14 : Riasan :

anjayna. part ini panjang bet dibanding yg laen.

-;-;-


14

: r i a s a n :



"Gimana caranya buat mencintai diri sendiri, Nop?"

Selepas obrolan dengan Novi di lantai teratas fakultasnya, hati dan otak Kintan menyetujui ucapan Novi. Novi benar. Kenapa Kintan berharap orang lain balik mencintainya, di saat dirinya saja belum bisa mencintai dirinya sendiri? Tetapi, pertanyaan selanjutnya pun muncul saat mereka tengah berjalan ke parkiran untuk mengambil motor Novi dan pulang ke indekos.

Novi memberinya tatapan dari ekor mata, menjawab pertanyaan Kintan, "Mulai dari menerima diri sendiri dong."

Lagi, ada rasa tersentil di hati Kintan. Dia menelan ludah, lalu berkata, "Tapi, lo kan udah cantik, Nop. Gampang pasti buat lo menerima diri sendiri. Orang-orang mah, mana ada yang nge-bully cewek cantik."

"Hah, kata siapa?" tanya Novi, terlihat tak terima. "Cantik itu subjektif, Kin. Gue di-bully pas SD karena gue Cina. Mata gue sipit, hidung gue pesek, alis gue hampir nggak ada. Dulu tuh gue selalu berusaha nebelin alis, mancungin hidung, sampai-sampai ada pikiran buat operasi plastik kalau gue udah punya duit banyak biar orang-orang pada nggak ngejek mata sipit gue lagi. Semua orang punya masanya sendiri, Kin. Nggak semua orang cantik yang lo lihat itu udah cantik dari awal. Sama aja kayak nggak semua orang hebat itu dari awal langsung hebat. Semua selalu dimulai dari langkah-langkah kecil sampai akhirnya bisa sampai ke titik mereka berdiri sekarang. Iya, memang ada orang yang dari lahir udah cantik alami, yang mukanya udah kayak Barbie bahkan tanpa make-up, kayak Irene pacarnya Kak Mahesa. Tapi, gue sadar gue nggak dilahirkan kayak gitu, makanya gue berusaha cantik versi gue sendiri. Dan salah satu caranya ya, gue dandan dan ngerawat diri aja."

Kintan terdiam. Dia memang tak pernah berpikir bahwa berdandan itu adalah sesuatu yang salah. Itu adalah hak tiap orang. Siapa juga yang tak ingin tampil menarik? Hanya saja, Kintan merasa sangsi jika dirinya berdandan. Apakah akan terlihat cantik, atau terlihat kecentilan? Atau yang lebih parah, apa dia akan jadi seperti badut? Kintan merasa ngeri jadinya. "Nop. Tapi kalau dandan, lo pernah mikir nggak, kalau dandan itu bikin lo kelihatan fake atau kecentilan di depan orang lain?"

"Pernah, sih. Tapi toh, gue dandan buat diri gue sendiri, bukan buat ngegoda cowok." Novi pun tersenyum. "Kenapa? Lo mau nyoba dandan?"

Kintan tertawa. "Yaelah. Mau dandan ataupun enggak mah, gue tetap aja buluk, Nop," ujar Kintan. "Iya sih, make-up bisa bener-bener mengubah muka orang kalau yang ngerias piawai. Tapi, gue juga nggak mau muka gue berubah drastis gara-gara make-up."

Ucapan itu dibalas dengan kekehan dari Novi. "With or without make-up, we still need to love ourselves first. Kalau enggak, kita nggak bakalan puas sama fisik kita. Habis, coba lihat aja. Ada orang yang udah punya segalanya, tapi berakhir bunuh diri. Gue pikir sih, kemungkinan besar mereka melakukan itu karena belum menerima diri mereka sendiri. Nggak bisa menerima diri sendiri bisa berujung pada ketidakpuasan. Orang yang udah punya wajah cantik, tapi tetap merasa dirinya jelek karena bibirnya kurang tebal dan lain-lain trus memutuskan untuk mengubahnya, mungkin akan terus-terusan merasa nggak puas dengan bentuk tubuhnya yang lain. Ketidakpuasan ini bisa berlanjut pada kefrustrasian. Dan dari rasa frustasi itu ya... bisa jadi berakhir tragis."

Kintan terdiam, lalu menelan ludah. "Gue nggak mau oplas kok, Nop."

"Iya, gue tahu." Novi tertawa. "Itu tadi cuma salah satu contoh efek dari nggak bisa menerima diri sendiri. Kalau dalam kasus lo, efeknya ya rendah diri."

Kintan menunduk dan mengernyit. "Gimana caranya biar gue bisa menerima diri sendiri? Maksudnya, gimana gue bisa menerima diri sendiri di saat orang-orang mikir, cantik itu adalah cewek berkulit putih dan langsing? Gue bongsor dan item, Nop. Rambut gue kayak kribo. Mana ada orang yang mikir orang kayak gue cantik?"

"Ada, kok, pasti," ujar Novi dengan yakin. "Tuh, kan, manusia itu aneh. Sebagian berharap orang lain menganggap mereka cantik, tapi mereka sendiri nggak mau menganggap diri mereka cantik."

Kintan mengerjap. Membuka mulut. "Kok... lo bener, Nop?"

Kontan saja, Novi terbahak. Dia menepuk-nepuk bahu Kintan kemudian. "Ya... karena gue dulu ngerasain. Gue dulu menganggap diri gue nggak cantik dan berharap ketemu cowok yang sadar akan kecantikan gue dan menghargainya. Cowok itu yang nantinya akan jadi Mr. Right gue. Tapi, kalau lo termasuk dalam golongan cewek yang ngarep kayak gue dulu, dan lo mau tahu gimana cara biar lo nggak rendah diri, gue sarankan sebaiknya lo menghargai dan mencintai diri lo sendiri dulu sebelum lo ngarep dicintai dan dihargai orang lain."

Seketika, Kintan bukan lagi merasa tersentil, tetapi sudah merasa tertohok.

Apa yang dikatakan Novi benar sekali.

Otak Kintan sesungguhnya ingin menampik. Namun, hatinya mengiyakan ucapan Novi. Kintan memang berharap bisa bertemu lelaki yang akan mengatakan bahwa Kintan cantik dan pintar. Tetapi, yang keliru darinya adalah, dia mengharapkan seseorang mencintai dan menghargainya, sedangkan Kintan belum mencintai dan menghargai dirinya sendiri.

Semuanya sekarang makin jelas. Kintan mulai menyadari apa saja yang menjadi kesalahannya sekarang ini. Barangkali, selama ini dia selalu diberi 'tipe soal' yang sama selama 'ujian' dalam analogi Novi karena Kintan memang belum lulus ujian sebelumnya.

"Kalau menurut gue, media massa cukup berperan buat membentuk karakter kita sih, Kin," ujar Novi setelah mereka sampai di parkiran. "Ya... kayak, cewek itu pas kecil, kalau ngeliat film, drama, atau semacamnya, tayangan buat anak-anak itu, biasanya si putri bakal ditolongin sama pangerannya. Permasalahannya, di dunia nyata hal itu jarang terjadi. Ya, iya sih, sah-sah aja ngarep bakal ditolong prince charming. Bisa jadi beneran ditolong. Cuma... itu ngarep banget rasanya." Novi terbahak. Dia mengeluarkan motor dari parkiran dan menaikinya bersama Kintan. "Kayak, di media gitu juga sering muncul yang tokoh utama ceweknya merasa dirinya jelek dan bukan apa-apa, trus suatu saat ketemu cowok yang bilang si cewek ini cantik dan pintar. I guess most of teenage girls are all a princess-wannabe from the beginning. Kita ngarep dapet prince charming kita. Jadi ya... secara nggak langsung, sebagian remaja selama ini berharap bakal 'ditolong' suatu saat nanti sama prince charming, and then live happily ever after."

Kintan terdiam, menyetujui. Betapa hal ini membuka pikirannya. Mungkin, masalahnya memang tidak sesederhana yang dia pikir. Setelah ditinjau pun, dia juga baru menyadari bahwa media massa dan pembentukan karakter seseorang sangat berkaitan.

Mereka pun pergi ke indekos Kintan. Novi tak langsung balik ke indekosnya karena diajak Kintan mengobrol lagi di kamar gadis itu. "Kalau dipikir-pikir, iya juga, ya, Nop," ujar Kintan setelah duduk di kasurnya. Novi duduk di kursi belajar Kintan. "Gue jujur aja. Gue emang ngarep bakal ketemu cowok yang suatu saat bilang kalau gue cantik. Tapi, kayaknya itu ngarep ketinggian, ya?"

Novi terdiam, menatap dengan senyum. "Itu nggak ketinggian. Suatu saat pasti ada yang bilang begitu. Tapi, jangan sampai lo cuma ngarepin orang lain bilang lo cantik, sedangkan lo sendiri nggak bersyukur dengan kecantikan yang lo punya."

Kintan tersenyum paksa. "Gue... ngarepnya kayak halusinasi banget, ya? Ngarep ada cowok yang sadar kecantikan gue, tapi guenya sendiri nggak mau menyadari bahwa tiap perempuan punya kecantikannya masing-masing."

"If you need a hero, you'd better become one," ujar Novi. "Ya... realita emang nggak semudah dan seindah fiksi, Kin. Mungkin, di media banyak menunjukkan tokoh cewek yang merasa dirinya jelek, trus disadari kecantikannya sama si tokoh cowok. Tapi, ketika berhadapan dengan realita, ketika lo sadar bahwa kalau lo butuh orang untuk menyadari kecantikan lo, maka lo juga harus jadi orang yang menyadari hal itu."

Kintan tersenyum. Dia lalu beranjak dari kasurnya dan memeluk Novi, membuat Novi kaget.

"Buset, Kin, situ sehat?" seru Novi. "Ada gerangan apa ini lo tiba-tiba peluk gue?"

"Kangen, Nop," balas Kintan sambil tertawa. Dia melepas pelukannya dengan temannya itu. "Habis, kita diem-dieman lama banget, sih. Nggak enak. Jadi, gue senang aja pas kita udah ngobrol kayak gini lagi."

Novi mendesah, kemudian tersenyum. "Jangan rendah diri lagi, Kin. Be comfortable with your own skin."

"Iyaaa!" sahut Kintan sambil terkekeh. Gadis itu duduk lagi di kasurnya dan memandangi langit-langit. Dia pun berpikir lagi, lantas bertanya, "Nop, menurut lo, ujiannya bakal berlangsung sampai kapan, ya?"

"Ujian apa?"

"Ujian dari siklus patah hati yang tadi di kampus kita omongin," balas Kintan, kembali menatap Novi. "Menurut lo, 'ujian' ini bakal terus berlangsung sampai kapan?"

Novi terdiam untuk berpikir. "Kalau menurut gue, sih, sampai kita siap."

"Siap apa?"

"Siap menjalani ujian finalnya." Novi tersenyum. "Pernikahan."

Kintan membuka mulut. "O-em-ji."

"Ya... emang gitu, kan?" tanya Novi. "Nikah tuh kayak... obrolan yang jauh sih buat kita yang belum lulus kuliah. Tapi, nikah kan komitmen seumur hidup, ya? Nikah itu kayak ujian final yang bahkan until death do us part, tetep aja lo bakal diuji. Entah itu dari anak, keluarga lainnya, dan lain-lain. Makanya gue pikir, nikah itu kayak 'ujian final'nya the heartbreak cycle."

Kintan mengernyit. "Dan the heartbreak cycle itu bakal muncul bahkan setelah kita nikah?"

"Bisa jadi, sih. Patah hati, kan, nggak selamanya harus sama cowok yang kita suka. Bisa jadi sama hal lain. Dan bisa jadi, misal suami kita udah meninggal, kita bakal patah hati juga. Intinya, the heartbreak cycle bakal terus ada, kan?"

Terdiam, Kintan lalu menjawab, "Ih, kok ngeri?"

"Berasa kayak nggak punya happy ending, ya?" tanya Novi.

"Iya." Kintan mengempaskan tubuh di kasur. Dia memejamkan mata sambil menikmati angin dari kipas listrik di kamarnya. "Kalau nggak dapat happy ending, lo bakal gimana, Nop?"

Novi seketika menjawab, "Ya jangan sampailah. Mungkin, happy ending belum tentu kita dapat dengan cuma-cuma. Tapi, gue mau kok, berjuang demi ngedapetin happy ending yang gue inginkan di dunia ini."

Kintan spontan tersenyum. Dia meraih salah satu novelnya, membuka halaman tengah dan membeku seketika.

Ada suvenir berupa pembatas buku dari acara yang diadakan Fahutan, di mana Mahesa menjadi pembicara di sana.

Kintan menelan ludah, teringat dengan Irene dan bagaimana Mahesa menatap gadis jelita itu.

Berjuang demi happy ending yang kita inginkan, ya? batin Kintan. Tapi, kalau Kak Mahesa udah punya pacar, masa iya, sih, gue harus ngerusak hubungan orang? Ya kali deh.

Kintan mendengus. Kemudian, dia berpikir lagi.

Apakah memang seperti itu yang dinamakan happy ending?

Apakah happy ending itu sama dengan dia mendapatkan lelaki yang dia inginkan sebagai pendamping hidupnya?

[ ].

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top