Bagian 06
B07 -- Tiga Bulan Pernikahan
........................
"Enak banget," gumam Sanistya dengan rasa puas pasca selesai menenggak teh kesukaan.
Kerongkongan yang tadi kering, sudah kembali segar setelah menghabiskan segelas penuh.
Hari ini, cuacanya lumayan panas. Ia pun masih tetap berkeringat, walau sudah disetel AC dalam suhu tertinggi agar merasa sejuk di dapur.
Sudah pasti, Sanistya tidak berminat keluar dari rumah orangtuanya, meski melihat sang ayah bersama kakak sulungnya dan Prabha Winangun tengah begitu asyik mengobrol di teras samping.
Benar, letaknya di ruangan terbuka, dekat pula dengan halaman belakang yang cukup terik.
Sanistya jelas tidak berniat bergabung ke sana karena obrolan di antara mereka pasti berkaitan erat dengan dunia politik sertai kehidupan partai.
Prabha Winangun pun menjadi teman bicara dan diskusi baru sang ayah, selain saudara laki-laki sulungnya, Sapta Priga Ayodya.
Satu minggu sekali, tepatnya saat Sabtu, dirinya pasti diundang makan malam oleh orangtuanya. Sudah tentu Prabha Winangun wajib diajak.
Weekend kali ini pun diadakan lagi acaranya.
"Sanisss!"
Seruan kencang sang ibu, spontan saja membuat Sanistya bergerak ke bagian dapur yang lain, tempat dimana ibundanya tengah berada.
Dalam hitungan kurang dari sepuluh detik, ia pun sudah berdiri tepat di depan sang ibu.
"Kenapa, Mama?" tanya Sanistya enteng, tentu dengan senyuman permakluman.
Berbeda akan ibundanya yang tengah tampak geram, terlihat jelas dari kedua alis meninggi dan juga kening kian berkerut. Mata mendelik.
Astaga, ia pasti akan kena marah.
"Aku buat kesalahan apa, Mama?" Sanistya pun melontarkan pertanyaan lebih spesifik.
Tentu setelah tahu kekeliruan yang dilakukan, ia akan meminta maaf secara tulus segera supaya tak mendengar omelan panjang ibunya.
Kedua telinganya tidak akan cukup kuat untuk menampung semua ocehan jengkel sang ibu.
"Mama tadi menyuruh kamu ngapain?"
Sanistya langsung berpikir. Ia mulai mengingat kegiatan terakhir yang dilakukan di dapur dan sesuai akan apa diperintahkan sang ibu.
Tentu, Sanistya belum lupa. Baru sekitar sepuluh menit yang lalu selesai dikerjakannya.
"Motong-motong sayur, Ma."
"Sayurnya akan Mama buat apa Sayang?"
"Sup sayur, Ma."
"Kenapa wortelnya jadi dipotong besar-besar dan tebal-tebal, Sanis? Bisa tidak matang di dalam sup nanti, Nak. Kamu ini!"
"Hehehehe." Sanistya tertawa cengengesan.
"Maaf, Mamaku Sayang."
"Ulangi lagi motongnya, Nak."
"Lebih kecil dan tipis. Mengerti, Sanis?"
Sanistya lekas mengangguk-angguk seraya juga menampakkan sikap hormat dengan tangannya.
Tentu tidak langsung dapat membuat pelototan sang ibu mereda, namun minimal ia tetap bisa menunjukkan semacam candaan ke orangtuanya.
"Cepat potong, Nak. Mama mau buat sup."
"Oke, Mamaku, Oke," jawab Sanistya santai.
"Sampai salah motong lagi, Mama akan suruh kamu ikut kelas memasak, Sanis."
"Ih, nggak mau, Ma. Aku nggak suka masak."
Saat sang ibu hendak menjitak kepalanya, ia pun melangkah mundur untuk menghindar. Jelas tak mau sampai kena. Rasanya pasti akan sakit.
Namun, kakinya terlalu cepat bergerak hingga kehilangan keseimbangan. Sudah pasti ia akan terjatuh ke lantai dengan keras, andai saja tidak ada tangan kokoh Prabha Winangun menolong.
Ya, sang suami memang benar-benar membantu dirinya. Entah bagaimana bisa pria itu berada di belakangnya karena sebelumnya kosong.
Prabha sendiri sedang mengobrol dengan ayah dan juga sang kakak sulung di teras samping. Ia yakin beberapa menit lalu masih melihat pria itu duduk di kursi bersama saudara laki-lakinya.
"Hati-hati, Sanis."
Sanistya langsung tersadar jika ia sudah lumayan lama memandang sosok Prabha Winangun yang tak melepaskan pegangan dari kedua lengannya.
Dan ucapan bernada lembut pria itu, tentu dapat akhirnya mengembalikan fokusnya kembali.
Sanistya berusaha melepaskan dirinya, tapi tidak mudah karena Prabha Winangun masih amatlah kuat memeganginya. Apa maksud pria itu?
Sanistya ingin marah, namun karena sang ibunda tersayang sedang melihat mereka dalam posisi yang dekat, maka sikapnya harus dijaga. Tidak boleh tampak jengkel pada sang suami.
Justru harus memamerkan sejenis pertunjukkan kemesraan sebagai pasangan pengantin dimabuk cinta, pasca tiga bulan menikah, bukan?
Dan ketika Prabha Winangun sudah melepaskan pegangan pada lengan-lengannya, ia pun balik merengkuh pria itu. Ditempatkan pula salah satu tangan pada wajah menawan Prabha Winangun.
Dibelai-belai dalam gerakan jari-jari yang halus.
"Makasih, yah, udah nolong aku, Sayang."
"Kalau kamu nggak ada, mungkin pantatku akan mendarat di ubin dan rasanya pasti sakit banget."
Reaksi sang suami? Diam membisu dengan raut yang tampak lebih mengeras dari yang tadi.
Apakah Prabha Winangun tengah tegang akan keintiman yang dirinya lakukan ke pria itu?
Bagaimana jika dirayu lebih banyak lagi? Ia jadi penasaran akan bagaimana respons sang suami.
"Makasih sekali lagi, Sayang." Sanistya berucap dalam nada mesra sembari menyeringai.
Cup!
Kecupan amat singkat didaratkan pada pipi kiri sang suami, upayanya mengetes respons Prabha Winangun. Apakah akan semakin kaget?
Sayang, ekspresi wajah pria itu tetap datar.
Belum ada reaksi apa pun dari sang suami.
Sebegitu terkejutkah?
Prabha Winangun, hampir setiap pagi mencium keningnya sebelum bekerja. Apa pria itu pikir ia tak diserang kekagetan? Apalagi dilakukan tanpa ada permintaan izin lebih dulu dengannya.
Namun memang begitulah Prabha Winangun.
Malahan, gelakan tawa diloloskan sang ibu yang tentu menyaksikan aksinya. Ia pun berniat untuk mengguyoni orangtuanya, namun sang ibunda sudah bergegas meninggalkan dapur.
Hanya menyisakan dirinya dan Praba Winangun.
Tentu saja, drama kemesraan palsu harus dirinya akhiri karena sang ibu sudah pergi. Ia pun lekas melepaskan rangkulan pada Prabha Winangun.
Lekas dijalankan kaki ke sisi dapur lainnya, ia harus menuntaskan tugas memotong sayur yang disuruh oleh sang ibu, sebelum dimarahi lagi.
"Eh?" Sanistya yang kali tertegun, saat tersadar jika jemarinya teriris pisau pemotong.
Tentu darah segar cukup banyak keluar.
Sanistya sudah pasti akan membersihkan dengan air, namun Prabha Winangun sudah lebih sigap mengarahkan dirinya ke wastafel cuci piring.
Pria itu pun membasuh goresan lukanya lewat air kran yang mengalir. Rasa perih bertambah.
Entah dari mana datang sebuah plester, benda tersebut pun sudah membalut luka di jarinya.
"Sakit?"
Satu patah kata terluncur dari mulut sang suami.
"Lumayan."
"Makasih, Mas," ujar Sanistya lantas.
Hanya dibalas dengan dehaman pelan.
Tak ada pertanyaan lagi dari Prabha Winangun.
Namun, seluruh atensi dipusatkan pria itu ke netranya. Tatapan intens yang membuatnya jadi memikirkan berbagai hal soal suami dinginnya.
Lantas, Prabha Winangun mendekatkan wajah. Ia jelas semakin bingung apa yang hendak pria itu lakukan. Tak mampu untuk diprediksi.
"Hapus, Sayang."
Jenis kalimat singkat yang bernada perintah.
"Hapus apa?" Sanistya memutuskan bertanya.
"Hapus bekas lipstick kamu."
Prabha Winangun menunjuk ke arah pipi yang tadi didaratkan kecupan kilatnya.
Sanistya pun berusaha mencerna situasi untuk meraih kesimpulan sesuai akan apa dipikirkann.
"Hapus, Sanis."
"Ngapain dihapus?" Sanistya memancing.
"Pak Ketum bisa lihat."
"Hapus sekarang."
Kalimat perintah lagi dari Prabha Winangun.
Sanistya akan menurut? Jelas saja tidak. Ia justru akan menunjukkan reaksi yang berlawanan.
Terlintas ide jahil di benaknya.
"Aku tidak mau hapus." Sanistya bicara santai yang disertai dengan seringaian khasnya.
Cup!
Cup!
Ciuman beruntun didaratkan Sanistya pada pipi sang suami yang belum dicap dengan gincu.
Dikira Prabha Winangun akan diam saja, namun ia malah menerima tarikan pada bagian tengkuk hingga bibir merekaberdua bertemu.
Pria itu mencumbunya!
Pertama kali, setelah tiga bulan hidup seatap!
Memang sekadar menempel, berlangsung amat singkat pula, namun sukses menyebabkannya tak bisa melakukan apa pun, sekujur tubuh kaku.
"Jangan membangunkan macan yang tidur."
"Sangat berbahaya, Sanistya."
Ditengah ketegangan yang belum usai, Sanistya tak melawan ketika tangannya diarahkan Prabha Winangun ke pipi pria itu guna menghapus jejak lipstick yang dirinya tinggalkan di sana.
...................
yok bisa yok komen.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top