunjuk ke arah beberapa pedagang makanan yang berkumpul dekat gedung wisuda.

Kintan mengangguk. Mereka lalu terpisah tak lama kemudian.

Sambil menegapkan punggung, Kintan berjalan menuju kerumunan anak Fakultas Kehutanan yang sudah selesai berfoto-foto bersama. Mereka kini lebih banyak yang mengobrol. Mahesa sendiri sedang merapikan beberapa suvenir di dalam tas dari kawan-kawannya ketika Kintan datang dan memanggilnya.

Sejenak, Mahesa mengernyit saat melihat Kintan. Dia bisa mudah mengingat wajah, tetapi sulit mengingat nama. Tanpa mau menunggu lama, Kintan lalu berkata, "Saya Kintan, Kak. Dulu sepatu Kak Mahesa pernah ketukar sama sepatu saya. Masih ingat?"

"Ohh!" Mahesa berseru, lalu terkekeh. "Ingat aku dengan wajahmu. Suka lupa nama tapinya."

"Oalah," Kintan tertawa. "Selamat wisuda ya, Kak. Maaf nih, nggak bawain hadiah wisuda."

"Santai," balas Mahesa. Membenarkan letak topi wisudanya. "Cepat nyusul sajalah kau, Kin."

Kintan mengamini. Berusaha mengumpulkan keberanian, dia lalu lanjut berkata, "Makasih juga udah mau kasih motivasi-motivasi di seminar atau acara kampus gitu, Kak. Menginspirasi banget."

"Alhamdulillah." Mahesa tertawa. "Ke depannya, semoga kau yang menginspirasi orang lain."

Spontan, senyum Kintan terulas lebar. "Amiiin! Makasih, Kak. Semoga sukses ke depannya, ya!"

Mahesa mengangguk. Mereka lalu bersalaman, kemudian Kintan pamit. Dan selesai dari urusan kecilnya itu, dada Kintan terasa lega.

Kintan bersyukur, sungguh. Dia bersyukur dia dulu mau memberanikan diri untuk bertanya mengenai perjuangan kepada Mahesa. Sebab apabila dia diam saja, apabila dia tetap merasa malu, dia tidak akan tahu betapa berat perjuangan yang harus dilakukan oleh orang-orang semacam Mahesa di dunia ini. Kintan juga bersyukur sudah dipertemukan dengan orang seperti Mahesa. Sebab ucapan dari orang seperti Mahesa membuat pikiran Kintan bisa terbuka lebih lebar. Dan dia juga bersyukur memiliki sahabat seperti Novi yang mau menegurnya di saat dia salah. Kintan sadar bahwa teguran dengan penyampaian yang tepat, di saat yang tepat, serta oleh orang tepat pula dapat mendewasakan Kintan.

Sehingga, meskipun akhirnya dia dan Mahesa tak berakhir bersama, Kintan bersyukur karena dari Mahesa, Kintan dapat mempelajari sesuatu dari pengalamannya selama menyukai lelaki itu.

Usai bertemu lagi dengan Novi, Kintan membeli es dawet dan mereka pun duduk pinggiran taman dekat gedung wisuda. Di sekitar gedung sudah mulai sepi oleh orang-orang yang merayakan kelulusan mahasiswa, meski ada juga sebagian kecil yang sudah pulang.

"Gimana tadi pas ketemu Kak Mahesa?" tanya Novi, lalu menyuap tahu gejrotnya.

Kintan tersenyum. "Lancar aja, sih. Nggak tahu kenapa, gue merasa lega."

"Syukurlah." Novi ikut tersenyum. Mereka lalu memandangi lingkungan sekitar mereka yang penuh dengan orang-orang berpakaian resmi atau berkebaya. "Enak, ya, udah lulus. Jadi pengin."

"Ada masanya, Nop. Tahun depan juga kita bakal mulai penelitian."

"Habis lulus, trus kerja, trus nikah." Novi tersenyum. "Perjalanan kita masih panjang. Untung aja lo udah move on dari Kak Mahesa, ya."

Kintan terkekeh. "Emang kalau gue belum move on, kenapa?"

"Ya... lo bakal stuck di dia terus. Padahal, cowok lain masih banyak. Lagian, jodoh udah ada yang ngatur. Kalau nggak bisa sama cowok yang lagi kita suka at the moment, pasti bakal ada pengganti yang lebih baik."

Kintan terdiam. Berpikir.

Sebenarnya, dia sudah memikirkan hal itu baik-baik. Orang-orang selalu berkata, jodoh tidak akan kemana-mana, jodoh pasti akan datang di saat yang tepat, jodoh sudah ada yang mengatur, dan sebagainya. Kalimat-kalimat manis itu sering menumbuhkan harapan di hati Kintan, bahwa suatu hari, Kintan akan bertemu dengan jodoh yang dimaksud itu. Kintan kadang suka berandai-andai bagaimana dia dan jodohnya nanti bertemu. Apakah mereka ternyata teman satu sekolah saat dulu? Atau, sama sekali tak pernah bersinggungan sebelumnya? Atau mungkin saja, justru jodohnya merupakan orang yang sudah Kintan kenal sejak lama.

Harapan itu membuat Kintan berangan-angan. Tetapi, setelah Kintan pikir lagi, rasanya nasihat-nasihat manis itu, meski memang ada benarnya, tetap saja terasa terlalu manis. Nasihat harusnya tidak hanya terasa manis, tetapi juga memberi sisi pahit agar yang mendengar bisa merasa tertegun dan menjejakkan kaki tetap di realita, tidak hanya terbang dengan angan-angan dan harapan. Sehingga, nasihat bisa jadi sebuah teguran. Dan untuk kalimat-kalimat manis yang sering dilontarkan orang-orang kepada orang lain yang patah hati... Kintan merasa nasihat itu tidak 'utuh' jika tidak dibarengi dengan sisi pahit lainnya.

Jodoh itu tidak akan kemana-mana. Jodoh itu adalah cerminan dari diri kita. Jodoh itu sudah ada yang mengatur, pasti akan bertemu di saat yang tepat.

Iya, memang betul, pikir Kintan. Tapi, emangnya kita udah pasti bakal ketemu jodoh di dunia?

Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika semua angan-angan bertemu jodoh, bertemu cerminan diri kita, bertemu pendamping hidup kita, bertemu orang yang merupakan lelaki atau perempuan yang lebih baik dari orang-orang yang pernah kita sukai, ternyata tidak akan terjadi di dunia?

Apa hanya Kintan yang berpikir seperti ini? Bukan berarti nasihat-nasihat yang sering dilontarkan orang kebanyakan tentang jodoh itu salah. Hanya saja, Kintan merasa nasihat itu perlu juga dibarengi dengan sisi realistis lain agar lebih 'utuh'.

Kintan lalu angkat bicara, "Nop, lo pernah mikir, nggak?"

Novi menatap Kintan sesaat. "Mikir apa?"

"Seandainya kita nggak ketemu jodoh di dunia, lo bakal gimana?"

Terdiam, Novi akhirnya menjawab setelah berpikir, "Gue nggak munafik juga sih, Kin. Gue memang mau punya suami, nggak mau menghabiskan hidup ini sendirian. Jadi ya, gue bakal merasa miris banget. Karena, gue butuh partner hidup yang akan menemani gue sampai tua."

"Tapi, kenapa?" tanya Kintan. "Gue juga bakal sedih sih, seandainya gue nggak ketemu jodoh di dunia. Tapi, kalau ternyata nggak ketemu jodoh itu adalah bagian dari ujian kita sebagai manusia, gimana?"

Novi terdiam, terlihat bergidik. "Ih, serem banget, sih. Udah deh, Kin, jangan ngomongin yang aneh-aneh. Yang namanya jodoh tuh, udah ada yang ngatur. Kita tinggal tawakkal aja."

"Tawakkal kok, Nop." Kintan tertawa. "Tapi, walau begitu kan, nggak pernah ada pernyataan bahwa manusia sudah pasti akan bertemu dengan jodohnya di dunia. Lo kan tahu bahwa dunia ini cuma sementara, karena yang namanya ujian memang cuma sementara. Kita manusia memang lagi diuji, dan 'tipe soal' yang diberikan kepada tiap manusia itu berbeda-beda. Gue cuma mikir, gimana kalau ternyata, nggak ketemu jodoh itu adalah salah satu bentuk ujian yang diberikan Tuhan?" tanya Kintan, membuat Novi bungkam.

Sebab, Novi sadar apa yang dibicarakan Kintan ada benarnya juga.

"Ih, tapi serem tahu, Kin," respons Novi tak lama kemudian. Mereka berjalan kaki menuju fakultas mereka. "Bayangin deh, hidup lo tanpa ada suami yang menemani lo sampai akhir. Pasti rasanya hampa banget. Nggak enak juga dipandang orang-orang sebagai perawan tua. Ntar, kita malah difitnah udah pernah ngelakuin zina lah, udah nggak perawan lagi lah. Macem-macem!"

Kintan tertawa. "Justru itu yang bikin gue mikir bahwa barangkali, nggak ketemu jodoh di dunia bisa jadi salah satu ujian Tuhan."

Novi terdiam dengan bibir mengerucut. "Semoga aja gue nggak dapat 'tipe soal ujian' kayak gitu."

"Berdoalah." Kintan tersenyum. "Doa aja semoga diberi kemudahan."

"Tapi, buat lo sendiri, gimana kalau lo yang dapet 'tipe ujian' kayak tadi, Kin?" tanya Novi.

Terdiam, Kintan pun mendengak menatap langit sambil menarik napas panjang. Dia lalu tersenyum lagi seraya berkata, "Insya Allah, gue siap dan gue ikhlas."

"Kenapa?" tanya Novi lagi. "Bukannya apa ya, Kin. Nggak ketemu jodoh di dunia itu bisa lebih sengsara dari yang kita pikir. Ngomong yakin dan kuat sih, gampang. Tapi, bayangin aja hidup lo sendirian tanpa ada yang nemenin. Itu pasti hampa banget."

Kintan mengedikkan bahu. "Gue cuma mikir, kalau memang gue nggak dipertemukan sama jodoh gue di dunia, semoga aja ketemu di surga. Dan untuk ketemu di sana, gue harus lebih banyak berbuat baik dan membahagiakan Tuhan di dunia ini, kan? Gue juga harus melewati ujian-ujian dari Tuhan, kan? Semoga aja itu bisa meningkatkan iman gue, sih, Nop."

Novi terdiam. Menyadari kebenaran kata-kata Kintan. Kemudian, dia mendesah. "Bener kata lo, sih, Kin. Tapi, rasanya menyedihkan gitu kalau misal itu terjadi. Kita jadi perawan tua sampai mati, Kin. Bayangin aja. Mana bahagia kalau hidup kayak gitu."

Kintan menyipitkan mata, menikmati angin semilir menerpa kulitnya. Dia lalu berkata, "Gue pikir, nggak gitu juga." Dia menatap temannya. "Apakah memang hal yang membuat kita bahagia, udah pasti jadi kebahagiaan orang lain juga? Belum tentu. Dan lagi, apakah melajang seumur hidup karena memang nasibnya seperti itu, maka orang yang melajang ini bisa disebut menyedihkan? Gue pikir engga. Allah pasti lebih tahu. Daripada meributkan masalah bagaimana nanti jodoh kita, atau bagaimana kalau kita justru nggak ketemu jodoh, mendingan gue ngerjain hal-hal yang bikin pencipta gue bahagia. Jodoh mah, urusan selanjutnya."

"Jadi, kalau misal lo dapat 'tipe soal' yang kayak gitu, lo bakal jalanin, Kin?" tanya Novi.

Kintan memejamkan mata, merasakan angin berembus membelai wajahnya. "Iya, Nop." Dia lalu menarik napas. "Jika memang gue nggak bertemu jodoh gue di dunia, maka gue ikhlas. Dan jika memang akan terjadi demikian, gue berdoa semoga Tuhan mempertemukan kami dalam surga-Nya."


t a m a t



-;-;-

Alhamdulillah tamat wkwk.

Terima kasih atas dukungannya selama ini. Baik itu untuk votes, comment, dan share kalian. Dan, mungkin ada sebagian dari kalian yang belum baca NTdTK. Dengan begini, saya saya akan bikin Giveaway Nona Teh dan Tuan Kopi untuk orang yang udah baca Substansi dan Remediasi.

Sebenernya, GA ini udah berlangsung dari bulan Mei awal. Tapi, karena Substansi baru saya tamatkan, saya berniat buat memperpanjang masa GA ini.

=============

GIVEAWAY NONA TEH DAN TUAN KOPI

periode 5 Mei – 17 Juni 2017

=============

Menangkan satu buku Nona Teh dan Tuan Kopi: Parak bertanda-tangan penulis + postcard dengan ikut #GiveawayNTdTK!

Syarat:

1. Buat review untuk dua cerita di akun Wattpad @Crowdstroia yang berjudul "Substansi" dan "Remediasi" di postingan terpisah.

2. Post review kamu di Instagram/blog/bikin work baru di Wattpad khusus review kedua cerita tersebut.

3. Tag akun saya (buat yang bikin review di Instagram)/Beri dedikasi ke akun saya (buat yang bikin di work Wattpad)/beri link buat postingan isi reviewmu di kolom komen (buat yang mau post review di blog)

Kalian bisa pilih salah satu media buat post review kalian. Nggak harus bikin di blog + bikin posti di IG + bikin review di work Wattpad. Pilih salah satu aja. Buat yang post di Instagram, jangan private akun kalian, ya.

4. Share info ini ke media sosial yang kalian punya (Instagram/Twitter/Facebook, pokoknya medsos yang aktif dah).

5. Pengumuman pemenang bakal dikasih tahu hari Senin, 19 Juni 2017. Semoga bisa jadi kado lebaran buat yang menang, hehe.


END NOTES
(dis is so long huhu)


I dedicate this story to every girl. For teenager, especially.

Ini cuma satu sisi kecil dari kehidupan anak remaja atau young adult pada umumnya sih. Berani taruhan, pasti banyak yang setidaknya, walau cuma satu kali, pernah merasakan ada di posisi Kintan. Dan, pada akhirnya kalian bakal nemu your own heartbreak formula. Cerita ini bukan patokan "Wah kalau gue ngerasain X, gue harus kayak gini!" dll. Ini cuma memberi gambaran kecil atas kisah yang umumnya terjadi di dunia nyata aja. Konklusi tiap orang bisa beda-beda ketika mengalami hal yang sama seperti Kintan.

Saya sengaja nggak bikin Kintan berakhir sama cowok lain setelah patah hati sama Mahesa LOL. Saya cuma nggak mau ada cowok yang jadi 'tambalan' buat Kintan karena nggak ngedapetin love interest dia. Hidup ini bukan cuma tentang "Wah, gue sama gebetan gue akhirnya jadian". Saya mau nunjukkin bahwa ketika kalian—cewek—patah hati, kalian bukan butuh laki-laki lain untuk 'menyembuhkan' kalian. Bukan berarti kalian nggak boleh naksir cowok lain, bukan. Maksudnya, saya mau nunjukkin bahwa kalian tuh nggak perlu terlalu bergantung sama orang lain untuk heartbreak healing. It's your own heart we're talking about. Adalah kalian sendiri yang lebih paham bagaimana perasaan kalian. Barangkali butuh beberapa kali diskusi dengan teman untuk tahu persis apa yang kalian rasakan. Tapi pada akhirnya, itu perasaan kalian. Kalian nggak akan sembuh kalau kalian hanya menggantungkan kesembuhan kalian pada orang lain. Bahkan seorang pasien juga harus berusaha demi kesembuhannya, nggak hanya totally bergantung kepada dokter.

I want to show you that if Kintan needs a hero, she'll become one. Nggak perlu nunggu-nunggu pangeran datang, nggak perlu nunggu-nunggu "Mr. Right" datang, because she'll become the hero for her own story. Tapi, itu bukan berarti Kintan nggak perlu laki-laki.

Kita perempuan, dan mandiri itu perlu, namun manja juga perlu. Organisasikan keduanya agar tahu kapan harus mandiri dan tahu kapan bisa bermanja-manja. Tahu kapan harus berjuang sendiri, dan tahu kapan harus meminta bantuan orang lain. Be a strong person yet be gentle to yourself. Jangan terlalu keras sama diri sendiri. Manusia juga punya batasan. So,love yourself both mind and body.

And then, seperti yang biasanya kutulis setelah ceritaku selesai, silakan beri jejak kalian dengan menjawab pertanyaan di bawah ini.

1. Apa yang bikin kalian PERTAMA KALI tertarik baca Substansi?

2. Apa kesan-pesan kalian setelah baca cerita ini?

Oke, makasih banyak udah mau baca a/n yang panjang ini wkwk. Semoga cerita ini bermanfaat dan selamat beraktivitas.


p.s.

Seri ketiga Seri Relevansi akan berjudul "Konsiliasi", memuat kisah Virga dan Aksel. Tapi gak akan ku-publish dalam waktu dekat, karena aku mau cerita itu publish setelah ketiga buku NTdTK series terbit di gramed hehe. Aku mau kalian agak kenal dulu sama Aksel dan Virga lewat trilogi Nona Teh dan Tuan Kopi (walau mereka bukan pemeran utamanya sih). Karena sebelum Seri Relevansi ada, sebelum Seri Disiden ada, semua cerita saya umumnya bermula dari Nona Teh dan Tuan Kopi.

p.p.s.

Jangan tanya kapan NTdTK: Arkais terbit yow. Soalnya saya masih kuliah dan editing butuh konsentrasi lebih, jadinya saya nunggu waktu luang (yang emang beneran luang, bukan curi2 kesempatan buat nulis kayak nulis Substansi dan Remediasi) buat ngedit naskah Arkais.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top