Part 18

Drrttt ….

Drrttt ….

Drrttt ….

Ponselnya berdering lagi, setelah beberapa menit diam karena panggilan-panggilan dari sang adik bungsu berakhir. Namun kini, kembali ditelepon.

Dan jelas harus diangkat agar Sanistya tak terus berusaha menghubunginya, bahkan hingga nanti malam. Sang adik memang punya sifat nekad.

Ternyata tak panggilan suara, namun video.

“Holaaa, Kakak Miya Sayanggg!”

Sapaan dengan seruan kencang menyapanya.

Samiya juga memamerkan jenis senyuman yang ceria, sampai-sampai deretan gigi terlihat.

Kenapa saudari bungsunya itu begitu senang?

“Dari tadi aku telepon-telepon, nggak diterima. Sibuk banget kayaknya bulan madu di sana.”

“Baru sampai di sini, Dik,” jawab Samiya cepat.

“Seriusan baru sampai? Kenapa lama?”

“Pesawat kita kena pemeriksaan tadi. Jadi, harus kasih beberapa berkas ke petugas di bandara.”

“Tapi, tetap dikasih mendarat, kan?”

“Iya, dikasih. Berkas-berkas kita lengkap.”

“Walau bayar uang sewa tempat tambahan untuk pesawat di bandara,” terang Samiya sesuai fakta.

“Berapa, Kak?”

“Seribu dollar per hari. Kita di sini lima hari.”

Penjelasannya yang lumayan padat nan singkat, hanya dijawab dengan anggukan-anggukan saja. Tak ada komentar lanjutan dari Sanisitya.

Artinya sang adik tidak cukup paham dan juga tertarik dengan penyampaiannya tadi. Ia tentu hafal sifat-sifat Sanistya sebab sejak kecil dekat.

“Kakak, aku kangen.”

“Bohong!” Samiya lekas menanggapi. Suaranya tak kalah keras dibandingkan sang adik tadi.

Lalu, lidah dijulurkan. Menunjukkan ejekan. Ia tak akan percaya dengan pengakuan Sanistya.

Saudari bungsunya itu selalu punya alasan untuk meneleponnya, namun jika hanya karena rindu, dirinya tidak akan bisa percaya. Mustahil saja.

“Benaran kangen ih, Kak Miya.”

“Jangan bohong, Sanis.”

Sang adik kian cekikikan di seberang telepon.

“Iya deh, aku mengaku aku menghubungi Kak Miya karena aku mau tahu bulan madu kalian.”

“Udah produksi anak nggak nih?”

Pertanyaan sang adik terlalu blak-blakan.

Sanistya memang tipikal orang yang suka to the point dalam mengungkapkan rasa ingin tahunya, termasuk saat menggali informasi darinya.

“Kita belum bulan madu namanya ini, Sanis.”

“Hahahah.”

Sang adik masih tertawa dengan kencang.

“Malam pertama maksudku, Kak Miya.”

Lihatlah, saudarinya kian terang-terangan.

“Aku penasaran nih, jawab dong, Kak Miya.”

Sanistya masih berupaya untuk mendesaknya.
Sebenarnya, ia ingin menjawab sejujurnya, tapi masih mempertimbangkan beberapa hal sebelum mengungkapkan pada saudari bungsunya.

Selama ini, ia sangat dekat dengan Sanistya, tak sekadar saudara, tapi sebagai sahabat juga.

Beberapa masalah pribadi sering diceritakan ke sang adik. Baik hal sepele maupun yang berat.

Dan kini, tentang pernikahannya? Dirinya masih merasa kikuk sebenarnya membahas ini.

“Kamu bicara dengan siapa, Sanis?”

Pertanyaan tersebut berasal dari ujung telepon, dilontarkan oleh Prabha Winangun.

“Menelepon kakakku, Mas Prabh. Kak Miya.”

Tuuttt ….

Tuuttt ….

Panggilan lantas berakhir karena sang adik yang telah memutus sambungan telepon lebih dulu.

Tok!

Tok!

Tok!

Telinga Samiya mendengar jelas suara ketukan pintu, lalu dengan cepat dialihkan atensi ke sana.

Mata pun segera menangkap sosok sang suami.

Segara Adyatama tentu bisa masuk ke kamar karena mereka akan berbagi ruang tidur, benar dalam satu ranjang yang sama.

Kemungkinan besar mereka akan bercinta.

“Kamu kenapa, Sayang?”

“Aku? Memang kenapa denganku, Kapt?”

“Maksudku, Sayang,” ralat Samiya segera.

Sang suami tambah melebarkan senyum, masih memaklumi kesalahannya dalam memanggil.

“Wajah kamu sedikit pucat, apa nggak enak badan, Sayang? Pusing? Atau bagaimana?”

Samiya menggeleng pelan, lalu diterima pelukan yang diberikan oleh sang suami. Nyaman bagi perasaannya direngkuh erat seperti ini.

Segara Adyatama juga memeriksa keningnya.

“Nggak panas dahi kamu, Sayang.”

“Aku memang tidak panas.”

“Aku cuma merasa grogi akan lakukan malam pertama.” Samiya mengungkapkan dengan jujur kembali apa yang tengah dirasakannya.

Sang suami pun tertawa untuk sekian kali.

“Kamu grogi, Sayang?”

Segara gemas dan langsung mengecup kening sang istri yang manis bersikap polos.

“Aku belum mau minta jatah, sebelum ingatan kamu pulih, Sayang. Kita belum akan lakukan malam pertama,” bisik Segara di telinga Samiya.

“Fokusku sekarang adalah bantu kamu untuk mengingat kembali kisah kita, Sayang.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top