Part 17

"Mau beli gelato?"

Kalimat tawaran dilontarkan Segara Adyatama, disertai dengan belaian lembut di rambutnya.

Setiap sentuhan yang dilakukan oleh pria itu, mampu mendatangkan kegugupan kian besar di dalam dada, hingga detakan jantung kencang.

Dan sebagai balasan, ditunjukkan gelengan. Ia tak ingin makan apa pun, sudah kenyang.

"Langsung ke vila saja," imbuh Samiya.

"Masih jauhkah?" lanjutnya.

"Nggak, Sayang. Lima menit lagi sampai."

Samiya pun hanya membalas dengan anggukan, ia tidak punya tanggapan lewat kata-kata yang ingin dilontarkan guna menambahkan.

Mungkin karena tegang, jadi otaknya tak dapat diajak berkompromi untuk memikirkan satu atau dua patah kata sebagai balasan secara lisan.

Dan tampaknya Segara tahu. Pria itu ikut diam. Fokus memandang ke depan, pada jalanan kecil yang merupakan akses utama ke vila.

Walaupun tak ada pembicaraan di antara mereka, tapi tangan masih saling bertautan. Ia pun dapat merasakan kuat genggaman tangan Segara.

Pria yang tengah menyetir dengan santai tepat di sebelahnya ini, sejak siang tadi sudah berstatus resmi menjadi suaminya, benar secara agama.

Untuk administrasi kenegaraan, akan segera ia dan Segara urus di Jakarta minggu ini.

Sampai detik ini, ketika harus memirkan fakta dirinya telah menikah, rasanya masih timbul saja rasa tidak percaya dengan status barunya.

Dirinya tak lajang lagi. Sudah sah menjadi istri dari Segara Adyatama, yang merupakan pria di masa lalu, dan amat ia cintai dahulu.

Namun sampai hari ini, perasaannya pada sang kapten masih mengambang. Bagaimana caranya mendeskripsikan isi hatinya untuk pria itu?

Belum benar-benar mencintai, tapi sudah punya rasa ketertarikan yang kuat pada Kapten Segara.

Lagi-lagi, hanya masalah waktu bukan?

Setelah menikah dengan Kapten Segara, lantas hidup satu atap, ia pasti bisa kembali mencintai sang suami, seperti yang dulu dilakukannya.

"Sayang?"

Panggilan diluncurkan Segara Adyatama, tentu langsung tertangkap oleh kedua telinganya.

Sudah pasti ia harus menghentikan segala bentuk pemikiran yang akan membuatnya bengong.

Atensi dipusatkan pada Kapten Segara dengan lebih intens, menunggu pria itu berkata lagi.

"Memikirkan apa, Sayang?"

"Aku? Tidak ada," jawab Samiya formal.

Jelas langsung disadari cara menjawabnya yang kaku, harus diubah lebih santai. Dan diperjelas juga balasan agar tak timbul kecurigaan.

"Aku nggak memikirkan apa-apa."

"Cuma agak lelah," imbuh Samiya.

Tentu berharap Kapten Segara akan percaya dan tak menaruh asumsi macam-macam padanya.

Lalu, pria yang sudah berstatus sebagai suami resminya itu pun mengangguk-angguk. Tak ada lagi pertanyaan diajukan oleh Kapten Segara.

"Kita sudah sampai di vila."

Samiya mengikuti arah pandang suaminya. Dan memanglah benar mereka sudah tiba di tempat tujuan. Sebuah vila lantai dua yang mempunyai gerbang besar nan menjulang tinggi.

Ada seorang penjaga yang membukakan pintu untuk mereka. Mobil pun melaju masuk.

"Mau aku gendong?"

"Apa?" Samiya lekas menanggapi dengan nada yang kaget atas tawaran sang suami.

Sekala Adyatama malah tertawa.

Samiya merasa semakin malu dan tegang, tak tahu pula harus bagaimana memberi tanggapan.

Ketika tangannya digenggam, kegugupan kian bertambah. Mulut juga tambah membungkam.

"Kamu nggak mau aku gendong?"

"Bukan tidak mau, Kapt. Cuma grogi." Samiya pun menjawab dengan apa adanya. Amat jujur.

Segara Adyatama terkekeh lagi, lebih keras.

"Jangan grogi, Sayang."

"Oh iya, apa aku boleh minta tolong?"

"Minta tolong apa?" Samiya merespons cepat.

"Bisa berhenti panggil aku Kapten? Sekarang, aku adalah suami kamu, Sayang."

"Aku harus manggil apa?" Samiya kebingungan.

"Boleh sayang, bisa juga baby, honey, hubby, atau husband, yang penting bukan kapten."

"Oke, Sayang." Samiya langsung menerapkan.

Lantas, mata dipejamkan, manakala keningnya dicium mesra oleh Segara Adyatama. Debaran jantung tambah tak keruan di dalam dada.

Sungguh, Samiya ingin memori ingatannya bisa segera kembali, dengan begitu ia akan dapat merasakan cintanya untuk Segara lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top