Bagian 02
B2 ~ Prabha Winangun
...............
"Selamat malam, Nona Sanis."
"Malam, Bibi Mayang." Sanistya menyapa balik kepala asisten rumah tangga orangtuanya dengan keramahtamahan seperti biasa.
Walau sebenarnya ia sedang cukup gugup.
Bagaimana tidak tegang jika sang ayah meminta dirinya pulang tiba-tiba malam ini?
Telepon diterimanya empat jam lalu, saat itu ia masih rapat dengan para karyawan membahas rancangan perhiasan baru untuk bisnisnya.
Jadi, ketika sang ayah menghubungi, hanya bisa disanggupi permintaan orangtuanya, tanpa ada pertanyaan mengapa dirinya diminta pulang
Dua tahun belakangan, Sanistya memang sudah tinggal terpisah dari ayah dan juga sang ibu. Ia memilih menetap di apartemen mewahnya.
Biasanya, titah untuk datang ke kediaman utama orangtuanya, pasti berkaitan dengan hal penting.
Jika pun sifatnya acara keluarga, seperti makan malam bersama, sudah pasti dirancang jauh-jauh hari lebih dulu agar ia dan sang kakak hadir.
"Pak Gentama menunggu Anda di ruang rapat, Nona Sanis. Anda diminta ke sana secepatnya."
Baiklah, firasat Sanistya semakin tak bagus. Tapi ia tetap mengangguk menerima pesan.
"Makasih, ya, Bibi Mayang."
Setelah mengucapkan terima kasih dengan tulus, Sanistya pun mulai melenggang, tentunya akan menuju tempat yang dimaksud tadi.
Namun kemudian, ia iseng ingin bertanya pada kepala asisten rumah tanya. Sekadar upayanya menuntaskan rasa penasaran yang tiba-tiba saja muncul di dalam kepalanya.
"Bibi Mayang ...."
"Ke sini sebentar, Bibi Mayang ...."
Wanita paruh baya berusia setengah abad itu pun cepat menghampiri dirinya, dengan bingung.
"Apa yang Nona butuhkan?"
"Hmm, aku cuma mau nanya bentar, Bibi."
Sanistya mengukirkan cengiran, lalu.
"Nah, di ruang rapat, Papa lagi sama siapa? Apa ada tamu?" tanyanya dengan hati-hati.
Bibi Mayang Larasati segera mengangguk.
"Mama di sana juga?" Sanistya alihkan topik.
"Tidak, Nona. Ibu Milla sedang ke Jepara."
"Oohhh." Sanistya menjawab dengan seruan enteng seraya mengangguk-angguk.
Mengenai keberadaan sang ibu dimana, sudah diketahui. Hanya pura-pura mengetes. Usahanya untuk tahu nama si tamu yang bersama ayahnya, tapi Bibi Mayang tak menangkap maksudnya.
"Oke, deh, aku mau ke atas menemui papa dan tamu spesialnya," celoteh Sanistya ringan.
Kedua kaki sudah dilangkahkan menuju ke lift. Tak akan dipilih tangga karena memakan waktu yang lebih lama beberapa menit.
"Eh?"
Lift tidak bisa dibuka karena sedang digunakan. Ia tentu harus menunggu untuk beberapa saat.
Dalam hitungan detik saja, lift sudah sampai di lantai bawah. Pintunya langsung membuka.
Sanistya hendak masuk, namun ada sesosok pria di dalamnya. Pusat atensi langsung terarah pada orang itu yang terlihat tidak asing untuknya.
Sanistya lekas berusaha mengingat nama dari pria dewasa di hadapannya. Dengan begitu, ia akan bisa bersikap sebagaimana mestinya.
Otak yang dimaksimalkan untuk berpikir, segera dapat mengenali siapa sosok di depannya. Dan tak dapat dicegah rasa kaget atas ingatannya.
Prabha Winangun, namanya.
"Tidak masuk?"
"Tidak keluar?" Sanistya berhasil meluncurkan balasan cepat, ditengah keterjutan belum hilang.
"Saya diminta Pak Ketum menjemput kamu."
"Menjemput saya? Mau diajak kemana?" tanya Sanistya dengan nada yang sedikit curiga.
"Ke atas."
Jawaban singkat dan padat Prabha Winangun.
"Masuk."
Sepatah kata yang terucap tegas, lengkap dengan ekspresi datar dari Prabha Winangun, membuat Sanistya sebal seketika. Tapi, ia tetap bergerak masuk ke lift, seperti diminta pria itu.
Tentu jarak dijaga. Diposisikan dirinya sejauh mungkin dari Prabha Winangun supaya mereka tak perlu saling bersinggungan terlalu dekat.
Lift segera menutup dan menuju lantai tiga.
"Sejak kapan kamu menyukai saya?"
Mata refleks Sanistya membeliak mendengarkan pertanyaan diajukan Prabha Winangun. Ia pun merasa seperti sedang disidang. Apalagi, pria itu bertanya dengan mimik amat serius.
"Pak Ketum bilang kamu menyukai saya."
Sanistya seketika terpenjara dalam tatapan intens yang diarahkan oleh Prabha Winangun.
"Sudah lumayan lama." Dengan lancar mulutnya bisa menjawab pertanyaan diajukan tadi. Ia tentu mengarang balasannya tersebut.
Yang penting tak diam membisu seperti patung.
"Saya akan menikahimu, Sanistya."
"Hah?" Spontan keluar reaksi dalam seruan yang cukup kencang. Hantaman rasa kaget semakin kencang dan mendebarkan dadanya.
"Saya ingin memiliki istri."
"Istrinya itu aku?" Sanistya menunjuk dirinya sendiri dengan jemari, meminta konfirmasi.
Prabha Winangun kembali mengangguk pelan.
Astaga. Kenapa tidak ada penjelasan?
"Saya akan menikahi kamu tiga bulan lagi."
"Pak Ketum sudah setuju."
"Menikah? Tiga bulan lagi? Kenapa jadi cepat banget harus menikah?" Sanistya tak setuju.
"Pak Prabha pasti punya rencana licik."
Tuduhan spontan dikeluarkan.
"Rencana licik? Tidak."
"Terus kenapa harus cepat nikah?" Sanistya pun masih menuntut penjelasan agar bisa dipahami.
"Saya hanya ingin menikahi perempuan yang menyukai saya. Dan itu kamu, Sanistya."
Astaga, kepalanya mendadak pening mendengar jawaban Prabha Winangun yang sangatlah to the point. Sama sekali tidak ada manis-manisnya.
"Jika kamu enggan, saya tidak akan memaksa."
"Kesempatan hanya datang sekali, Sanistya."
"Hah? Pak Prabha ngancam saya?"
"Bernegoisasi."
Saat mulut akan digunakan menjawab, pintu lift justru sudah membuka. Prabha Winangun pun berjalan keluar meninggalkan dirinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top