Bagian 03


Yok vote sebelum baca.

...............

B3 ~ H-30 Hari Pernikahan

"Pak Prabha, saya minta maaf ...."

Dehaman dikeluarkan Sanistya manakala merasa kerongkongan sedikit serak. Tentu akan dapat mengganggu upayanya bicara dengan lancar.

Setelah beberapa kali berdeham, Sanistya sudah siap kembali meluncurkan kata-katanya. Ia harus meloloskan semua dari mulut dalam nada kalem nan ketus yang sudah direncanakan.

"Pak Prabha, saya minta maaf karena saya tidak bisa menikah dengan Anda." Sanistya pun tanpa halangan melontarkan susunan-susunan katanya.

Intonasi suara sangat dijaga.

"Saya tidak benar-benar menyukai Anda. Saya hanya berbohong pada papa saya supaya saya tidak ditanyakan mengenai siapa pacar saya."

"Saya tidak suka Pak Prabha. Jadi, saya pikir kita batalkan saja pernikahan kita."

Setelah seluruh kalimatnya terluncur, Sanistya pun menghela napas panjang. Timbul semacam rasa tegang karena mengatakan maksudnya.

Walaupun baru sekadar latihan dan belum secara langsung diutarakan pada Prabha Winangun, tapi sudah sukeses dalam menciptakan rasa tegang yang lumayan besar pada dirinya.

Apa mungkin karena bahasan ini terlalu serius baginya? Tentu saja penolakan menikah adalah rencana tak main-main baginya sendiri.

"Ada kalimat yang aku lewatkan?"

Segera dicek catatannya di ponsel. Ia siapkan sekitar empat kalimat. Dan tentu sudah dihafal sejak kemarin agar tanpa hambatan dikatakan nanti di hadapan Prabha Winangun.

Namun, karena otaknya sedang krodit, tentu saja ada kemungkinan salah dalam mengingat.

Setiap kalimat dibaca dengan saksama. Sudah pasti sambil dihafalkan kembali. Walaupun tadi tidak ada salah satu pun saat dilontarkannya.

Tepat setelah mengakhiri pelafalan kalimat yang terakhir tanpa suara, didengarnya ketukan pada pintu ruangan VIP restoran.

Tentu artinya Prabha Winangun sudah datang.

Cklek.

Walaupun pintu dibuka dengan amat pelan, tetap bisa tertangkap oleh kedua telinganya.emu

Lalu, derap langkah kaki pria itu juga masuk ke indera pendengarannya. Semakin dekat artinya Prabha Winangun menuju ke meja, dimana ia tengah berada. Ketegangannya tambah besar.

"Maaf, saya terlambat."

Sanistya mengangguk pelan, tak menanggapi.

Namun ekor matanya jelas memerhatikan sosok Prabha Winangun yang sudah duduk pada kursi kosong yang terletak di seberang meja.

"Kenapa kamu ingin bertemu saya?"

Pertanyaan amat to the point terlolos dari mulut politisi muda itu, tentu dalam nada yang datar.

Sanistya mulai diserang perasaan jengkel. Sikap Prabha Winangun tak ada manis-manisnya.

"Ada apa, Sanistya?"

Dirinya diajukan kembali pertanyaan. Dan tentu ia akan segera berbicara guna menanggapi.

"Bisa tidak Anda bertanya kabar saya dulu? Kita tidak bertatap muka empat minggu, Pak Prabha."

Ya, mereka terakhir berjumpa sebulan lalu, saat acara pertemuan di antara keluarga Winangun dengan kedua orangtuanya, membahas rencana pernikahan mereka berdua, tentu saja.

Sudah berada di tahapan yang serius. Dan hari untuk melangsungkan upacara telah ditetapkan.

Awalnya, Sanistya merasa tak apa-apa menikah dengan Prabha Winangun yang memiliki citra amat bagus di mata nasional. Bahkan hubungan mereka telah diketahui publik dan diberitakan.

Namun selama beberapa hari belakangan ini, ia meditasi dan berpikir lebih jernih, rasanya untuk terikat janji suci dengan Prabha Winangun.

Apalagi, tidak dicintai pria itu.

"Bagaimana kabarmu, Sanistya?"

"Kabar saya? Agak tidak bagus, nih, Pak Prab."

"Pak Prabha tahu kenapa? Karena saya rindu dengan Pak Prabha, tapi Pak Prabha tidak pernah mengajak saya bertemu atau makan malam."

Sanistya mendadak memiliki ide untuk mengetes Prabha Winangun dengan jawabannya. Ia ingin tahu bagaimana reaksi pria itu. Terutama mimik wajah dari sang politisi. Apa akan berubah?

Oh, ternyata tidak.

Raut yang diperlihatkan tetap datar. Hanya saja sorot mata pria itu menjadi lebih fokus padanya.

Dan kemudian, Sanistya menyesal karena telah melontarkan semacam dusta yang justru tak akan membuat posisinya lebih nyaman.

Terlebih, ia merencanakan semacam pengakuan jujur pada Prabha Winangun tentang tidak cinta dirinya terhadap politisi muda itu.

"Jika kamu merindukan saya, kamu bisa telepon atau mengirimi saya pesan, Sanistya."

"Saya tidak tahu jika kamu tidak bilang."

Astaga! Kenapa bisa mulut Prabha Winangun lancar sekali meluncurkan kalimat perintah?

Sepertinya, ia sungguh harus merealisasikan apa yang telah direncanakan. Mumpung masih ada waktu sebulan untuk membatalkan pernikahan.

Sebelum terlambat baginya terikat dalam ikatan rumah tangga dengan pria dingin macam Prabha Winangun. Bukan suami impiannya.

"Pak Prabha yang Terhormat ..." Sanistya pun bicara formal dengan mimik lebih serius.

"Saya ingin mengakui sebuah dosa."

Ditunggunya respons sang politisi dari segi raut wajah dan juga kata-kata, tapi setelah beberapa saat dinanti, tidak ada reaksi apa-apa.

Tetap datar-datar saja. Mulut juga tertutup rapat.

Sulit mengajak manusia minim ekspresi untuk berinteraksi. Jadi, jangan berharap banyak.

"Saya akan mengakui dosa saya." Sanistya pun memasang huruf V dengan kedua jemarinya.

"Saya berbohong pada Papa kalau saya suka Pak Prabha saat ditanyai siapa yang saya sukai."

"Saya juga minta Papa mendekati Pak Prabha dengan tujuan menantang Papa. Saya yakin Papa saya tidak bisa membujuk Pak Prabha."

"Tapi, Papa saya berhasil. Pak Prabha pun mau menikahi saya." Sanistya bicara amat lancar.

"Pak Prabha, saya minta maaf karena saya tidak bisa menikah dengan Anda."

"Saya tidak benar-benar menyukai Anda. Saya hanya berbohong pada papa saya supaya saya tidak ditanyakan mengenai siapa pacar saya."

"Saya tidak suka Pak Prabha. Jadi, saya pikir kita batalkan saja pernikahan kita."

Sanistya menghela napas panjang, manakala ia berhasil meluncurkan semua kalimat yang telah disusun dengan amat rapi di dalam kepalanya.

Keheningan terjadi di antara mereka lantas.

Sanistya masih memusatkan seluruh atensi pada Prabha Winangun. Lagi-lagi berusaha melihat perubahan ekspresi sang politisi.

Sayang, tak ada pergantian mimik di wajah pria itu yang tajam. Apa tidak kaget akan pengakuan dirinya? Astaga, Prabha Winangun benar-benar!

"Bukan masalah."

Setelah beberapa menit diserang kesenyapan, akhirnya si pengusaha kaya bicara juga.

"Bukan masalah gimana, Pak Prabha?" Sanistya tentu langsung memberikan tanggapan.

"Bukan masalah kamu tidak menyukai saya."

"Pernikahan kita tidak akan batal, Sanistya."

"Kenapa tidak batal? Emang bisa menikah tanpa cinta? Pernikahan kita bisa hambar dan me-"

"Saya tidak mau mengecewakan orangtua saya."

"Pak Ketum juga tidak ingin saya kecewakan."

"Untuk kamu sendiri, apakah kamu akan tega mengecewakan orangtua kamu, Sanistya?"

Pertanyaan Prabha Winangun langsung menohok ke otak dan juga hatinya. Kesadaran akan sikap egoisnya yang ingin membatalkan pernikahan, seketika menghantam. Ucapan pria itu benar.

Sanistya pun diam. Ngeri sendiri menyaksikan ketegasan Prabha Winangun bicara dengan rauh wajah menampakkan ekspresi yang sama.

"Kita akan tetap menikah, Sanistya."

"Jika kamu tidak menyukai saya, biarkan saya saja yang mencintai kamu setelah kita menikah."

"Kamu bisa mengandalkan saya sebagai suami."

"Bisa jujur sebagai suami?" Sanistya langsung saja menembak dengan pertanyaan blak-blakan.

"Bisa."

"Akan selalu bertanggung jawab pada istri?"

"Itu pasti."

"Bisa setia?" Sanistya menguji kembali.

"Bisa."

"Tidak akan selingkuh?"

"Tidak."

"Bisa romantis?" Sanistya lebih menantang.

Kali ini, Prabha Winangun terdiam. Seakan-akan pertanyaannya tidak diduga oleh pria itu.

Sanistya tersenyum mengejek. Salah satu sudut bibir dinaikkan saat menatap Prabha Winangun.

"Mau punya suami romantis, gimana, Pak?"

Sanistya masih coba tuk memancing. Penasaran akan tanggapan diberikan oleh sang politisi.

"Tulis apa pun yang kamu inginkan dari saya di surat pranikah kita, Sanistya."

"Saya akan memenuhinya, satu per satu."

...............

Gimana? Mana komennya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top