Part 10


Yuk vote dulu sebelum baca.

.....................

Ting tong!

Ting tong!

Ting tong!

Samiya baru saja hendak membuka salah satu surat lusuh dari belasan yang ada di dalam kotak pemberian Kapten Segara, tapi bel apartemennya berbunyi. Jadi, diurungkan niatan dulu.

Samiya tetap berada di sofa, tidak bergerak ke pintu utama sebab sudah tahu siapa yang datang. Ia tak perlu juga membukanya karena sang adik telah memiliki kode akses untuk masuk.

"Hallo, Kakakku!"

Kehebohan dalam melontarkan sapaan, masih menjadi kebiasaan Sanistya. Ia bisa memaklumi namun tetap ingin menjitak adik bungsunya saat dipeluk dengan kencang hingga menyesakan.

Untung saja berlangsung singkat, sehingga tidak perlu diperlihatkannya kejengkelan atas tindakan dari saudari bungsunya itu. Hanya mendelik.

Reaksi Sanistya? Tersenyum yang lebar.

"Ini aku bawain pasta kesukaan Kak Miya."

"Baik kan aku sebagai adik? Dipuji dong."

"Terima kasih banyak, Adikku." Samiya bicara dalam nada manisnya yang dibuat-buat.

Sang adik pun terbahak.

Sanistya tahu bagaimana menyudahi kekesalan dirinya. Ia pun tak akan bisa lama-lama jengkel jika sudah diberikan sogokan makanan.

Langsung dibuka pasta yang dibeli sang adik di restoran favorit keluarga mereka. Kebetulan ia cukup lapar karena makan terakhir siang tadi.

"Eh ini semua apa, Kak?"

Pertanyaan Sanistya mengacu pada kotak yang diberikan oleh Segara. Sudah pasti akan menjadi perhatian sang adik yang selalu memiliki rasa ingin tahu besar terhadap hal-hal janggal.

"Surat-surat dari Kapten Segara."

"Oh, surat cinta kalian yang dulu pas SMA?"

"Kamu tahu, Dik?" Samiya tak menyangka saja jika sang adik tahu menahu juga.

Sanistya pun mengangguk dengan mantap. Tak lupa juga melebarkan senyuman jahil yang jadi ciri khas dari saudari bungsunya itu.

"Tahulah, Kak."

"Tiap Kak Miya nulis surat cinta, aku selalu menemani Kak Miya di kamar."

"Aku yang paling pertama akan baca suratnya sebelum dikasih ke Kak Segara. Hihihi. Kalian romantis banget dulu. Aku suka lihatnya."

Sang adik tertawa renyah mengingat momen di masa lalu yang bahkan tak bisa berputar dalam kepalanya. Ia benar-benar melupakannya.

Kenapa tidak ingat satu pun kenangan bersama Kapten Segara Adyatama jika memang pilot itu merupakan orang dicintainya. Ini memusingkan.

"Kak Miya kenapa?"

Sanistya jelas peka akan perubahan raut wajah sang kakak yang seperti kebingungan. Bola mata mengedar, tengah mencari-cari sesuatu.

Sebagai saudari yang tak tega melihat kakaknya dalam kondisi perasaan kurang tenang, Sanistya langsung memberikan pelukannya.

Menepuk-nepuk pelan punggung sang kakak.

"Kak Miya kenapa? Aku di sini sama Kak Miya. Jadi, Kak Miya jangan cemas lagi."

"Ada masalah yang buat Kak Miya nggak bisa nyaman? Mau cerita nggak ke aku, Kak?"

"Aku merasa bersalah ke Kapten Segara."

"Merasa bersalah, Kak?"

"Iya, Dik. Kakak merasa bersalah tidak bisa mengingat siapa Kapten Segara."

Samiya merasakan kegetiran di hatinya, tatkala bayangan Segara Adyatama menatapnya dengan tatapan sedih, setiap kali mereka berbicara.

"Kak Miya jangan merasa bersalah. Pelan-pelan saja, Kak. Aku yakin Kak Miya akan bisa ingat Kak Segara dan kebersamaan kalian dulu."

"Satu yang pasti, Kak Segara tulus sayang sama Kak Miya. Kak Segara mau ajak kakak nikah."

Saking merasa kaget akan pemberitahuan sang adik, Samiya pun melepas pelukan di antaranya dan Sanistya. Lalu, memandang saudarinya itu dengan sorot tanya. Ingin mendapat penjelasan.

Namun, tak ada yang bisa dilakukan. Ia sama sekali belum mampu mengingat pria itu sebagai mantan kekasihnya, sekeras apa pun berusaha.

"Kak Segara bilang kalian punya janji waktu wisuda, akan menikah di masa depan, setelah Kak Segara mapan dengan karier pilot."

"Makanya Kak segara menemui Kak Miya."

Samiya semakin merasa bersalah saja, setelah tahu apa tujuan Kapten Segara sebenarnya. Pria itu memang tak berniat jahat dengannya.

Kapten Segara benar-benar mencintainya bukan? Sampai-sampai pria itu rela kembali hanyalah untuk memenuhi janji yang mereka buat.

"Kak Miya harus terima lamaran Kak Segara. Kasihan Kak Segara patah hati kalau ditolak."

"Daripada ntar Kak Miya dijodohin Papa sama politisi atau pengusaha yang nggak Kak Miya tahu, mending Kak Miya terima Kak Segara."

Kali ini, Samiya terkejut akan penuturan sang adik bungsu tentang perjodohan tak diketahui.

Sanistya mengangguk-angguk. Sudah pasti ada kemungkinan akan terjadi ucapan sang adik.

"Kayaknya Papa ada rencana."

"Emang Kak Miya mau dijodohin?"

"Aku nggak mau." Samiya berujar mantap.

"Nah, makanya Kak Miya harus terima lamaran Kak Segara biar nggak dijodohin sama Papa."

"Tapi, aku belum ingat siapa Kapten Segara ak-"

"Siapa tahu setelah kalian menikah, Kak Miya bisa ingat lagi Kak Segara dan cinta kalian."

"Ayolah, Kak Miya."

Sanistya akan berusaha mati-matian membujuk sang kakak, tentu saudarinya harus bersedia. Ia sangat ingin menyatukan kembali dua sejoli itu dalam sebuah pernikahan yang bahagia.

"Gimana, Kakakku?" Sanistya memastikan lagi.

"Kapten Segara belum ada melamarku."

"Sebentar lagi Kak Miya juga dilamar, tunggu aja, Kak. Pokoknya Kak Miya harus terima."

"Iya, Dik. Aku akan terima."

Demi apa pun, Sanistya merasa senang bukan main. Hendak bersorak gembira. Namun tidak mungkin di depan kakak perempuannya.

Saudarinya bisa curiga jika ia berperan penting membantu Kapten Segara memenangkan hati kakaknya. Tentu tak boleh ketahuan sekarang.

Setelah pulang dari apartemen saudarinya, akan segera dihubungi sang calon ipar guna meminta pilot itu segera melamar kakak perempuannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top