Bagian 07
B07 ~ Empat Bulan Pernikahan
................
"Terima kasih, Prabha."
Hanya diulas senyuman semakin lebar sembari mengambil piring buah dari tangan sang nenek.
"Eyang ingin makan apa?"
"Tidak, Prabha. Eyang sudah kenyang."
"Benar? Sekarang eyang mau tidur?" Prabha pun mengarahkan neneknya untuk lekas beristirahat.
Namun, didapati tanggapan berupa gelengan.
Sang nenek menolak idenya.
"Eyang mau menunggu istri kamu, Prabha."
"Baiklah, Eyang."
Prabha kemudian melirik ke arloji tangan kirinya untuk melihat jam. Masih pukul sepuluh. Tak cukup larut guna memaksa neneknya tidur.
Prabha juga menghitung waktu kedatangan dari Sanistya secara matematis, mengira-ngira.
Sang istri berangkat dari bandara sekitar tiga puluh menit lalu. Jarak tempuh ke kediaman neneknya memakan durasi kira-kira empat puluh menit. Itu artinya Sanistya akan segera tiba.
Mereka memilih penerbangan yang berbeda. Tak bisa bersamaan terbang ke Bali karena kegiatan Sanistya belum selesai di Jakarta.
Sebagai pengusaha, wanita itu tentu mempunyai kesibukan yang cukup luar biasa seperti dirinya. Ia bisa memaklumi kepadatan jadwal Sanistya.
"Prabha?"
Sang nenek rupanya memanggil. Atensi segera dipindahkan pada sosok Santy Winangun yang sudah berusia senja, tapi tetap terlihat segar.
"Kenapa, Eyang?"
"Kamu pasti melamun, sampai tidak mendengar pertanyaan Eyang. Kamu memikirkan istrimu?"
"Eyang tadi bertanya?" Prabha balik bertanya. Ia sendiri tak sadar sudah hanyut akan pikirannya sendiri, sehingga mengganggu fokusnya.
Sang nenek pun mengangguk mengiyakan.
"Maaf, saya tidak dengar."
"Saya memang sedang memikirkan Sanistya."
Prabha mengakui terang-terangan, sesuai akan apa yang ditebak neneknya. Tidak malu untuk mengutarakan sejujurnya pada sang nenek.
Santy Winangun tertawa pelan.
"Wajar saja memikirkan istrimu, Prabha."
"Jatuh cinta pasti seperti itu, Cucuku."
"Jatuh cinta?" Prabha mengulang ucapan sang nenek dengan kesan yang sedikit terkejut.
Tidak bisa ditampik jika semakin lama tinggal bersama Sanistya, yakni sudah tiga bulan lebih semenjak mereka berdua menikah, ketertarikan ke sang istri menguat tanpa bisa dicegah.
Apalagi, mereka kian intens berinteraksi. Walau bukan jenis kemesraan sungguhan, namun setiap Sanistya berakting, ia senantiasa bisa menikmati peran dimainkan wanita itu sebagai istri yang tengah mabuk kasmaran dengan suaminya.
"Prabha? Melamun lagi?"
Ucapan sang nenek menyentak kesadarannya. Ia tak sadar sudah hanyut kembali dengan pikiran sendiri untuk yang sekian kalinya.
"Maaf, Eyang."
"Pertanyaan Eyang pasti tidak kamu dengar."
"Eyang bertanya apa?" lanjut Prabha cepat.
"Seberapa besar kamu mencintai istrimu?"
Mata Prabha membeliak. Diserang kejut cukup besar karena pertanyaan sang nenek.
"Haha. Eyang bercanda, Prabha."
Demi Tuhan, ia sudah sangat tegang. Dan belum terpikirkan satu kata pun untuk menjawab. Jelas tak tahu harus bereaksi seperti apa.
Jujur atau meluncurkan dusta manis?
"Kamu pasti sangat mencintai istrimu, kan? Dia wanita yang baik. Kamu harus menjaga istrimu dengan baik. Dia tanggungjawabmu, Prabha."
"Saya pasti akan bertanggung jawab, Eyang."
"Eyang senang kamu menikahi perempuan yang tepat seperti Sanistya. Eyang pikir kamu akan terus melajang sampai usiamu senja."
Prabha pun tertawa kali ini oleh celotehan sang nenek yang lucu didengarnya. Tak diberi respons dalam bentuk kata-kata lagi. Ia seperti sudah kehabisan kalimat untuk menanggapi.
Namun akan akui lagi, alasan utama diputuskan menikahi Sanistya segera tanpa pacaran, karena sang nenek yang sudah merestui wanita itu.
Prabha percaya insting neneknya tentang selera calon istri terbaik untuknya. Ia pun tidak ragu meminang Sanistya dalam hitungan bulan.
Memang, sejauh ini mereka menikah, belum ada tanda-tanda wanita itu menyukainya. Ia pun tak mau mendesak. Akan diberi ruang bagi Sanistya untuk memahami perasaannya sendiri.
Mereka berdua juga masih perlu banyak saling beradaptasi dalam membangun sebuah rumah tangga, apalagi memiliki karakter yang berbeda.
"Eyang tadi sebenarnya bertanya dimana posisi istri kamu sekarang, Prabha."
"Sampai di mana? Masih lama tiba di sini?"
"Saya belum menelepon Sanistya, saya kurang tahu dimana posisinya sudah sampai mana."
"Harusnya kamu telepon istri kamu dan pastikan dimana dia berada sekarang."
Prabha langsung menuruti nasihat sang nenek. Ia mengambil ponsel, ingin menghubungi Sanistya. Namun kemudian, didengar ketukan pintu.
Selang beberapa detik, sosok sang istri yang jadi topik pembicaraan dengan sang nenek beberapa menit lalu, sudah muncul di hadapan mereka.
"Selamat malam, Eyang."
Sanistya menyapa dengan sikap yang ramah.
Dilihatnya pula bagaimana sang istri bergerak ke arah ranjang dalam langkah anggun, termasuk saat memeluk dan menyalimi tangan neneknya.
Walau Sanaistya sering menunjukkan sikap yang suka menantang dengannya, namun dengan sang nenek akan berbeda jauh. Ia dapat melihat rasa hormat dan ketulusan Sanistya pada neneknya.
"Eyang sejak tadi menunggu kamu, Sanis."
"Benarkah, Eyang? Maaf tadi aku singgah beli roti kesukaan Eyang, jadi agak lambat tiba di rumah Eyang dari waktu yang aku perkirakan."
"Tidak apa, Sanis."
"Hmm, Eyang mau coba roti yang aku beli?"
"Bukan tidak mau, tapi Eyang sudah kenyang makan pancake buatan Prabha."
"Pancake yang begitu enak."
Prabha sedikit kelabakan ketika pandangan dari sang istri tertuju padanya. Ia jelas tak mau saja sampai ketahuan memandangi wanita itu.
Sanistya memamerkan senyuman manis. Tentu bagian dari akting di hadapan sang nenek. Tak secara tulus ditunjukkan kepada dirinya.
"Mungkin Prabha mau makan roti."
"Mau makan roti yang aku beli nggak, Mas?"
Pertanyaan bernada lembut diloloskan Sanistya.
Dirinya lekas menanggapi dengan gelengan.
"Kalian akan menginap di sini?"
Giliran sang nenek yang mengajukan pertanyaan untuk dirinya serta Sanistya. Atensi wanita itu telah berpindah darinya ke sang nenek.
Sebelum Sanistya menjawab, ia harus lebih dulu bersuara atas apa yang ditanyakan neneknya.
"Iya, Eyang. Kami akan menginap."
Sanistya kembali dengan cepat menatap ke arah suaminya. Sebab, ia tak menerima jawaban pria itu. Sebelumnya tak ada kesepakatan seperti ini.
Prabha Winangun menatapnya dengan ekspresi datar andalan, walau mata intens ditunjukkan.
"Kita akan menginap, Mas?" Sanistya berusaha memastikan sekali lagi jawaban suaminya.
"Iya. Kita menginap di sini."
"Satu kamar?" Sanistya mengonfirmasi.
Prabha Winangun mengangguk pelan.
Astaga! Tidak! Tidak!
Mereka tak boleh satu kasur. Bisa-bisa dirinya akan kehilangan kegadisan malam ini. Ia sama sekali belum siap menyerahkan mahkota paling berharganya pada pria yang tak dicintainya.
Sekalipun Prabha Winangun adalah suaminya.
Harus dicari cara agar mereka tidak sekamar.
Benar, harus dimanfaatkan nenek sang suami.
"Eyang, eyang." Sanistya membuat suaranya semanis mungkin. Dipeluk juga sosok Santhy Winangun dengan rengkuhan yang erat.
Kepala direbahkan di bahu nenek suaminya itu.
"Kenapa, Sanis?"
"Mumpung aku lagi nginap di sini, aku boleh ya tidur sama Eyang?" pinta Sanistya masih dalam nada yang dibuat manis dan sedikit merajuk.
"Aku mau ngobrol banyak sama Eyang. Aku juga sudah lama nggak pernah tidur dengan nenek karena Oma meninggal saat aku kecil."
Nenek suaminya lalu tertawa.
Ini artinya lampu hijau kan? Ayolah, apa yang ia inginkan, harus bisa terkabulkan. Jangan sampai malam ini, berbagi kasur dengan sang suami.
"Iya, Sanis. Boleh."
"Yessss!" Sanistya berseru senang.
...................
Komennya dong shayy. Wkwk.
Kapan ya kira2 lepas segel?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top