Part 19

"Hari wisuda yang melelahkan."

"Banyak harus bertemu orang."

Segara terkekeh cukup kencang, ia jelas sudah menduga jika lelaki itu akan bereaksi seperti ini atas curhatannya, karena Segara gemar tertawa.

Namun, dirinya tidak akan merasa tersinggung. Malah senang bisa mengungkapkan apa yang tak menyenangkan hati dengan jujur pada Segara.

Lelaki itu adalah pendengar terbaik untuknya, bahkan sudah sejak mereka di bangku SMA.

"Kalau capek, kamu harus istirahat."

Segara menarik lembut kepala Samiya supaya rebah di bahu kanannya. Tak ada penolakan dari perempuan itu. Dan tentu bertanda baik.

"Manusia introvert." Segara meloloskan ejekan. Upaya meneruskan percakapan mereka.

Namun sayang, Samiya seperti malas meladeni sindirannya. Perempuan itu masih diam.

Artinya, ia harus mengajukan pertanyaan.

"Apa rencanamu sekarang?"

"Setelah kita wisuda," perjelas Segara.

"Aku akan melanjutkan S2 di Swiss."

"Kamu sendiri?"

"Aku akan ambil sekolah pilot di Amerika. Aku sudah lulus semua tes seleksinya."

"Selamat, Segara."

Diloloskan tawa cukup keras sebagai balasannya setelah membisikkan kata terima kasih.

Lantas, digenggam salah satu tangan Samiya. Sayang saja, ia belum dapat mengubah status perempuan itu menjadi kekasihnya lagi, setelah dua tahun mereka sepakat putus.

"Ayo buat sebuah perjanjian mengikat."

Samiya yang merasa ucapan Segara mempunyai maksud tersirat, langsung mengumpulkan fokus dengan memandang kian lekat pria itu.

"Ayo menikah saat usia kita diakhir dua puluhan dan kita sama-sama belum punya pasangan."

"Perjanjian macam apa itu?"

"Perjanjian yang manis, Miya."

Segara menempatkan kedua tangannya pada pipi kiri dan kanan sang mantan kekasih. Ia merasa lucu melihat ekspresi kaget perempuan itu.

"Aku akan sukses menjadi pilot."

"Aku akan kaya, lalu mengajak kamu menikah."

"Jadi, tolong tunggu aku, Samiya."

Cup!

Tanpa izin lebih dulu, Segara mendaratkan satu ciuman singkat di kening sang mantan kekasih.

Dilanjutkan memeluk Samiya Ayodya.

"Deal?"

"Kesepakatan ini kita buat?" Segara memastikan persetujuan atas perjanjian yang diusulkan.

"Oke, deal."

"Ayo bertemu dan kita menikah lima tahun lagi, Gara." Samiya tak keberatan akan kesepakatan diajukan. Ia tertantang untuk mewujudkan.

"Bagus, Miya. Tetaplah lajang demi diriku."

..........................

Samiya bangun dengan napasnya yang cukup terengah-engah karena mimpi dialami.

Peluh mengucur pada wajah. Mata bergerilya ke sekeliling dalam pencahayaan minim. Seperti ingin mencari sesuatu, terasa membingungkan.

Namun tak lama kemudian, lampu ruangan tidur sudah menyala terang. Ia pun bisa secara jelas melihat sosok sang suami, Segara Adyatama.

Langsung dipeluk dengan erat pria itu yang ada di sebelahnya. Rasanya sangat nyaman karena bisa merengkuh Segara disaat hatinya gundah.

“Apa yang terjadi, Sayang?”

Samiya tidak langsung menyahut. Ia justru lekas mengumpulkan fokusnya guna mengingat-ingat bunga tidur yang dialaminya tadi.

Ada Segara dan dirinya di dalam mimpi tersebut.

“Kenapa, Miya? Apa yang terjadi?”

Segara merasa perlu mendapatkan jawaban dari Samiya agar bisa tahu dan memahami apa yang tengah dialami oleh sang istri. Sepertinya tidak cukup mengenakan untuk Samiya sendiri.

“Apa kamu bermimpi buruk, Sayang?”

“Bukan bermimpi buruk, Gara.”

Deg!

Detakan jantung Segara langsung mengencang hebat mendengarkan panggilan yang dilontarkan oleh sang istri. Apakah ingatan Samiya kembali?

“Kamu manggil aku apa tadi, Miya?”

“Gara …,”

Segara mengeratkan lagi pelukan pada Samiya dengan perasaan yang berkecamuk. Sudah pasti senang akan kemajuan ingatan sang istri.

“Panggilan itu akhirnya aku dengar lagi.” Segara berbisik lembut tepat di telinga Samiya.

“Tapi, apa yang membuat kamu tadi bangun, Sayang? Kamu bermimpi buruk?”

“Gara ….,”

Panggilan yang sama seperti tadi dari Samiya. Dan sudah pasti ia tidak salah dalam mendengar.

Benarkah ingatan istrinya sudah kembali?

Segara merasakan pergolakan batin yang hebat, hingga matanya menumpahkan cairan bening.

Apalagi, melihat netra Samiya berkaca-kaca, ia merasakan pergumulan rasa semakin tak keruan.

Direngkuh sang istri dengan erat. Ingin menjadi tempat bersandar ternyaman bagi wanita itu.

Dan tangisan Samiya pecah dalam pelukannya.

“Kamu kenapa, Sayang?”

Segara ingin tahu apa yang menyebabkan sang istri seperti ini. Samiya harus bercerita dengan dirinya agar ia bisa memahami situasinya.

“Apa kamu bermimpi buruk, Miya?”

Sudah dipandang sang istri begitu lekat. Mata Samiya semakin tergenang oleh cairan bening.

“Sayang?”

Segara paham jika tindakannya akan terkesan mendesak, namun ia tidak ingin melihat Samiya hanya memendam masalah sendirian.

Ada dirinya untuk tempat wanita itu berbagi.

“Aku bermimpi tentang kita, Gara.”

“Saat kita berjanji akan menikah ….”

“Aku sudah mengingatnya.”

Batin Segara kembali bergolak.

Inilah yang diharapkan, memori-memori tentang kisah mereka dulu, dapat diingat oleh Samiya. Ia yakin wanita itu tak akan lupa selamanya.

Hari ini pun terbukti keyakinannya terjawab.

“Apa yang kamu ingat, Sayang?” tanya Segara.

“Dulu setelah kita wisuda, kita duduk bersama di atap kampus dan membuat sebuah janji …”

“Janji untuk menikah, setelah kita sukses dengan karier kita masing-masing, Gara.”

Segara diam. Tak akan bisa bersuara, manakala mata meneteskan cairan bening lumayan banyak. Ia begitu haru mendengar cerita sang istri yang mulai bisa mengingat kenangan mereka.

“Aku ingat, Gara.”

“Aku akhirnya ingat janji kita.”

Segara memandang Samiya dengan lebih intens. Ia kemudian mengangguk-anggukan kepalanya. Mengiyakan semua ucapan sang istri.

Samiya juga menangis. Netra wanita itu basah.

“Maaf aku baru ingat sekarang, Gara.”

Segara menggeleng pelan. “Kenapa kamu harus minta maaf? Kamu nggak salah, Sayang.”

“Aku justru senang ingatan kamu sudah balik, Miya. Walau belum semua dalam satu waktu.”

“Aku percaya kamu bisa mengingat semua lagi, aku akan membantu kamu, Sayang.”

“Makasih sudah selalu menemaniku, Gara.”

“Aku sayang kamu.” Samiya berucap dengan rasa rindu terhadap sosok pria yang dicintainya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top