Bagian 13


Mana nih vote-nya? Yuk komen sebelum baca. Seperti biasa, 50 votes dulu untuk next part.

Jangan lupa komennya juga ya.

.....................

Sanistya tipikal yang akan selalu dihantui oleh penasaran dengan segala sesuatu jika belum menemukan titik terang untuk dirinya.

Dalam masalah kali ini, mimpinya bertemu dan bicara dengan Sundari, menjadi perhatian. Ia seperti harus menelusuri lebih lanjut apa artinya.

Dibandingkan hanya sebatas bunga tidur tanpa kejelasan, Sanistya memutuskan merealisasikan.

Ya, membuat janji temu dengan Sundari.

Karena tak punya nomor teleponnya, tentu saja Sanistya memutuskan pergi ke kantor Prabha Winangun, tempat Sundari bekerja.

"Pagi, Mas Prabh." Sanistya menyapa manis, saat sang suami mengangkat teleponnya.

"Mas di mana?" tanyanya kemudian.

Di ujung telepon, Prabha Winangun menjawab jika sedang ada di kantor. Seperti biasa, tak ada pertanyaan kenapa dirinya ingin mengonfirmasi keberadaan pria itu. Suami dingin selalu cuek.

"Oke, Mas."

"Sampai jumpa." Sanitya mengucapkan kalimat terakhir, sebelum mengakhiri teleponnya.

Sudah pasti tak akan diberitahukan kedatangan dirinya ke perusahaan sang suami. Biar saja pria itu merasa kaget akan kunjungannya.

"Sudah sampai?" gumam Sanistya saat sadar jika lift sudah berhenti bergerak.

Pintu pun membuka di depannya.

Sanistya langsung keluar dengan langkah yang anggun, berjalan pelan-pelan tentu saja. Matanya pun mengedar ke sekeliling lorong dilewatinya.

Pada akhirnya, ia pun sampai pada areal tempat dimana terdapat beberapa meja staf khusus yang bekerja sebagai sekretaris-sekretaris pribadi dari Prabha Winangun, salah satunya Sundari.

"Selamat datang, Bu Sanis."

"Selamat siang, Bu Sanis."

"Selamat siang, Bu Sanistya."

Semua staf bergantian menyapanya dengan rasa hormat dan sikap formal begitu tampak. Sundari Resnata juga melakukan hal yang sama.

"Iya, selamat siang semuanya." Sanistya balik menyapa ramah, seraya berjalan ke arah meja kerja yang ditempati oleh Sundari Resnata.

"Hallo, Mbak Sundari," sapanya pertama.

"Selamat siang, Bu Sanistya."

"Iya, selamat siang," jawabnya cepat. Tentu suara dibuat seramah mungkin terluncur.

"Mbak apa ada waktu nanti malam? Mau makan malam bersamaku?" Sanistya langsung utarakan tujuan, mumpung punya kesempatan bicara.

"Ada, Bu Sanistya."

"Bagus." Sanistya semakin senang tak ditolak.

"Kita jumpa di restoran ya jam tujuh. Aku kirim alamatnya ke nomor Mbak Sundari."

"Iya, Bu Sanis."

"Terima kasih, Mbak Sundari."

Sanistya senang bukan main karena ajakannya telah diterima. Ia hanya perlu memesan ruangan khusus di resto agar pertemuan lebih privat.

"Sama-sama, Bu Sanis."

"Gimana kabar Mbak Sundari? Akhirnya kita bisa bertemu lagi." Sanistya ingin basa-basi.

"Maaf tadi lupa nanya kabar, malahan langsung ngajak pergi makan Mbak Sundari, Hehehe."

Disadari tingkahnya yang terang-terangan tadi, tidak memperlakukan aturan sikap sopan dalam prosedur bercakap-cakap diajarkan keluarganya

Tentu demi tetap menjaga kesantunan, ia harus kembali pada aturan-aturan tersebut.

"Saya sehat, Bu Sanis."

"Kabar Bu Sanis bagaimana?"

"Saya juga sehat, Mbak."

"Tiap hari selalu bugar, hehehe." Sanistya pun menyengir. Nada suara juga kian ceria.

"Semoga Bu Sanis dan calon bayinya sehat, ya."

Mata Sanistya seketika membeliak. Sudah jelas bagian dari reaksi kaget atas perkataan Sundari Renata. Bagaimana bisa dirinya dianggap hamil?

"Nggak kok, Mbak. Saya belum tekdung."

Sanistya melihat bentukan kerutan pada kening Sundari Renata, pasca ia menjawab. Dan bisa dipastikan itu karena balasan darinya.

Benar, pemilihan kata-katanya ada yang kurang formal dan mungkin juga membingungkan.

"Maksud saya belum hamil."

"Alat tes kemarin itu punya kakak perempuan saya. Bukan milik saya," terang Sanistya.

"Saya hamil setelah ka-"

"Bu Sanis sedang hamil?"

Pertanyaan terluncur bukan dari Sundari Renata, melainkan staf lain yang ada di dekat mereka.

Wanita pertengahan usia empat puluhan tahun itu bahkan menghampirinya. Menjabat tangan kanannya sembari memberikan selamat.

"Semoga kehamilan Bu Sanis lancar sampai tiba waktunya melahirkan. Selamat sekali lagi."

Sanistya kian mematung, ketika staf lainnya ikut menyalimi dan mengucapkan selamat seperti yang dilakukan pegawai sebelumnya.

Tanpa Sanistya sadari, ada salah satu staf tengah memantau dirinya. Menginformasikan pula pada Santy Winangun berita kehamilan wanita itu yang baru saja didengar

Dan beberapa jam lagi, seluruh anggota keluarga Winangun akan mengetahui kabar ini.

Sanistya menciptakan huru-hara baru untuk sang suami yang siap memusingkan pria cuek itu.

......................

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top