Part 07
"Malam, Ma." Segara menyapa cepat sang ibu saat teleponnya untuk kedua kali diangkat.
Yang pertama, sekitar sepuluh menit lalu. Dan tak dijawab oleh sang ibu. Tentu, ia cukup cemas dan berpikiran tidak-tidak akan kondisi ibunya.
Namun ketika sudah mendengar suara lembut orangtuanya di ujung telepon, ia menjadi lega.
"Aku sudah landing di Jakarta, Ma."
"Jam dua belas tadi tepatnya," tambah Segara guna memberikan penjelasan lebih rinci.
Sang ibu pasti akan bertanya.
Karena sudah diterangkan, tentu saja tidak ada lontarkan kalimat yang berkaitan. Ibunya justru mengonfirmasi kapan dirinya akan tidur.
"Aku masih di kantor, Ma."
"Setengah jam lagi, aku ke apartemen."
Sang ibu jelas menasihati supaya dirinya pulang tak lebih larut, khawatir di jalan terjadi apa-apa.
Setiap orangtua pasti memiliki kecemasan untuk anaknya, sekalipun sudah amat dewasa dan bisa menjaga keselamatan diri dengan pasti.
"Iya, Ma, iya."
"Aku akan balik ke apartemen sekarang."
"Mama juga harus tidur. Sudah malam."
"Minggu depan, aku pulang ke Bandung."
Sang ibu menjawab singkat saja. Didengar pula suara menguap di seberang telepon dengan jelas.
"Dah, Maa." Segara pun mengakhiri panggilan, setelah sang ibu berdeham pelan. Tanda setuju jika ia menyudahi obrolan di antara mereka.
Namun, saat ditekan ikon merah di layar ponsel, sang ibu malah bertanya kembali. Benar-benar mendadak hingga membuatnya tak sempat untuk mendengar semua kalimat ibunya luncurkan.
"Mama nanya apa? Tolong diulangi, Ma."
Sang ibu lekas meluncurkan pertanyaannya.
"Bagaimana dengan Miya? Apa dia sudah bisa mengingat siapa diriku?" Segara pun turut juga mengulangi apa yang ditanyakan ibunya.
Tentu akan dijawabnya pula.
"Belum, Ma."
"Agak nggak mungkin dia bisa ingat aku dengan waktu cepat. Tapi, aku tetap berusaha, Ma."
Segara tidak ingin membuat ibunya semacam merasa terbebani dengan masalahnya. Lagi pula, ia yang harus menyelesaikan semua ini.
Namun sebagai orangtua yang amat peduli akan prakara dihadapi anak-anaknya, seorang ibu tak bisa mengabaikan begitu saja kan?
"Mama harus percaya aku pasti akan bawa Miya ke rumah Mama dan Papa. Kasih aku waktu satu bulan, ya? Mama tunggu di Bandung."
Segara kembali meyakinkan sang ibu.
"Aku mau pulang ke apartemen secepatnya. Tapi Mama ngajak aku bicara terus. Kapan aku bisa balik, kalau kita nggak berhenti teleponan, Ma."
Hendak dialihkan pembicaraan ini.
"Besok lagi, aku telepon Mama."
"Dah, Maa." Segara pun benar-benar menyudahi panggilan di antaranya dan sang ibu kali ini.
Ponsel langsung dikembalikan ke saku celana. Ia juga mulai melangkahkan kaki menuju tangga. Akan turun ke lantai basemen mengambil mobil.
Namun kemudian, Segara tiba-tiba saja berhenti berjalan karena melihat sosok Samiya Ayodya.
Wanita itu duduk pada salah satu kursi empuk yang berjejer rapi di dalam ruang tunggu tamu.
Sang mantan kekasih membawa buket bunga pemberiannya tadi pagi. Ia sedikit terenyuh.
Segara tak punya niat bergabung duduk dengan Samiya di kursi, tapi ketika wanita itu arahkan atensi padanya, kaki spontan bergerak mendekat.
"Belum pulang, Bu Bos?"
Samiya menggeleng pelan.
"Mau pulang bareng?"
Sang mantan kekasih pun kembali menunjukkan balasan berupa gelengan dalam gerak pelan.
Segara merasa bahwa mereka masih belum bisa menyambung mengobrol karena ingatan Samiya belum pulih. Jadi, percakapan mereka pasti akan seperti orang asing, tak saling mengenal.
"Aku pamit duluan pulang."
Ya, Segara memilih pergi lebih dulu. Mungkin saja Samiya butuh ruang menyendiri. Ia enggan mengganggu, andai saja wanita itu tidak merasa nyaman dengan kehadiran dirinya.
Namun baru sesaat kaki dilangkahkan menjauh dari kursi, Samiya pun ikut bangkit. Lalu, tangan wanita itu meraih salah satu lengannya.
Atensi langsung dipusatkan pada Samiya. Ia pun turut memangkaskan jarak di antara mereka dan hanya masih tersisa beberapa jengkal saja.
"Kenapa, Bu Bos?"
"Apa kamu sungguh ada di masa laluku?"
Segara hanya mengangguk pelan.
"Maaf, tapi aku belum bisa ingat siapa kamu di masa laluku, Kapten Segara."
"Aku kehilangan ingatanku karena kecelakaan yang aku alami saat main ski di Swiss."
"Aku masih kehilangan sebagian besar memori di masa lalu, termasuk waktu kanak-kanak."
"Aku minta maaf jika kamu mu-"
"Kenapa terus minta maaf? Aku tidak marah jika kamu belum bisa mengingat siapa aku, Miya."
"Aku juga sudah tahu kecelakaan yang sudah kamu alami tiga tahun lalu. Sanis kemarin memberi tahu semua kronologisnya," jelas Segara.
"Justru aku yang harus minta maaf dengan kamu karena aku tidak tahu kamu kecelakaan, Miya."
"Aku terlalu sibuk mengejar karier sebagai pilot tanpa tahu kamu menderita karena kecelakaan."
"Andai aku memulai komunikasi lagi denganmu, aku pasti akan tahu kondisimu, Miya."
Mata Segara berair.
Dan itu mengganggu Samiya.
Naluri yang menyuruh dirinya untuk memeluk Kapten Segara Adyatama, lekas dilakukan tanpa perasaan ragu. Ia pun bisa merasakan kerapuhan dan kepedihan yang membelenggu sang pilot.
Dalam rengkuhan hangat sang mantan kekasih yang telah dirindukan, tangis Segara pecah.
"Aku ingin secepatnya bisa mengingatmu, Kapt."
...............................
Mana nih komennya? Lanjut nggak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top