Bagian 04
B4 ~ Hari Pernikahan
.................
"Mereka sungguh pasangan serasi."
"Selamat Pak Prabha dan Bu Sanistya."
"Semoga saling berbahagia."
"Kalian pasangan yang sempurna."
"Romantis sekali pernikahan ini."
Ucapan-ucapan para undangan yang hadir dalam prosesi upacara pernikahannya dan juga Prabha Winangun, dapat didengar jelas tentu saja.
Dirinya berjalan anggun menggunakan kebaya sembari mengapit pria itu di antara para tamu. Sudah pasti apa yang mereka bicarakan mampu tertangkap oleh kedua telinganya.
Sebagian besar mengelu-elukan dirinya dan juga Prabha Winangun dengan jenis kalimat-kalimat penuh pujian. Mereka seperti sangat senang.
Sanistya jadi bertanya-tanya di dalam kepalanya, apakah benar ia dan Prabha Winangun tampak serasi sebagai pasangan? Padahal mereka tidak memamerkan kemesraan apa pun.
Ya, selama prosesi upacara berlangsung, dirinya dan pria itu malah sama-sama tegang mengikuti rangkaian acara yang dipimpin pendeta.
Suasana terasa sangat sakral. Ia pun melihat ibu dan ayahnya memanjatkan beberapa doa selama prosesi upacara. Orangtuanya juga tampak jelas semringah. Mereka bahagia karena ia menikah.
Walau masih merasa berat mengikat janji suci dengan Prabha Winangun, namun dirinya tidak akan tega merusak antusiasme ayah dan sang ibu menyambut pelepasan masa lajangnya ini.
Termasuk juga orangtua Prabha Winangun yang bersemangat mendukung pria itu cepat menikah. Jadi, ia tidak ingin merusak angan mereka.
"Bisa naik?"
Pertanyaan berasal dari Prabha Winangun.
Pria itu tentu perlu mengonfimasi apakah dengan pakaian kebaya ketat dan sanggul cukup tinggi berisi hiasan bunga emas, tak akan menghalangi Sanistya masuk ke dalam mobil pengantin.
"Ya."
"Benar?" Prabha memastikan sekali lagi.
"Kalau saya tidak bisa naik? Mau dibantu?"
"Saya bantu kamu."
Sanistya langsung menerima bukti dari Prabha dalam membantunya. Pria itu bergerak amatlah cekatan tanpa hambatan menolongnya duduk di jok mobil, walau memakai setelan safari Bali.
Lalu, Prabha Winangun menempatkan diri tepat di sebelahnya, tentu ia menjauh sedikit supaya tak terlalu dekat dengan pria itu.
Namun, pinggangnya diraih oleh sang politisi. Mendapatkan jenis rangkulan yang erat pada pinggang sehingga melepaskan diri sulit.
Saat ingin diluncurkan kalimat menyuruh Prabha Winangun berhenti merangkul, pria itu malahan meraih salah satu tangannya. Digenggam seraya dilambai-lambaikan ke luar jendela mobil.
Prabha Winangun melakukan hal yang sama.
Mereka harus menunjukkan keserasian sebagai pasangan pengantin baru yang saling mencintai. Ia dan Prabha Winangun sudah melatihnya sejak satu minggu lalu. Mulai dari cara paling mesra untuk berpegangan tangan hingga berpelukan.
Riuh para undangan belum usai melihat aksi mesranya dan Prabha Winangun. Mereka tidak bosan menunjukkan antusiasme dukungan untuk dirinya dan juga Prabha Winangun.
Untung saja, sebentar lagi mereka berdua akan meninggalkan tempat prosesi pernikahan karena acara memang sudah selesai dilaksanakan.
Hari ini murni upacara keagamaan saja. Tak ada resepsi mengundang para kolega bisnis. Baru akan dilakukan dua minggu di Jakarta.
"Selamat menikmati malam pengantin."
"Semoga cepat jadi bayinya."
"Selamat berbulan madu."
Beberapa seruan dari tamu di luar sana, masih sempat terdengar oleh telinga Sanistya, tepatnya sesaat sebelum kaca jendela mobil ditutup.
Kendaraan mereka pun mulai bergerak pergi dari gedung pernikahan menuju ke vila milik Prabha Winangun, masih di bagian Bali Selatan.
Kalimat-kalimat para tamu tergiang-giang lagi pada kedua indera pendengarannya. Lantas dapat menciptakan semacam perasaan yang aneh.
Membuatnya bergidik pula.
Membuat anak?
Malam pengantin?
Berbulan madu?
Semakin dipikirkan, ia pun kian merinding.
Bagaimana dengan Prabha Winangun? Apakah semua celotehan para undangan memengaruhi pria itu? Sepertinya tidak sama sekali.
Prabha Winangun tetap memasang peringai yang tenang dan ekspresi biasa-biasa saja. Jadi, tidak seharusnya ia berpikiran pria itu akan terbebani oleh celotehan para tamu untuk mereka.
"Kenapa?"
Prabha Winangun bertanya padanya. Pria itu tentunya akan peka dengan tatapan intens yang dirinya tunjukkan. Mereka lalu saling bersitatap.
"Kenapa?"
Sepertinya Prabha Winangun tidak cukup sabar untuk mendengar jawaban darinya. Ia tiba-tiba saja terpikirkan sebuah ide jahil.
Lumayan juga dalam upaya mengetes pria itu.
"Tidak boleh memandang suamiku sendiri?"
"Boleh."
"Boleh lama-lama natapnya, Pak Prabha?"
"Boleh."
"Tidak akan bertanya 'kenapa' lagi kayak tadi?"
"Tidak."
Jawaban-jawaban amat singkat dengan ekspresi datar, sudah jadi andalan dari Prabha Winangun.
Dilarang keras berharap yang terlalu bagaimana akan tanggapan pria dingin itu. Sia-sia saja.
Namun, ia belum merasa puas menciptakan sesi mengobrol dengan suami barunya itu. Kekesalan dirasakan, harus dilampiaskan agar lebih lega.
Dan ketika ingin bicara, Prabha Winangun justru juga membuka mulut. Ingin mengatakan sesuatu padanya? Momen yang langka. Ia menanti.
Lantas, dipersilakannya pria itu untuk berbicara dengan gerakan bola matanya.
"Kita sekamar atau tidak?"
Oh!
Prabha Winangun ingin mengonfirmasi apakah mereka akan tidur bersama malam ini?
Dasar pria! Tentu saja akan meminta kepastian tentang jatah bukan? Cinta atau tidak, kebutuhan biologis harus tetap dipenuhi.
Akan dituruti keinginan dari Prabha Winangun? Sudah jelas tidak mau dikorbankan kegadisan.
Tanpa cinta, seks juga tak akan ada.
"Pak Prabha bisa tidur dengan kamar terang?"
"Tidak."
"Berarti kita pisah kamar, Pak Prabh."
"Saya phobia tidur dengan kamar gelap. Saya harus hidupkan lampu sepanjang malam."
"Oke."
"Bisa tahan tidak menyentuh istri?" Sanistya pun masih ingin menguji Prabha Winangun.
"Siapa yang ingin menyentuh kamu, Sanis?"
Mata Sanistya langsung membelalak.
"Bukannya tadi Pak Prabha nanya kita akan satu kamar atau tidak, karena mau ngajak bercinta?"
"Tidak."
"Kenapa tidak?" Sanistya penasaran sendiri.
"Pak Prabha nggak doyan cewek, ya?" Sanistya bicara dengan tak lebih formal. Ia pun langsung melontarkan kesimpulan yang dibuat.
Masih ada satu pertanyaan hendak diluncurkan, namun tertunda karena Prabha Winangun yang tiba-tiba saja mendekatkan wajah padanya.
Jarak mereka berdua pun hanya sejengkal.
"Sudah baca perjanjian pranikah dari saya?"
"Belum, Pak Prabh." Sanistya lekas menjawab dengan lancar, walau sedang merasa gugup.
"Baca lagi, Sanis."
"Setelah kamu paham, kamu akan tahu."
"Malas baca." Sanistya menyahut enteng.
"Kalau nggak mau ngajak saya bobok bareng juga saya nggak masalah, Pak Prabh."
"Saya senang masih perawan," imbuh Sanistya.
Prabha Winangun tertawa.
Seperkian detik saja, tapi membuatnya menjadi merinding menyaksikan pria itu.
"Setelah cinta."
Prabha Winangun menatap lebih serius Sanistya yang menampakkan ekspresi kebingungan. Dan ia tak berniat menjelaskan secara keseluruhan.
"Pak Prab pasti sudah tidak perjaka, ya?"
"Masih."
Giliran Sanistya mengeluarkan tawa sarat akan ejekan. Jelas disengaja sebagai tanggapan yang dilontarkan Prabha Winangun dengan serius.
"Kamu mau mengetes saya, Sanis?"
"Ayo, kalau Pak Prabh nantang."
"Tidak."
"Tidak apa nih, Pak Prabha?" Sanistya gagal paham akan jawaban singkat Prabha Winangun.
"Tidak akan menyentuh kamu, Sanis."
"Tadi nantang, sekarang bilang tidak." Sanistya menyindir dengan terang-terangan.
"Perjanjian pranikah nomor empat."
Kepala lantas digeleng-gelengkan.
"Mohon maaf, Pak Prabha. Saya nggak tahu apa isi perjanjian pranikah nomor empat itu ya-"
"Saya tidak akan memaksa Sanistya Ayodya untuk melaksanakan tugas seorang istri, andai Sanistya tidak mengakui mencintai saya."
"Isi perjanjian pranikah nomor empat."
Pengungkapan Prabha Winangun sukses dalam melebarkan kedua bola mata Sanistya. Ia kian membeliak saat pria itu menyeringai.
Tak salah dilihatnya bukan?
Lantas, keterkejutan menyerang karena pria itu menciptakan rangkulan di bahunya.
"Saya menunggu kamu mengatakan love my husband pada saya, Sanis. Kapan saja bisa."
Sanistya mematung. Diam seribu bahasa. Masih tertegun akan kata-kata Prabha Winangun.
Sekali bicara banyak, pria itu mengagetkannya.
.................
Mana nih komennya? Ramein dong, ntar up tiap hari deh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top