Part 22


“Sanis membuat masalah apa?”

Pertanyaan dilontarkan Sapta Priga Ayodya.

“Bukan masalah besar, hanya bertingkah kurang bisa gue pahami. Kepala gue sampai pusing.”

Jawaban diluncurkan oleh Prabha Winangun dalam nada terkesan lelah. Begitu pula ekspresi.

“Akan gue tegur dia.”

Suara Sapta Priga Ayodya lebih tegas.

“Gue rasa jangan, Sap.”

Sapta Priga Ayodya pun berdeham pelan atas jawaban yang diluncurkan Prabha Winangun.

“Dulu sebelum  menikah, Sanis juga suka iseng ke gue dan Miya. Mungkin karena dia paling kecil, jadi masih ingin punya teman bermain.”

“Samiya lebih kalem dari Sanis.”

“Menurut hasil tes kepribadian waktu mereka kecil Samiya tipe introvert, Sanis sebaliknya.”

“Wajar, Sanis lebih aktif dan tidak bisa diam.”

“Pantas.”

Komentar singkat tersebut diluncurkan Prabha Winangun, kakak iparnya. Suami dari Sanistya Ayodya yang merupakan adik bungsu sang istri.

Karena nama Samiya disebut, maka Segara kian memberikan atensi terhadap pembicaraan antara Sapta Priga Ayodya dan Prabha Winangun.

Mereka sedang membahas tentang ulah Sanistya yang suka mencari gara-gara. Prabha Winangun curhat lebih dulu pada Sapta Priga Ayodya.

Lantas, kakak iparnya yang merupakan saudara sulung Samiya, memberikan tanggapan dengan membandingkan sifat sang istri dan Sanistya.

Dari sanalah Segara merasa tertarik dengan topik yang mereka bahas. Didengarkan saksama. Dan tentu masih sambil menikmati kopi hangatnya.

“Semoga lo tahan dengan sifat adik gue, Prabh.”

“Tahan.”

“Gue harus tahan karena Sanis sudah menjadi tanggung jawab gue sekarang.”

“Anak bungsu kadang sifatnya tidak terduga.”

“Saya jug anak bungsu, Mas Prabha. Tapi sifat saya tidak seperti Sanistya,” celetuk Segara.

Dikeluarkan tanggapan dalam upaya bercanda saja, lumayan ikut ambil bagian berkomentar. 

“Maksud saya anak bungsu perempuan, Segara. Kamu sudah jelas berbeda dengan istri saya.”

“Sifat Sanis tiada yang bisa menandingi.”

Karena Praba Winangun tertawa, Segara turut melakukan hal yang sama. Bahasan mereka lucu sepertinya. Dan hanya sang kakak ipar yang tak tergelak, hanya memerlihatkan senyum tipis.

Karakter Sapta Priga Ayodya terkesan sangatlah serius, sedikit dingin, selalu bersikap tegas. 

Walau begitu, pria itu menerimanya sebagai ipar dengan tangan terbuka. Belum pernah sekalipun menunjukkan intimidasi, walau tampak begitu serius dalam berkata dan juga berekspresi.

Sebenarnya tak jauh berbeda dengan sang kakak, Sekala Adyatama. Jadi, yah, ia sudah lumayan kebal memiliki saudara-saudara yang cenderung memiliki karakter sangat serius dan dingin.

Bukan berarti pula mereka acuh tak acuh. 

“Bagaimana dengan Samiya?”

Pertanyaan sang ipar ditunjukkan padanya.

“Samiya? Dia istri yang baik, Kak Sapta.”

“Dia tidak pernah merepotkan saya. Dia selalu bisa saya andalkan sebagai istri saya.”

“Samiya wanita yang sempurna.”

“Dia istri yang baik dan tidak pernah sekalipun menyusahkan saya, Mas Sapta,” imbuhnya.

Segara melontarkan setiap katanya dengan nada bangga. Tidak lupa pula membayangkan sosok sang istri di dalam benaknya yang tersenyum.

Segara tahu ia berlebihan berkata, dan harusnya bisa menjaga lisan kata di depan kedua kakak iparnya, apalagi mereka lebih tua darinya.

Walau begitu, Sapta Priga Ayodya dan Prabha Winangun seperti biasa saja, tidak sama sekali tampak terganggu dengan jawaban-jawabannya.

“Bagus.”

Tanggapan pendek dikeluarkan sang kakak ipar. Seorang Sapta Priga Ayodya memanglah tipikal yang tidak terlalu suka banyak bicara. 

Walaupun kikuk diawal-awal pertemuan, ia bisa akhirnya terbiasa dengan karakter iparnya.

“Tolong jaga adik saya, Segara.”

Sudah sekian kali pesan seriuz seperti ini Sapta Priga Ayodya katakan, setiap ada kesempatan bertemu secara langsung dengan dirinya.

Walau tampak dingin dan selalu bersikap serius, nyatanya kepedulian sang ipar selalu besar pada istrinya sebagai saudari kandung.

“Saya.pasti akan menjaga Miya, Mas Sapta.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top