Bagian 15
Mana nih komennya? 50 votes dulu untuk part sebelumnya.
.......................................
Tok!
Tok!
Tok!
Tepat ketika diraih gagang pintu, suara ketukan pun didengar. Langsung saja, knop diputar.
Pintu kamar digeser hingga terbuka lebar.
Dan sosok sang suami yang berdiri menjulang di depannya dengan setelan jas kerja hitam, tentu saja dapat menarik atensinya seketika.
Mata wanita mana tidak akan termanjakan ketika dihadapkan pemandangan menawan dari seorang pengusaha muda kaya raya yang tahu caranya berpenampilan necis hingga tampak gagah.
Sialnya, ia terpesona dengan suaminya sendiri.
"Kenapa belum turun?"
Pertanyaan diluncurkan Prabha Winangun. Dan sudah pasti menyasar keterlambatan dirinya ikut sarapan yang harusnya dimulai pukul delapan.
Maka dari itu, sang suami mendatanginya.
"Nggak lapar, Mas."
"Mas Prabh sarapan saja duluan. Habis itu ke kantor. Oke? Aku siangan sarapan."
Sanistya lalu meraih tangan suaminya, hendak menyalami lebih awal. Siapa tahu nanti setelah sarapan, Prabha Winangun buru-buru pergi dan tak sempat berpamitan dengan dirinya.
"Sakit?"
"Nggak, Mas." Sanistya menyahuti cepat.
"Aku sehat-sehat, nih." Ditambahkan jawaban saat melihat sorot ketidakpercayaan ditunjukkan sang suami lewat tatapan yang dilayangkan.
Lalu, pria itu memegangi dahinya. Tentu jarak di antara mereka jadi cukup dekat sehingga dapat dicium aroma parfum maskulin sang suami.
Menusuk hidung, tapi terasa menyegarkan.
"Aku nggak demam, Mas." Sanistya berikan lagi penjelasan akan kondisinya yang baik-baik saja.
"Ingin sarapan apa?"
Prabha Winangun mungkin menyimpan dugaan jika ia tak berkenan makan karena tidak suka dengan menu yang dibuat oleh pria itu.
Kembali kepala digelengkan. "Nggak, Mas."
"Aku sarapan nanti saja."
Setiap akan datang bulan, ia memang cenderung malas makan seperti sekarang. Benar-benar tak lapar, walaupun isi perutnya sudah terkuras di kamar mandi lumayan banyak tadi.
"Mas duluan sana sarapan."
"Terus berangkat kerja," celoteh Sanistya santai.
Ingin sekali dilanjutkan gurauan tentang buket bunga, namun sudah diputuskan untuk pura-pura tak tahu sementara. Mencari jalan aman.
"Mas nunggu apa lagi? Ayo, sarapan dulu."
Sang suami belum beranjak. Masih tetap berdiri dengan pandangan yang intens padanya. Sorot mata menelisik seakan-akan mencari sesuatu di sepasang netranya. Ia jelas cukup peka.
"Kenapa, Mas Prabh?"
"Ada masalah apa sampai kamu tidak sarapan bersama saya, Sanis?"
Eh? Suaminya mengira jika dirinya mengambek hingga tak mau makan dengan pria itu.
Karena sang suami tampak sangat serius, maka muncul ide jahil untuk mengerjai pria itu.
Lumayan menguji Prabha Winangun pagi-pagi.
"Mas? Kalau aku mau cerai gimana?"
"Bercerai?"
Sanistya segera saja mengangguk mengiyakan apa yang ditanyakan oleh sang suami. Ia tidak menjawab karena menunggu respons pria itu.
Sedetik kemudian, tangannya sudah diraih oleh Prabha Winangun. Ditarik dengan tidak cukup kasar, tapi cengkramannya terasa lumayan keras.
"Mau ke mana, Mas? Aku bilang nggak ma-"
"Bicara."
Sepatah kata dalam nada amat tegas dikeluarkan oleh sang suami, membuatnya merinding. Tak dilawan. Mengikuti saja langkah pria itu.
Dirinya dibawa ke ruangan santai, yang terdapat beberapa sofa dan juga meja. Tempatnya masih di lantai dua, dekat dengan kamar tidurnya.
"Duduk."
Sang suami berkata masih dengan amat singkat, namun matanya lebih mendelik. Ekspresi kian serius dalam sorot yang semakin tajam.
Tampak menyeramkan? Tentu saja!
"Saya bilang duduk, Sanis."
"Ihh, galak banget," protes Sanistya.
Namun tetap dilakukan titah sang suami.
Lalu, Prabha Winangun ikut duduk bersamanya, tepat mengambil posisi di sebelahnya.
Mereka berdua saling menatap.
Sanistya jelas tak akan mengalihkan pandangan karena merasa tertarik dengan keseriusan mimik wajah sang suami dibandingkan biasanya.
"Kenapa kamu ingin bercerai?"
Astaga, ia belum menyiapkan jawaban ini. Tidak memikirkan lebih jauh tentang ide jahilnya akan ditanggapi sungguh-sungguh oleh sang suami.
Bagaimana harus dikemukakan alasan? Segera coba dipikirkan sahutan yang paling tepat. Dan tentu saja harus masuk akal juga.
"Apa karena saya?"
Sanistya sudah mendapat pertanyaan lagi oleh suami cueknya. Mimik Prabha Winangun kian terlihat menakutkan karena begitu serius.
Dirinya merinding seketika.
"Jawab, Sanis."
Astaga, pria itu bisa sangat menuntut? Baiklah jika dirinya disuruh menjawab, maka tidak akan segan ditunjukkannya uneg-uneg, mumpung ada kesempatan yang amat bagus diberikan.
Sanistya pun menganggukkan kepalanya dengan gerakan mantap beberapa kali. "Benar sekali."
"Mas Prabh itu suami yang cuek, jarang bicara, nggak suka kasih perhatian dan sayang ke istri."
"Nggak suka senyum. Sering serius dan galak." Sanistya dengan amat lancar luncurkan sindiran.
"Nahh, aku maunya punya suami yang manis, pintar gombal, perhatian, bucin, sama banyak senyum daripada pasang muka kayak tripkek."
Sanistya mengakhiri ucapan dengan satu helaan napas karena tak ada jeda berbicara tadi. Dan ia rasa sudah cukup mengeluarkan uneg-uneg.
Tentu, tinggal menunggu reaksi suami cueknya saja. Apakah Prabha Winangun akan berang?
Perubahan ekspresi pria itu? Tak cukup kentara. Tidak ada pergantian mimik yang signifikan.
Jadi, suami cueknya tak akan marah? Padahal, ia sudah dengan menggebu-gebu mengeluarkan keluh-kesah yang paling jujur dari hati terdalam.
Dan setelah menunggu sampai beberapa menit, Prabha Winangun tak berkomentar apa-apa.
Astaga, kenapa lagi dengan pria itu?
Tak kah akan bereaksi atas uneg-uneg darinya?
"Gimana, Mas? Bisa menerima nggak?" tanya Sanistya karena enggan lebih lama diam.
"Hanya itu?"
Tanggapan apa tadi diloloskan suaminya? Dua patah kata dalam nada datar? Kenapa bisa?
Astaga, benar-benar manusia es balok!
Belum hilang kekesalannya atas jawaban sang suami, Sanistya kembali dibuat jengkel karena pria itu tiba-tiba saja beranjak dari sofa.
"Mau ke mana, Mas?" tanyanya iseng.
"Sarapan."
Jawaban amat singkat dan padat.
"Terus gimana dengan permintaanku?"
"Kita cerai nggak, Mas?" Sanistya menguji lagi.
Sedetik kemudian, ia harus menghadapi tatapan dingin suaminya yang mendadak membalikkan badan. Rahang wajah pria itu tampak mengeras.
Ketika Prabha Winangun semakin mendekat, ia pun coba menjaga jarak dengan pria itu. Namun tak bisa karena tangannya berhasil diraih.
Lalu, ditarik kencang oleh pria itu, membuatnya jadi terjatuh ke pelukan Prabha Winangun.
Pinggangnya dipegang dengan erat.
Wajah sang suami tambah condong ke arahnya, sehingga bisa disaksikan tatapan marah pria itu.
"Kamu ingin kita bercerai?"
Sanistya diam mematung. Lidahnya kelu untuk berbicara. Mulutnya tertutup dengan rapat.
Rasa ngeri datang karena melihat sikap Prabha Winangun yang cukup menyeramkan.
"Saya tidak ingin bercerai, Sanis."
"Saya menikah bukan untuk bercerai."
"Pernikahan ini akan saya jaga bagaimana pun caranya, tidak peduli jika kamu merengek ingin berpisah, selama kita tidak saling mendua."
"Saya akan menjadi suami seperti kamu mau."
Sanistya harusnya merasa jengkel akan jawaban sang suami yang begitu panjang-lebar kali ini, namun ia justru merasa bersalah karena sudah membuat pria itu berang atas candaannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top