Bagian 05
B5 ~ Satu Bulan Pernikahan
Saat sampai di anak tangga terakhir, aroma kopi langsung menyeruak ke hidung Sanistya.
Berasal dari dapur.
Tentu menandakan jika Prabha Winangun sudah bangun dan menyiapkan sarapan untuk mereka.
Sesuai kesepakatan bersama, ia dan pria itu akan bergantian setiap seminggu sekali menyiapkan sarapan, minimal ada kopi dan roti di atas meja.
Mengapa tidak mempekerjakan asisten rumah tangga saja agar ada yang memasak?
Dirinya dan Prabha Winangun sama-sama tak suka ada orang lain menetap di apartemen. Jadi, diputuskan menyewa asisten paruh waktu saja.
Mereka biasanya akan datang siang hari. Dan hanya butuh beberapa jam untuk bersih-bersih.
"Dia masak apa?" gumam Sanistya kala hidung kembali mencium bau harum makanan.
Apakah kira-kira menu sarapan dibuat pria itu?
Breakfast ala Amerika lagi? Baiklah, ia harus ke dapur guna melihat apa dibuat pria itu.
Langkah kaki dipercepat agar sampai di dapur.
Saat sampai di tempat tujuan, tak ditemukannya sosok Prabha Winangun. Namun meja minimalis yang biasa mereka gunakan makan, sudah rapi tertata dengan beberapa piring berisi sarapan.
Ham ayam, roti panggang, dan salad sayur akan menjadi menu utama pagi ini untuk mereka. Termasuk juga gelas-gelas berisi kopi yang mengepul. Aromanya semakin kuat.
Sanistya langsung duduk pada salah satu kursi, tidak sabar merasakan lezatnya cairan kopi di mulut. Ia pasti akan menyukainya.
Dan benar saja, sungguh enak rasanya.
Sanistya ingin menyentuh sarapan juga, namun alangkah lebih baik ditunggu Prabha Winangun dulu agar bisa mereka makan bersama.
Handphone pun diraih guna mengisi waktu.
Awalnya ingin melihat pesan saja, tapi kalender pengingat tiba-tiba membuka. Dan menunjukkan tanggal hari ini yang belum dilingkari.
"Tanggal empat."
"Satu bulan anniversary pernikahan."
Mata Sanistya lebih membulat, setelah sadar jika ia sudah berbagi tempat tinggal bersama Prabha Winangun selama tiga puluh hari.
Rasanya baru sebentar dirinya pindah.
Perjalanan waktu dari hari ke hari cukup cepat ternyata. Apa mungkin karena jadwalnya padat?
Selama beberapa minggu terakhir ini, bahkan sampai kemarin, kesibukannya mengurus bisnis perhiasan memang sedang berada dalam level yang tertinggi. Pesanan sangat banyak.
Klien berasal dari istri politisi-politisi kondang negeri dan juga kolega-kolega bisnis sang ayah.
Mereka akan meminta sesi secara khusus untuk bertemu dengan dirinya. Dan dalam perjumpaan langsung tersebut, tak hanya membahas model perhiasan seperti apa yang ingin dipesan.
Namun juga, muncul topik lain, terkhusus soal kehidupan pernikahannya dan Prabha Winangun.
Tentu diawali dulu lewat kalimat-kalimat pujian tentang keserasian serta kecocokan dirinya dan pria itu sebagai pasangan suami-istri.
Baru kemudian, para istri politikus-politikus elit tersebut mengajukan sederet pertanyaan yang sifatn pribadi, cenderung menggali privasi.
Di antaranya diingat adalah .....
Bulan madu, kalian pergi ke mana saja?
Jelas tidak kemana-mana karena mereka belum pernah merancang pergi berbulan madu.
Bagaimana Pak Prabha sebagai suami? Apakah sosok yang romantis dan suka beri kejutan?
Biasa-biasa saja menurutnya. Malah cenderung dingin dengan ekspresi wajar datar sok cool.
Romantis? Jelas tidak. Memberi kejutan? Juga tidak pernah dilakukan Prabha Winangun.
Para istri politikus itu sungguh berpikir karakter suaminya seperti pangeran di dalam dongeng yang hangat, penyayang, dan bucin?
Astaga, realitanya sangat jauh.
Apakah Pak Prabha loyal? Berapa uang bulanan yang beliau berikan pada Bu Sanis?
Pertanyaan tersebut diajukan salah satu istri dari kolega bisnis ayahnya, keluarga old money.
Uang bulanan lumayan nominalnya. Tiga digit. Dan itu sudah tercatat dalam perjanjian pranikah yang mereka berdua sepakati.
Apa Bu Sanistya sudah hamil?
"Hamil? Aku mana mungkin hamil."
"Hamil?"
Sanistya kaget sendiri menyadari kehadiran dari Prabha Winangun di belakangnya. Pria itu lalu menempatkan diri di sebelahnya, persis pada kursi kosong yang biasa dipakainya.
"Siapa hamil?"
Pertanyaan kembali dilontarkan sang suami.
"Bukan aku." Sanistya menjawab, kali ini.
Namun. Prabha Winangun seperti tidak cukup puas mendengarkan tanggapan darinya.
"Pernah merasa meniduriku, Pak Prabh?"
"Tidak."
"Nah, bukan aku yang hamil." Sanistya berikan penegasan kembali atas jawabannya tadi.
Dan tidak ada tanggapan dari Prabha Winangun, pria itu sudah fokus menyeruput kopi dan makan roti yang dibuat. Obrolan mereka terputus.
Saat sarapan bersama, baik dirinya dan Prabha Winangun jarang menciptakan percakapan yang panjang. Akan sama-sama fokus makan.
Setelah itu pergi ke kantor masing-masing. Dan baru akan berjumpa lagi saat malam hari.
Kebiasaan yang membosankan? Hmm, lumayan tak menantang bagi Sanistya sejauh ini.
Tiga puluh hari tinggal bersama, bukan seperti pasangan pengantin baru yang dimabuk cinta.
Mungkin hanya terasa sebagai dua orang yang berbagi apartemen, kamar ditempati juga beda.
"Ada yang membuat kamu kesal?"
Pertanyaan diajukan Prabha Winangun.
Tidak salah didengar bukan? Apa pria itu tengah menunjukkan sejenis perhatian padanya hingga menanyakan bagaimana kondisinya?
Wah, apa motivasi sang suami? Ia jadi curiga.
"Apa ada pihak-pihak di luar sana bertanya soal kehamilan pada kamu, Sanis?"
Dirinya dituntut jawaban segera.
"Beberapa klien."
"Istri-istri politisi." Sanistya memperjelas.
"Siapa saja mereka? Kirim nama-nama mereka."
"Untuk apa?" Sanistya tak paham kenapa Prabha Winangun ingin tahu para istri politikus tersebut.
"Saya tidak ingin kamu diganggu."
"Jangan biarkan kamu diinterupsi oleh mereka."
"Berikan nama-namanya pada saya."
"Untuk apa?" Sanistya bertanya kembali. Tentu harus mendapatkan penjelasan yang lengkap.
"Saya akan memberi tahu para politisi itu."
Sanistya diam. Bingung saja melihat sikap sang suami yang menjadi begitu tampak serius. Apa ini cara Prabha Winangun melindunginya?
Wah, cukup mengesankan juga."
"Oke, nanti aku kirim ke nomor Pak Prabh."
Sang suami hanya berdeham pelan.
Lanjut memakan sarapan yang belum habis. Dan sudah pasti percakapan mereka akan berakhir.
"Sanis ...,"
Prabha Winangun memanggilnya lagi.
Apakah gerangan yang menyebabkan?
Sebagai balasan, hanyalah diloloskan dehaman seperti yang ditunjukkan pria itu tadi.
"Kamu benar sedang tidak hamil?"
"Berniat untuk bikin aku hamil, Pak Prabh?"
Ide jahil tiba-tiba saja muncul di kepala. Dan ia pun tak ragu meluncurkan pertanyaannya untuk Prabha Winangun, dengan amat lancar tentunya.
Reaksi pria itu? Mata sedikit tampak membeliak.
Dan tidak ada jawaban diluncurkan
"Berniat nggak, Pak Prabh?"
"Belum."
"Belum? Sampai kapan?" Sanistya masih ingin memancing, sehingga diperpanjang topik ini.
"Sampai kamu bisa mencintai saya."
"Ohhh!" Sanistya meluncurkan seruan kencang dengan senyuman yang memamerkan ejekan.
"Tapi, kalau kamu ingin segera punya anak, saya akan membuat kamu hamil."
Tepat setelah pria itu menyelesaikan ucapan, ia pun merasakan pinggangnya dirangkul.
Tak dapat mengelak karena jarak mereka cukup dekat. Prabha merengkuhnya juga dengan erat.
Wajah pria itu condong padanya.
"Malam ini?"
Prabha Winangun berbisik di telinganya.
"Malam ini? Ngapain, Pak Prabh?"
"Membuat kamu hamil, Sanis."
Sanistya langsung membelalakan kedua matanya selepas mendengar jawaban sang suami.
Prabha Winangun menyeringai padanya.
Dan belum sempat diluncurkan balasan, pria itu sudah mengecup keningnya. Singkat saja.
"Saya ke kantor sekarang."
Tangan kanannya diraih untuk melakukan salim.
Prabha Winangun lantas bangun dari kursi. Dan ia masih mematung karena tindakan pria itu.
Sanistya pun berpikir jika sang suami akan benar-benar berjalan menjauh, namun Prabha Winangun malah mendekatkan wajah lagi.
"Saya akan membuat kamu hamil, setelah kamu mengakui kamu mencintai saya, Sanis."
..................
mana nih komennya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top