6
Hardi menatapku lurus seakan baru saja mengatakan suatu hal yang konyol. Rasanya seperti... dihakimi.
"Hm? Apanya?" Suamiku lantas menata ekspresi wajah. "Ehm, yang kayak di artikel itu? Ada setan yang nyamar jadi aku terus begituan sama kamu?" Mengucapkan ini, Hardi menahan tawanya seakan-akan hal tersebut adalah skenario paling konyol.
Aku pun menghela napas, sedikit berusaha meredam emosi dan sakit hati karena merasa dipandang layaknya orang bodoh oleh suamiku sendiri.
"Yah... anggap aja what if. Gimana kalau MI-SAL-NYA itu kejadian," tekanku. "Kamu bakal marah, nggak? Terus menurut kamu, apa ini hitungannya jadi selingkuh? Atau... pemerkosaan?"
Semua pertanyaanku itu dijawab Hardi dengan satu helaan tawa dan sepotong kalimat pamungkas. "Ya itu sih tergantung, kamunya menikmati apa engga?"
Aku langsung terpaku saat itu juga. Belum sempat aku berpikir lebih jauh, Hardi sudah merangkul bahuku.
"Daripada mikir nggak masuk akal gitu, mending aku yang mastiin kamu dapet yang enak-enak beneran, yang bisa dinikmati..." bisik Hardi di dekat telingaku.
Seketika dadaku mencelus. Oh tidak.
"Sayang... gimana tanggalanmu? Masih masuk waktu subur kan?"
Hardi mulai merayu sambil menyelipkan satu tangannya ke balik gaun tidurku. Seketika aku diserang panik. Rasanya aku belum siap untuk melakukan hal 'itu'.
"Mmmm... udah lewat sih Yang, terus... aku lagi nggak mood, masih nggak enak badan. Gimana kalau besok-besok aja?" Aku menolak halus, namun tangan Hardi malah berpetualang lebih jauh.
"Kok gitu sih? Aku udah nabung lama banget nih... numpuk loh ini saldonya. Mau, ya, bantuin deposit?"
Aku hanya bisa pasrah saat akhirnya Hardi melancarkan aksinya tanpa benar-benar menunggu persetujuanku.
Pertumbukan kami malam itu terasa hambar. Mungkin karena aku merasa menjadi seperti 'alat' yang digunakan untuk menyalurkan kepuasan suamiku saja.
Selepasnya, aku segera menuju kamar mandi untuk kencing. Setelah itu, aku ke dapur dan meneguk air putih banyak-banyak, untuk kemudian kencing lagi. Malam itu aku bolak-balik ke kamar mandi sebanyak empat kali.
Kalian pasti tahu kenapa, kan? Katanya, buang air kecil membantu membersihkan benih yang berhasil keluar di dalam.
Aku sengaja menggagalkan pembuahan kami, sebab aku ingin memastikan tubuhku aman dari pencampuran benih gaib yang entah milik siapa.
Keesokan harinya, aku ke apotek untuk memborong test pack, berhubung demamku juga sudah sangat mendingan.
Aku tak buang waktu untuk menggunakan satu test pack sesampai di rumah, mumpung Hardi masih di kantor.
Hasilnya... negatif!
Syukurlah.
Tapi untuk memastikan, aku akan mengetes lagi esok hari, dan lusa, dan mungkin beberapa hari setelahnya.
Hari demi hari kujalani. Seiring garis-garis negatif yang selalu muncul sebagai hasil test pack, kelegaan juga terasa melapangkan dadaku.
Bersamaan dengan itu, ibadahku juga semakin longgar. Mungkin ini sifat manusia, akan mengentengkan ketika merasa tidak lagi membutuhkan, tidak lagi terancam.
Awalnya, aku yakin aku bisa kembali ke kehidupan normal yang bahagia bersama Hardi, tanpa aku perlu menceritakan pengalaman intimku dengan makhluk gaib pada idul fitri lalu padanya. Toh dia juga tidak akan percaya.
Tapi... ternyata tidak.
Semenjak aku 'mencicipi' pengalaman itu, rasanya sentuhan Hardi benar-benar menjadi hambar. Dia masih suamiku si owner pabrik toge yang suka main cepat, grasak-grusuk, dan sat-set-sat-set yang penting dia puas.
Jujur aku agak kecewa.
Dulu, aku tidak punya pembanding yang membuatku sadar bahwa aku butuh lebih dari sekadar ditiduri. Kini, rasanya aku seperti mengharap-harap sesuatu yang tak akan pernah dipahami oleh Hardi.
Rasanya agak mual aku mengakui ini, tapi setiap kali Hardi selesai dengan urusannya denganku, aku selalu menahan tangis dan rindu akan 'suamiku' yang lain.
Astaghfirullah!
Tidak. Ini salah. Ini jelas-jelas godaan syaiton.
Seperti biasa, aku mengandalkan teknik denial tingkat dewa untuk meredam hal yang tidak seharusnya. Aku selalu mengalihkan pikiranku kalau sudah mulai ngelantur seperti itu.
Tampaknya, pikiran-pikiran yang kupendam itu tertanam di alam bawah sadar, sehingga tumbuh sebagai bunga tidur tanpa bisa kukendalikan.
Aku kerap bermimpi, kadang jelas kadang tidak, tentang hal-hal erotis dengan sosok absurd yang membuat dadaku berdebar dan mahkotaku terasa basah saat bangun tidur.
Entah ini permainan otakku sendiri karena frustasi secara seksual, atau memang 'suami'-ku yang lain ada andil dalam mengganggu. Yang jelas, kini setiap sebelum tidur, aku tak lupa menyumpal telinga dengan headset berisi bacaan ayat-ayat ruqyah sampai terlelap.
Awalnya kukira semua akan baik-baik saja. Kuasa Allah pasti lebih kuat dari gangguan ini. Sampai suatu hari...
"Yang, Senin besok aku ada work trip ke Bandung ya, dua hari."
Hardi berkata di satu Minggu pagi, membuat sarapan kami seketika terasa hambar di lidahku.
**
[675 Kata]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top